AYOBANDUNG.ID -- Setiap pagi, ketika matahari perlahan menggeliat dari balik gedung-gedung tua Bandung, trotoar Jalan Cikapundung Barat mulai menunjukkan denyutnya. Di antara gemericik sungai yang merunduk di belakang alun-alun, buku-buku lama kembali berbicara.
Mereka terhampar bagai mosaik pengetahuan, menunggu tangan-tangan penasaran untuk membuka lembar demi lembar sejarah dan cerita masa lalu. Di tengah barisan buku-buku itu, berdiri Ma’mur, seorang lelaki tua yang sudah bersahabat dengan literasi sejak tahun 1980-an.
Ma’mur bukan sekadar pedagang buku bekas. Ia adalah penjaga waktu dan pencinta narasi-narasi yang hampir dilupakan. Di usia yang sudah tak muda, ia masih tegak berdiri di emperan gedung tua, menyusun bukunya dengan penuh cinta dan ketelatenan. Setiap buku baginya adalah jejak hidup seseorang, dan menjualnya bukan sekadar transaksi ekonomi.
“Literasi adalah bagian dari hidup saya. Selain menjadi penghidupan, kecintaan saya terhadap dunia buku juga menjadi alasan saya tetap bertahan,” ujarnya saat berbincang dengan Ayobandung.
Di tengah gempuran era digital, Ma’mur menjadi semacam anomali. Ketika banyak orang melupakan wujud fisik buku, ia tetap merawatnya dengan sepenuh hati.
Bagi Ma’mur, tak ada yang usang dari sebuah buku, meski dicetak puluhan tahun lalu. Ia percaya, isi buku tetap relevan sebagai bahan komparasi, refleksi, bahkan nostalgia intelektual.

Para pembeli datang dari berbagai latar. Ada mahasiswa yang berburu referensi langka, pensiunan dosen yang ingin mengenang bacaan lamanya, hingga kolektor yang rela menyusuri lorong trotoar demi menemukan edisi tertentu. Semua menyatu dalam semangat yang sama, yakni literasi tak lekang oleh waktu.
Ma’mur tak hanya menjual buku, ia juga menjual kenangan. Banyak dari pelanggannya yang pulang membawa lebih dari sekadar isi bacaan, tetapi juga cerita bagaimana buku itu dulu dicetak, dibaca, dan berpindah tangan. Kadang, kisah itu lebih penting dari harga buku itu sendiri.
Ia pun tak menampik bahwa bisnis buku bekas ini naik-turun. Kadang sepi, kadang ramai. Tapi baginya, nilai keberlanjutan lebih tinggi dari sekadar laba. “Berburu buku bekas itu ibarat cari harta karun. Gampang, gampang, susah,” celotehnya.
Di sela-sela obrolan, Ma’mur menunjukkan buku sejarah yang sampulnya masih mengilap. “Yang ini, tahun 1982. Masih bagus, kan?” katanya kepada pewarta.
Kejelian dan kehati-hatian Ma’mur membuat banyak pembeli percaya, mereka tak hanya mendapatkan barang bekas, tapi juga kualitas. Dengan harga miring dan semangat berbagi ilmu, lapak buku Ma’mur tak pernah sepi dari diskusi.
Di sinilah trotoar Cikapundung Barat berubah menjadi ruang belajar terbuka. Orang-orang kadang duduk bersila, membaca, bertukar pikiran, seolah waktu berjalan lebih pelan.
Tak heran jika banyak yang menyebut Ma’mur bukan sekadar pedagang, tapi kurator budaya literasi jalanan. Ia menjual bukan dengan promosi, tapi dengan hasrat. Dengan tiap lembar buku, ia menyampaikan pesan bahwa ilmu itu harus dicari, dirawat, dan dibagi.
Ma’mur membuktikan bahwa cinta terhadap literasi bisa menjadi sumber hidup sekaligus warisan. Jalan Cikapundung Barat boleh berubah, tapi semangat Ma’mur tak pernah luntur.
“Bagi saya tidak punya harta banyak tidak jadi masalah, yang penting kita kaya ilmu. Dan ilmu bisa didapat di mana saja termasuk buku-buku jadul,” pungkasnya.
Informasi Pasar Buku Cikapundung
Beralamat di Jalan Cikapundung Barat No. 8-68, Kelurahan Braga, Kecamatan Sumur Bandung, Kota Bandung.
Alternatif link pembelian buku: