AYOBANDUNG.ID -- Kilau lampu temaram menari di atas etalase kaca yang berisi keramik tua, jam dinding dari era kolonial, dan pernak-pernik lawas lainnya.
Di lorong Pasar Barang Antik Cikapundung, Bandung, denting nostalgia tidak hanya terdengar dari detak jarum jam yang hampir tak terdengar, tetapi juga dari alunan blues dan jazz klasik yang memeluk pengunjung dalam suasana hangat dan penuh kenangan.
Di antara jejeran toko yang sunyi dan penuh cerita, berdiri sosok Jojo, pria paruh baya pemilik senyum ramah yang menyimpan riwayat panjang sebagai pedagang barang antik.
Bagi Jojo, menjual barang antik bukan sekadar profesi. Ia menyebutnya sebagai panggilan jiwa.
“Barang antik itu eksotis karena barang-barang ini sudah tidak diproduksi lagi. Limited edition lah," ujar Jojo saat berbincang dengan Ayobandung.
Kisah Jojo bermula dari kegemarannya mengamati benda-benda tua, mulai dari jam dinding, kamera analog, mesin tik, hingga peralatan makan keramik dari zaman Hindia Belanda.
Ia mengaku, dulu hanya kolektor amatir yang kerap berburu barang-barang antik ke pelosok daerah. Tapi siapa sangka, hobi yang awalnya tak menentu arah itu, kini berubah menjadi bisnis yang memberinya napas panjang.

Pasar Cikapundung yang resmi beroperasi pada 2012 menjadi panggung utamanya. Di sana, Jojo menggelar koleksi yang kadang usianya lebih tua dari dirinya sendiri.
“Kalau dihitung-hitung penjualannya juga enggak banyak soalnya. Tapi saya senang melakukannya. Suka aja," tuturnya sambil tertawa kecil.
Jojo tidak mengejar omzet besar. Penjualan dalam seminggu seringkali bisa dihitung dengan jari. Namun, hasratnya untuk menjaga artefak sejarah tetap hidup membuatnya bertahan.
Barang-barang yang dijual Jojo tak ubahnya potongan-potongan masa lalu. Ia menjajakan benda dari masa penjajahan Belanda, dari poster lama hingga koleksi peralatan rumah tangga era 1930-an.
Bagi sebagian pengunjung, benda-benda itu hanyalah "barang bekas". Tapi bagi para pemburu sejarah, setiap benda adalah penjaga waktu.
Menurut Jojo, pelanggan barang antik biasanya adalah mereka yang punya keterikatan emosional. Tak jarang, pengunjung mendekap barang yang mereka beli, seolah berjumpa lagi dengan masa kecilnya.
Tak heran, harga barang antik cenderung tinggi. Selain karena kelangkaannya, benda-benda itu sering naik nilai dari tahun ke tahun.
Tapi buat Jojo, nilai sesungguhnya bukan pada rupiah, melainkan pada cerita di baliknya. Ia tak ragu berburu barang ke berbagai kota, hanya demi menemukan satu potong sejarah yang hilang.
“Orang beli barang antik itu bukan cuma karena bentuknya, tapi karena kenangan yang dibawa. Ibaratnya, mengulang memori dari sekumpulan foto keluarga yang telah usang," ujarnya.
Alternatif pernak-pernik, lampu, dan barang Antik: