AYOBANDUNG.ID -- Di tengah riuhnya industri tekstil modern, satu nama tetap berdiri tegak menjaga warisan yakni Duo Beradek Songket. Didirikan oleh Rosalina dan saudarinya, usaha ini bukan sekadar bisnis kain tenun, melainkan pernyataan budaya yang terus hidup dan berkembang.
Songket Palembang bukan kain biasa. Ia lahir dari teknik sungkit, di mana mencungkil dan mengait benang emas atau perak ke dalam tenunan dasar. Prosesnya rumit, hasilnya megah. Tak heran jika masyarakat Palembang menjulukinya “ratu segala kain”.
“Ciri ‘bungo cino’ itu benang emasnya enggak full, kalau ‘lepus’ full. Dan itulah yang menjadi kekhasan songket Palembang karena ditenun langsung dengan benang emas,” jelas Rosa saat ditemui Ayobandung dalam gelaran pameran budaya.
Motif tumbuhan dan bunga menjadi ciri khas yang tak lekang oleh waktu. Dalam sejarahnya, songket adalah simbol status sosial. Di masa Kerajaan Sriwijaya, hanya istri raja yang berhak mengenakannya. Ia menjadi lambang kemewahan, kehormatan, dan kekuasaan.

Kini, songket telah menjadi milik masyarakat luas, dikenakan dalam berbagai acara resmi dan perayaan. Namun, proses pembuatannya tetap mempertahankan nilai tradisional. Rosa menyebut, satu lembar kain bisa memakan waktu hingga tiga bulan.
“Biasanya kisaran harga songket variatif, ada yang harga Rp 2 juta-an sampai Rp 20 juta-an,” katanya.
Setiap helainya pun adalah hasil kerja tangan yang sabar dan terampil. Motif ‘lepus’ yang penuh benang emas menjadi primadona. Tak hanya karena kilauannya, tapi karena kompleksitas tekniknya.
“Contohnya ‘lepus’ itu bisa sampai mencapai harga Rp 20 juta-an per lembar kainnya,” tambah Rosa.
Menariknya, songket Palembang kini mulai dikenal di luar Sumatera. Dalam beberapa event budaya di Bandung, Rosa melihat antusiasme yang meningkat.
“Saya rasa sekarang banyak yang sudah mulai menyukai dan tahu songket ya,” ujarnya.
Perempuan Bandung, menurutnya, mulai menjadikan songket sebagai koleksi pribadi. Fenomena ini menunjukkan bahwa songket tak hanya dilihat sebagai busana, tapi juga sebagai artefak budaya yang layak dilestarikan.
“Barusan ada costumer yang bilang, dia beli bukan langsung buat dipake tapi buat disimpen sebagai koleksi,” cerita Rosa.

Bagi Rosa, hal ini adalah pencapaian tersendiri. Ia pun merasa terhormat karena songket kini tak hanya menjadi budaya masyarakat Palembang, tapi juga diterima dan dihargai oleh masyarakat luar. “Itu bentuk pelestarian yang saya syukuri,” katanya.
Tak berhenti di situ, Rosa juga mulai merancang songket dalam bentuk yang lebih modern. Ia mengembangkan desain untuk pakaian sehari-hari, bukan hanya selendang atau kain panjang.
Transformasi ini bukan sekadar adaptasi mode, tapi juga strategi pelestarian. Dengan menghadirkan songket dalam bentuk yang lebih fleksibel, Rosa berharap generasi muda bisa lebih dekat dengan warisan budaya mereka.
Duo Beradek Songket menjadi bukti bahwa pelestarian budaya bisa berjalan beriringan dengan inovasi. Di tangan perempuan seperti Rosa, warisan tak hanya dijaga, tapi juga diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang.
“Tren songket saat ini lebih fleksibel, dan membuat songket mulai banyak diterima sebagai tren pakaian masyarakat,” ujarnya.
Informasi Duo Beradek Songket
Instagram: https://www.instagram.com/duoberadek
Alternatif link produk Songket Tenun Palembang: