Revisi Salah Kaprah tentang Pluralisme Agama

Arfi Pandu Dinata
Ditulis oleh Arfi Pandu Dinata diterbitkan Rabu 29 Okt 2025, 16:03 WIB
Ilustrasi tradisi budaya. (Sumber: Pexels/Arjun Adinata)

Ilustrasi tradisi budaya. (Sumber: Pexels/Arjun Adinata)

Sering kali, istilah pluralisme agama dipahami secara keliru. Di telinga sebagian orang, pluralisme terdengar seperti upaya mencampuradukkan berbagai ajaran, menyejajarkan semua agama seolah tak ada lagi batas kekhasan, bahkan dianggap ancaman bagi religi yang sudah mapan.

Padahal justru sebaliknya. Pluralisme agama bukanlah proyek penyamarataan, melainkan cara merayakan agama-agama dalam keunikannya masing-masing. Ia bukan agenda untuk menghapus perbedaan, melainkan untuk menumbuhkan kedewasaan dalam memaknai perbedaan itu sendiri.

Di dunia yang kian terhubung dan serbacepat, manusia berjumpa dengan keragaman setiap hari. Dalam ruang publik, media sosial, tempat kerja, bahkan di lingkup keluarga. Di tengah situasi seperti ini, pluralisme hadir bukan sebagai ide asing yang dipaksakan, tetapi sebagai kebutuhan mendesak untuk hidup berdampingan secara wajar. Pluralisme tidak meminta kita mengaburkan identitas religius tertentu, melainkan mengajarkan cara baru memahami bahwa perbedaan agama bukan ancaman, melainkan bagian dari lanskap kehidupan bersama yang tak terelakkan.

Kesalahpahaman besar terjadi ketika pluralisme disamakan dengan universalisme teologis, yakni pandangan bahwa semua agama sama dan menuju pada satu sumber dan tujuan yang identik. Pandangan seperti itu sebenarnya lebih tepat disebut perenialisme, yang berfokus pada gagasan metafisik tentang kebenaran tunggal di balik semua tradisi. Pluralisme justru tidak bergerak di ranah itu. Ia tidak menuntut kita menyetujui bahwa semua agama sama, melainkan mengajak kita mengakui bahwa setiap agama memiliki cara sendiri untuk memahami, mengalami, dan mengekspresikan kebenaran.

Dengan kata lain, pluralisme tidak sesempit berurusan dengan dogma atau klaim kebenaran teologis, tetapi dengan cara manusia berelasi. Soal umat beragama bisa hidup bersama, saling menghormati, dan bekerja sama tanpa menuntut keseragaman. Bahkan pada hari ini ia bicara tentang kewargaan, bukan semata-mata soal langitan. Pluralisme adalah proyek sosial, budaya, dan politik. Tentang membangun tatanan masyarakat yang memungkinkan semua orang dengan agama apapun dapat dihargai sebagai warga yang setara.

Oleh karena itu, pluralisme menuntut kemampuan untuk berempati dan tekoneksi. Ia menolak pandangan yang menutup diri, yang hanya mau melihat dunia lewat kacamata satu interpretasi atau satu aliran. Dalam agama manapun, realitas keberagaman internal sudah menjadi kenyataan. Ada mazhab, tradisi, denominasi, corak liturgi, dan ekspresi lainnya yang berbeda. Pluralisme membantu kita melihat bahwa perbedaan di dalam satu agama saja sudah luas, apalagi di antara agama-agama. Jadi kemampuan untuk menerima keragaman eksternal seharusnya dimulai dari kesediaan mengakui keragaman dari dalam.

Dalam konteks tersebut, pluralisme menjadi bentuk penghayatan religius yang mantap. Ia bukan relativisme yang serta merta menyimpulkan semua sama saja, melainkan sikap keterbukaan. Sebuah seni mendengarkan, memahami, dan menempatkan diri. Pluralisme menumbuhkan rasa ingin tahu yang sehat terhadap pengalaman keberagamaan orang lain tanpa kehilangan akar sendiri. Ia lebih dekat pada pencarian makna ketimbang klaim kebenaran. Alih-alih bertanya “agama siapa yang paling benar?”, pluralisme mengajak kita menggali “apa keunikan dan identitas agama ini?”.

Di Indonesia pun ada bentuk religiusitas tanpa agama. (Sumber: Pexels/ROCKETMANN TEAM)
Di Indonesia pun ada bentuk religiusitas tanpa agama. (Sumber: Pexels/ROCKETMANN TEAM)

Jika pluralisme dianggap mengancam iman, barangkali karena kita masih memandang iman sebagai benteng, bukan sebagai jembatan. Padahal iman yang kokoh bukan berarti tertutup. Justru karena kuat, ia mampu menatap orang lain dengan penuh hormat tanpa takut tercemar atau kehilangan jati diri.

Pluralisme adalah latihan terus-menerus untuk menjaga keseimbangan antara agama pribadi dan keterbukaan pada dunia luar. Ia bukan sikap pasif yang dingin.

Dalam kehidupan berbangsa yang majemuk seperti Indonesia, pluralisme agama menjadi prasyarat dasar bagi keberlanjutan. Ia adalah pondasi bagi demokrasi yang sehat dan multikulturalisme yang sejati. Tanpa semangat pluralisme, keberagaman hanya akan menjadi statistik, bukan kenyataan yang hidup. Masyarakat yang plural tapi tidak pluralis mudah terseret dalam polarisasi, kecurigaan, dan politik identitas yang dangkal. Pluralisme menuntut keberanian untuk menolak narasi tunggal yang memonopoli kebenaran dan memaksakan satu wajah tunggal kebangsaan atau keagamaan.

Di samping itu, pluralisme juga sangat mengandalkan kepiawaian kita dalam menjalani hidup sehari-hari. Setiap kali kita berinteraksi dengan orang yang berbeda agama, budaya, atau pandangan politik, kita selalu hangat, laku yang sedang menubuhi pluralisme. Ia hadir dalam hal-hal kecil. Dalam cara kita menyapa tetangga yang sedang beribadah, dalam kesediaan menghadiri kedukaan yang lain, atau dalam empati terhadap penderitaan manusia tanpa melihat agamanya. Pluralisme adalah etika sosial yang tumbuh dari kebiasaan mencintai martabat kemanusiaan lebih dulu sebelum perbedaan identitas.

Lebih jauh, pluralisme juga bisa dibaca sebagai strategi bertahan. Dalam masyarakat yang terus berubah dan sering kali tegang oleh konflik berbasis identitas, kemampuan berbaur adalah keterampilan hidup yang vital. 

Merayakan pluralisme berarti merayakan kehidupan itu sendiri. Sebab pada dasarnya kehidupan tidak pernah seragam. Alam pun memberi pelajaran yang sama, ekosistem yang sehat justru ditandai oleh keragaman hayati. Demikian pula masyarakat yang sehat, hanya bisa tumbuh ketika berbagai agama, pandangan, dan budaya dapat hidup berdampingan tanpa saling meniadakan. Pluralisme agama ada di antara semua itu.

Jadi jika ada yang masih memandang pluralisme agama sebagai ancaman, barangkali yang perlu direvisi bukan pluralismenya, melainkan cara kita memahami agama. Agama yang hidup bukan yang mengurung diri dalam kebenarannya sendiri, tetapi yang mampu berjumpa, berdialog, dan memberi makna bagi dunia yang terus berubah. Pluralisme pada akhirnya, bukan proyek politik atau akademik semata. Ia adalah sikap batin, sebuah cara mencintai dunia yang penuh warna, dengan kesadaran bahwa setiap warna punya spektrum cahayanya masing-masing yang membuat kehidupan menjadi lebih seru. (*)

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Arfi Pandu Dinata
Menulis tentang agama, budaya, dan kehidupan orang Sunda
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Biz 29 Okt 2025, 20:38 WIB

Sunyi yang Tak Pernah Sepi, Rumah Cemara dan Luka yang Dirawat Diam-diam

Datang tanpa suara, menyusup pelan ke dalam tubuh, lalu menetap. HIV bukan penyakit yang berteriak. Ia diam, menyembunyikan diri di balik senyum, rutinitas, dan pakaian bersih.
Datang tanpa suara, Menyusup pelan ke dalam tubuh, lalu menetap. HIV bukan penyakit yang berteriak. Ia diam, menyembunyikan diri di balik senyum, rutinitas, dan pakaian bersih.
Ayo Netizen 29 Okt 2025, 20:24 WIB

Mengenal Sel Super Maximum Security (SMS) yang Ditempati Artis Ammar Zoni di Nusakambangan

Kali ini bukan terkait terorisme, tetapi menyangkut Ammar Zoni yang baru saja menjadi penghuni baru Lapas Nusakambangan.
Ammar Zoni. (Sumber: PMJ News)
Ayo Biz 29 Okt 2025, 18:40 WIB

Bandung, Kota Bakmi Baru? Menakar Potensi Pasar Kuliner Lewat Festival Tematik

Bandung, dengan populasi lebih dari 2,5 juta jiwa dan tingkat kunjungan wisata yang tinggi, menjadi lahan subur bagi pertumbuhan bisnis kuliner berbasis mie.
Bandung, dengan populasi lebih dari 2,5 juta jiwa dan tingkat kunjungan wisata yang tinggi, menjadi lahan subur bagi pertumbuhan bisnis kuliner berbasis mie. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Jelajah 29 Okt 2025, 18:03 WIB

Yang Dilakukan Ratu Belanda Saat KAA Dihelat di Bandung

Sejarah mencatat ketika suasana Bandung memanas dengan pekik kemerdekaan dalam Konferensi Asia-Afrika, Ratu Juliana leih memlih utuk terhanyut dalam suasana dingin ala Eropa, sedingin sikapnya terhada
Ratu Juliana (kiri) berfoto di Paleis Soestdijk saat ultah ke-46. (Sumber: Het Nieuewesblad van Het Zuiden 2 Mei 1955)
Ayo Netizen 29 Okt 2025, 17:04 WIB

Spiritualitas pada yang Biasa Saja

Kadang kita suka pikir, hidup yang biasa saja itu rasa-rasanya kurang rohani.
Kadang kita suka pikir, hidup yang biasa saja itu rasa-rasanya kurang rohani. (Sumber: Pexels/Arbiansyah Sulud)
Ayo Netizen 29 Okt 2025, 16:03 WIB

Revisi Salah Kaprah tentang Pluralisme Agama

Sering kali, istilah pluralisme agama dipahami secara keliru.
Ilustrasi tradisi budaya. (Sumber: Pexels/Arjun Adinata)
Ayo Biz 29 Okt 2025, 15:45 WIB

Gerakan Literasi Cinambo, Menyalakan Api Baca di Kampung-kampung Kota Bandung

Bukan hanya sebagai kawasan pemukiman dan pusat aktivitas warga, Cinambo menorehkan predikat baru sebagai destinasi wisata literasi di perkotaan.
Bukan hanya dikenal sebagai kawasan pemukiman dan pusat aktivitas warga, Cinambo mulai menorehkan predikat baru sebagai destinasi wisata literasi di perkotaan. (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Netizen 29 Okt 2025, 15:19 WIB

Kenapa 2nd Miracle in Cell No. 7 Layak Ditonton? Bukan Karena Sedihnya Aja

2nd Miracle in Cell No. 7, sekuel dari film remake yang sebelumnya sukses besar.
2nd Miracle in Cell No. 7, sekuel dari film remake yang sebelumnya sukses besar. (Sumber: Falcon pictures)
Ayo Netizen 29 Okt 2025, 14:45 WIB

Bahasa, Puisi, dan Kesadaran Kultural: Musikalisasi Puisi sebagai Tindakan Reflektif

"Selama masih ada kata yang digubah, nada yang dinyanyikan, dan hati yang tergugah—bahasa belum mati.”
Suasana perayaan Bulan Bahasa 28 Oktober 2025 di SMKN 3 Cimahi (Foto: Dokumen pribadi)
Ayo Netizen 29 Okt 2025, 13:04 WIB

Benarkah Novel 'Teruslah Bodoh Jangan Pintar' adalah Gambaran Pertambangan Indonesia di Masa Depan?

Kita diminta untuk belajar realitas dan lebih peduli dengan kondisi alam sekitar juga isu pelik yang dialami oleh masyarakat Indonesia dibagian pulau lain.
Belajar Realitas dari Novel Teruslah Bodoh jangan Pintar (Sumber: Instagram | bukune_simbok)
Ayo Netizen 29 Okt 2025, 11:57 WIB

Kenapa Hijab Viscose Jadi Primadona Baru di Dunia Fashion Muslimah?

