AYOBANDUNG.ID -- Setiap petang, di persimpangan Jalan Anggrek dan Jalan RE Martadinata Kota Bandung, kepulan asap memeluk langit sore.
Sekilas, mirip gelagat kebakaran. Tapi jangan salah sangka, yang menyengat hidung bukan bau hangus, melainkan aroma daging panggang yang menggoda selera.
Di balik asap yang menari, berdirilah warung tenda sederhana dengan tungku pembakaran sepanjang tujuh meter.
Di atasnya, sekitar 100 tusuk sate berjajar rapi, mengeluarkan wangi gurih yang dengan lihai melelehkan air liur siapa pun yang lewat.
Sate ini bukan sembarang sate. Destinasi kuliner legendaris ini punya nama yang merakyat dan cerita yang menyentuh, yakni Sate Anggrek.
Meski orang-orang menyebutnya berdasarkan lokasi tempatnya mangkal, nama aslinya adalah Sate Mirah, “mirah” berarti murah dalam bahasa Sunda.

Benar saja, seporsi yang berisi sepuluh tusuk sate sapi, kambing, atau ayam hanya dibanderol Rp16.000 saja. Pakai nasi atau lontong, cukup tambahkan Rp6.000.
Murah, lezat, dan mengenyangkan, sebuah kombinasi sempurna yang memikat semua kalangan, dari pelajar hingga pegawai kantoran.
Tenda kecil ini tak pernah sepi. Kursi selalu penuh, antrean mengular, dan kehangatan dari tungku menjadi saksi betapa kuliner kaki lima ini disambut seperti sajian bintang lima.
“Usaha Sate Anggrek ini awalnya dari kakek. Terus diturunkan sama bapak-ibu. Jadi bapak-ibu ini generasi kedua yang meneruskan usaha sate ini,” ujar Nur anak sulung dari H. Ahmad Nawawi kepada Ayobandung.
Sedianya, warung Sate ini lahir pada tahun 1945 saat dirintis sang kakek, hingga akhirnya dilanjutkan oleh sang ayah pada 1980. Nur mengenang bagaimana sang kakek memilih “Anggrek” sebagai nama tempat berjualan, bukan karena bunga, melainkan karena nama jalan.
“Kata bapak sengaja dipilih nama itu supaya orang-orang penasaran. Padahal itu hanya diambil dari nama jalan tempat jualan saja,” jelas Nur sambil meladeni pembayaran dari pelanggan.
Ramainya pengunjung membuat warung ini harus mengerahkan 12 orang pegawai di antaranya tujuh membakar sate, empat melayani pelanggan, dan satu khusus menangani pembayaran.
Namun, bahkan dengan pasukan yang hampir sebesar tim sepak bola, mereka tetap kewalahan. Bagaimana tidak? Dalam sehari Sate Anggrek bisa menghabiskan lebih dari 6.000 tusuk bahkan di akhir pekan bisa mencapai 8.000 hingga 10.000 tusuk.

“Kita sehari bisa ngabisin 50–100 kg daging,” kata Nur.
Jumlah fantastis yang mengisyaratkan, wartung sate ini bukan sekadar tempat makan, tapi juga destinasi kuliner penuh cerita.
Selain sate daging, ada juga sate telur muda yang unik, berupa kuning telur rebus dari ayam muda yang diapit sate kambing atau sapi. Harganya Rp4.000 per tusuk.
Warung ini juga menyajikan soto ayam dan soto sulung seharga Rp15.000. Aneka sajian dengan rasa khas Madura dan harga bersahabat membuat warung ini terus eksis, melawan arus zaman.
Jadi, jika kamu sedang di Bandung dan ingin mencicipi kuliner legendaris yang bersahaja tapi luar biasa, arahkan langkah ke Jalan Anggrek No. 35, Cihapit.
Tapi ingat, datanglah lebih awal karena semakin malam, warung ini akan diserbu oleh mereka yang sudah tahu di mana kelezatan sejati berada.
Informasi Sate Anggrek H. Ahmad Nawawi
Alamat di Jalan Anggrek No.35, Cihapit, Kota Bandung
Alternatif kuliner dan produk UMKM: