AYOBANDUNG.ID -- Di balik gemerlap etalase toko dan desain tas yang elegan, tersimpan kisah perjuangan yang tak banyak diketahui publik. Elizabeth, brand lokal asal Bandung yang kini dikenal luas di Indonesia, lahir dari semangat dan ketekunan pasangan suami istri Handoko Subali dan Elizabeth Halim.
Tahun 1963 menjadi titik awal perjalanan mereka, bermula dari rumah kecil di Gang Kebon Tangkil, Gardujati, dengan satu mesin jahit dan sepeda kumbang sebagai modal utama.
Handoko Subali, pria kelahiran Purwakarta pada 27 Juli 1928, bukanlah pengusaha sejak awal. Ia pernah menjadi buruh di pabrik tas, sementara istrinya, Elizabeth Halim, telah terbiasa menjahit pakaian sejak kecil.
Keduanya melihat peluang, membuat tas bukanlah hal yang jauh berbeda dari menjahit pakaian. Dari sinilah benih Elizabeth ditanam, tanpa merek, tanpa toko, hanya tas-tas buatan tangan yang dijajakan ke toko-toko di Bandung.
Titik balik terjadi pada 2 September 1961, ketika mereka mempekerjakan satu pegawai. Dalam dua tahun, produksi meningkat menjadi dua lusin tas per hari.
Tahun 1963, kapasitas melonjak menjadi enam lusin dengan delapan tenaga kerja. Ruang sempit di rumah pertama tak lagi cukup, mendorong mereka pindah ke rumah sendiri di Jalan Kalipah Apo dan menerapkan sistem “anak asuh”, model kerja mandiri yang memberi mesin jahit dan bahan baku kepada para pekerja.
Nama “Elizabeth” resmi digunakan pada 1 Januari 1968 dan dipatenkan, menjadi identitas yang melekat pada setiap produk dan toko mereka. Tahun 1974, toko pertama Elizabeth dibuka, menandai transisi dari produksi rumahan ke bisnis retail yang lebih mapan.
Untuk menjaga keunikan desain, Handoko dan Elizabeth pun rutin ke Hongkong dan Singapura sejak 1972, mengikuti tren mode yang kini diteruskan oleh putri mereka, Lisa Subali.
Tahun 1972 juga menjadi momen ekspansi besar. Mereka pindah ke Jalan Otista, meningkatkan kapasitas produksi menjadi 60 lusin tas per hari dengan 100 tenaga kerja. Tak berhenti di situ, pada 1982 Elizabeth membangun gerai berlantai tiga di lokasi yang sama.
Tiga tahun kemudian, mereka membeli tanah di Leuwigajah, Cimahi, dan mendirikan pabrik yang mulai beroperasi pada 1987, memperkuat kontrol terhadap proses produksi. Langkah-langkah strategis ini membuat Elizabeth tumbuh stabil.
Pada 2 Maret 1997, toko baru berlantai lima di Jalan Ibu Inggit Garnasih diresmikan, berdiri megah di atas lahan seluas 1.000 meter persegi. Namun, ujian besar datang pada krisis ekonomi 1998. Banyak bisnis tumbang, tapi Elizabeth tetap berdiri kokoh. Kuncinya prinsip keuangan yang sehat dan disiplin tinggi dalam mengelola utang dagang.
“Sejak awal, orang tua saya tidak pernah bergantung pada pinjaman bank. Semua utang dagang kepada pemasok dibayar tertib setiap satu hingga dua bulan,” ungkap Direktur Elizabeth, Lisa Subali.
Prinsip ini membuat mereka menjadi pelanggan prioritas yang selalu mendapat akses bahan baku berkualitas lebih dulu. Strategi lainnya adalah penggunaan kulit imitasi berkualitas tinggi agar harga tetap terjangkau tanpa mengorbankan desain dan daya tahan.

Elizabeth tak hanya memproduksi tas wanita. Kini, lini produknya mencakup tas kosmetik, tas kerja, tas perjalanan, dompet, dan ransel. Lebih dari enam model baru diluncurkan setiap hari, mengikuti dinamika tren mode. Digitalisasi pun menjadi fokus utama pasca pandemi.
“Kita harus beradaptasi, mulai dari dunia online, menambah store, hingga upgrade alat dan software,” jelas Lisa.
Lisa juga menegaskan pentingnya menjaga warisan orang tuanya. Karenanya, transformasi pun dilakukan, bukan sekadar teknis, tapi demi menjaga nilai agar Elizabeth tetap relevan dan berjiwa lokal.
“Yang sulit itu mempertahankan. Dunia bergeser ke digital, manajemen pun harus ikut. Kita punya tim IT sendiri, manajemen pergudangan juga harus cepat,” ujarnya.
Salah satu bentuk penghormatan terhadap sejarah pun lahir lewat koleksi spesial yang terinspirasi dari perjalanan Handoko Subali. Sepeda kumbang yang dulu digunakan untuk menjajakan tas kini menjadi simbol dalam desain gantungan tas eksklusif.
“Bagi Elizabeth, sepeda kumbang adalah warisan berharga, sejarah yang sarat makna,” kata Lisa.
Gantungan berbentuk sepeda kumbang dengan sosok Handoko yang sedang mengayuh menjadi ciri khas koleksi tas seperti handbag, slingbag, dan backpack. Koleksi ini dirancang dengan warna netral dan desain clean yang menonjolkan elemen sejarah.
“Kami ingin mengabadikan momen bersejarah dan menyebarkan nilai seni, artistik, dan keunikan dari Elizabeth,” ucap Lisa.
Cucu Handoko sekaligus Head of Designer Elizabeth, Vernalyn Subali turut bangga menjadi bagian dari warisan keluarga. Sebab kisah Elizabeth bukan hanya tentang bisnis tas. Jenama ini adalah cerita tentang ketekunan, cinta, dan warisan yang dijaga lintas generasi.
Dari gang sempit di Gardujati hingga toko megah di pusat kota, Elizabeth menjadi bukti bahwa mimpi besar bisa tumbuh dari langkah kecil asal dijalani dengan hati, sepenuh jiwa, dan sepeda kumbang yang tak pernah berhenti mengayuh.
“Aku benar-benar bangga bisa meneruskan usaha kakek-nenek aku. Pencapaian Elizabeth itu enggak gampang. Semoga aku bisa mengembangkannya, melewati usia 70, 80, 90 tahun, dan jangan sampai Elizabeth mati,” ujarnya.
Informasi brand lokal Elizabeth
Instagram: https://www.instagram.com/elizabeth_ez
Informasi link pembelian produk Elizabeth: