Setiap kali Indonesia merilis film yang bisa bikin penonton menangis bareng di bioskop selalu membuat penasaran, bukan cuma karena ceritanya, tapi karena bagaimana film itu bisa menyentuh sisi sosial masyarakat kita. Salah satu contohnya adalah 2nd Miracle in Cell No. 7, sekuel dari film remake yang sebelumnya sukses besar.
Sekilas, film ini tampak seperti drama keluarga biasa, tapi kalau dilihat lebih dalam, justru di sanalah menariknya, film ini jadi bukti nyata bagaimana industri film Indonesia berkembang di tengah perubahan teknologi dan sosial.
Dalam Buku Ajar Filmologi yang di tulis oleh R.A. Vita N.P. Astuti, Ph.D (2022), dijelaskan bahwa film adalah bentuk komunikasi massa yang merepresentasikan kehidupan sosial, sekaligus media informasi, pendidikan, dan hiburan. Jadi, film itu tidak hanya sebatas tontonan, tapi juga “cermin” tempat masyarakat melihat dirinya sendiri. Nah, di 2nd Miracle in Cell No. 7, cermin itu tampak jelas lewat tokoh Kartika Rozak yang harus melanjutkan hidup setelah ayahnya, seorang narapidana difabel intelektual, dihukum mati secara tragis karena sistem hukum yang tidak adil.
Film ini memang mengharukan, tapi di balik kisah emosionalnya, ada lapisan sosial yang kuat. Dari sisi aliran, film ini bisa dikategorikan sebagai drama sosial. 2nd Miracle in Cell No 7 bicara tentang stigma, kemiskinan, dan ketimpangan yang masih relevan dengan realitas masyarakat kita. Di sinilah peran film sebagai alat komunikasi sosial terasa banget, bahwa film berfungsi menyampaikan pesan kemanusiaan dan menciptakan kesadaran publik. Penonton diajak bukan hanya untuk menangis, tetapi juga untuk memahami realitas di balik kisahnya, bagaimana cinta seorang ayah bertahan meski tertindas oleh sistem yang tidak adil.

Kalau dilihat dari sisi sinema, film ini memperlihatkan bagaimana industri perfilman Indonesia terus berkembang dan beradaptasi. Produksi 2nd Miracle in Cell No. 7 menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam aspek teknis, mulai dari sinematografi, pencahayaan, hingga tata musik. Visualnya yang hangat, pencahayaannya lembut, dan penggunaan warna yang kontras antara masa lalu dan masa kini berhasil memperkuat nuansa emosional. Pencahayaan dan warna menjadi elemen penting untuk membangun suasana dan makna dalam film.
Film ini juga mencerminkan dinamika industri perfilman Indonesia yang kini semakin terbuka pada format digital. Jika dulu film hanya bisa dinikmati di bioskop, sekarang penonton bisa menyaksikannya lewat platform streaming seperti Netflix. Pola distribusi yang berubah ini memperlihatkan pergeseran besar dalam cara masyarakat mengonsumsi film. Teknologi digital membuat film lebih mudah diakses, tapi sekaligus menantang pembuat film untuk tetap menghadirkan pengalaman emosional yang sama kuatnya seperti di layar lebar.
Kehadiran platform digital membawa efek sosial yang menarik. Setelah dirilis, film biasanya banyak dibicarakan di media sosial, baik itu potongan adegannya, kutipan dialognya, bahkan sampai ekspresi para pemainnya ramai dijadikan bahan diskusi atau konten ulang. Di sini terlihat bagaimana film tidak berhenti di ruang bioskop, film hidup kembali di ruang digital sebagai bagian dari percakapan publik. Inilah yang disebut sebagai transformasi fungsi film dari media hiburan menjadi media refleksi sosial dan komunikasi massa.
Selain itu, film ini menunjukkan bagaimana teknologi dan narasi bisa saling melengkapi. Pemanfaatan kamera digital beresolusi tinggi, teknik warna yang sinematik, dan tata suara yang halus membuat setiap adegan terasa lebih hidup. Semua itu memperkuat cerita tanpa harus mengurangi kedalaman emosionalnya. Ini menjadi bukti bahwa perkembangan teknologi tidak menghilangkan kehangatan film drama, justru memperkaya cara cerita disampaikan.

Secara industri, 2nd Miracle in Cell No. 7 juga memperlihatkan tren baru di perfilman Indonesia, di mana produksi lokal mampu bersaing secara kualitas dan strategi pemasaran. Promosi film dilakukan secara gencar lewat media sosial, menargetkan penonton muda yang aktif di dunia digital. Ini menandakan bahwa industri film kita tidak hanya berkembang dalam aspek artistik, tetapi juga mulai paham bagaimana membangun hubungan dengan penontonnya di ruang daring.
Namun yang paling menarik, mungkin justru bagaimana film ini menyentuh kesadaran sosial penontonnya. Di tengah derasnya arus hiburan cepat, film ini hadir membawa nilai kemanusiaan yang lembut tapi kuat. Ia mengingatkan bahwa keadilan dan kasih sayang adalah hal yang tidak bisa digantikan, bahkan di dunia yang semakin berkembang sekalipun.
Akhirnya, 2nd Miracle in Cell No. 7 bukan hanya kisah tentang kehidupan, tetapi juga cerminan tentang arah baru sinema Indonesia. Ia memadukan teknologi dengan empati, menggabungkan industri dan idealisme, dan menghadirkan cerita yang bukan hanya sekadar ditonton tapi juga bisa dirasakan. (*)