Lembut, adem, dan elegan. Nggak heran hijab viscose jadi pilihan favorit muslimah modern yang ingin tampil modis tanpa ribet!
hijab viscose. (Sumber: Pexels/PNW Production)
Ayo Netizen 29 Okt 2025, 10:11 WIB

Dekolonisasi Ateisme: Enggak Percaya Tuhan Belum Tentu Gak Beragama?

Menyingkirkan dikotomi antara beragama dan tak beragama, mencari bentuk religiusitas yang lebih kaya, merdeka, dan tak lagi terjebak bayangan Barat.
Di Indonesia pun ada bentuk religiusitas tanpa agama. (Sumber: Pexels/ROCKETMANN TEAM)
Ayo Netizen 29 Okt 2025, 08:49 WIB

'Abadi Nan Jaya' Film Zombie Versi Nusantara, Apa yang Bikin Viral?

Film "Abadi Nan Jaya" yang mulai tayang perdana di Netflix pada 23 Oktober 2025 lalu menuai respons menarik dari masyarakat Indonesia.
Poster Film Abadi Nan Jaya. (Sumber: Instagram: @miktambayong)
Ayo Netizen 29 Okt 2025, 07:39 WIB

Panduan Sederhana Menjadi Seorang Penulis

Menulis bukanlah hal yang sulit bila kita tahu trik atau kiat-kiatnya.
Buku karya Dwi Suwiknyo "Cara Kreatif Menjadi Penulis Produktif". (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 28 Okt 2025, 20:54 WIB

Menengok Penderitaan dalam Kacamata Agama-Agama

Benarkah agama-agama mengajarkan bahwa penderitaan adalah kesalahan pribadi atau bukti lemahnya iman?
Ilustrasi orang dengan gangguan kesehatan mental. (Sumber: Pexels/Nothing Ahead)
Ayo Jelajah 28 Okt 2025, 18:13 WIB

Sejarah Panjang ITB, Kampus Insinyur Impian Kolonial di Tanah Tropis

Technische Hoogeschool te Bandoeng berdiri tahun 1920 sebagai sekolah teknik pertama di Hindia Belanda, cikal bakal ITB dan lahirnya insinyur pribumi seperti Sukarno.
Peresmian Technische Hoogeschool te Bandung (THS) 3 Juli 1920. (Foto: KITLV)
Ayo Biz 28 Okt 2025, 17:52 WIB

Langkah Kecil, Dampak Besar: Gaya Hidup Sehat Menjadi Gerakan Sosial di Bandung

Gaya hidup sehat di Bandung tidak hanya dipicu oleh kesadaran individu, tetapi juga oleh ekosistem kota yang mendukung.
Gaya hidup sehat di Bandung tidak hanya dipicu oleh kesadaran individu, tetapi juga oleh ekosistem kota yang mendukung. (Sumber: Ist)
Ayo Netizen 28 Okt 2025, 17:13 WIB

Mahasiswa Boleh Sibuk, tetapi Jangan Lupa Bahagia

Di balik jadwal padat, tugas menumpuk, dan tuntutan produktivitas, banyak mahasiswa yang diam-diam berjuang melawan stres dan kelelahan mental.
Ilustrasi mahasiswa di Indonesia. (Sumber: Pexels/Dio Hasbi Saniskoro)
Ayo Biz 28 Okt 2025, 16:06 WIB

Rebo Nyunda di Cikapundung, Menjaga Napas Budaya Sunda di Tengah Deru Modernisasi

Rebo Nyunda bukan sekadar pertunjukan, program ini adalah gerakan akar rumput yang lahir dari keresahan akan lunturnya identitas budaya Sunda.
Cikapundung Riverspot, yang biasanya dipadati wisatawan dan pejalan kaki, menjelma menjadi panggung terbuka bagi warisan leluhur yakni Rebo Nyunda. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Jelajah 28 Okt 2025, 16:05 WIB

Hikayat Cipaganti Group, Raksasa Transportasi Bandung yang Tumbang Diguncang Skandal

Dari garasi kecil di Jalan Cipaganti, lahir raksasa transportasi yang pernah kuasai Jawa Barat. Tapi skandal finansial membuatnya tumbang tragis.
Travel Cipaganti