“Ada pandangan prismatik, bahwa masyarakat kita masih rendah dalam literatur. Artinya, kita gagal mengajarkan cara berpikir dengan bahasa.”
Dalam interaksi sosial, acap kali kita gunakan istilah-istilah bahasa, yang diserap dari bahasa asing. Bahasa memiliki sejarah panjang dalam penerjemahan intertekstual hubungan masyarakat, baik secara individu maupun kelompok. Tidak bisa dielakkan, bahwa kekuatan bahasa menjadi pengaruh global, yang melahirkan bentuk-bentuk peradaban manusia.
Pada zaman kini, jika dilihat dari etimologi literasi, semakin banyak cabang keilmuan literasi yang digunakan dalam pelbagai disiplin ilmu. Tetapi pada hakikatnya, tidak terlepas dari pengertian dasar literasi, yakni kemampuan membaca, menulis, berhitung dan menganalisa sebab-akibat dari masalah yang dihadapi. Ini khususnya bagi pengguna teknologi.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita perlu mempertimbangkan aspek psikologis akibat penggunaan teknologi. Ketergantungan penggunaan ponsel menjadi gejala kesehari-harian di masyarakat.
Tetapi pernahkah kita sadari bagaimana dampak terburuk bagi kesehatan mental? Yang sangat penting untuk diperhatikan, bagaimana kecanduan ponsel bagi anak usia dini. Sebab saat ini penggunaan alat teknologi berupa gawai (ponsel) sudah menjangkau seluruh lapisan masyarakat, mulai anak kecil hingga orang dewasa.
Tidak bisa dielakkan, bahwa bahasa menjadi kekuatan yang tumbuh tak terkendali dalam kehidupan masyarakat marginal. Bahkan bahasa menjadi alat dan instrumen untuk propaganda, provokasi sekaligus menjadi pintu masuk (guidance) dunia pendidikan.
Di zaman yang serba instan dan cepat, bisa terjadi revolusi logika untuk memanipulasi kemampuan nalar logika yang berada di bawah standar. Salah satu alat bantu untuk meningkatkan daya nalar manusia dengan menggunakan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence).
Apakah pengembangan teknologi dengan alat bantu AI, mampu menggantikan kedudukan daya nalar manusia? Kemudian, apakah AI ini juga menggeser peran literasi, yang prinsip dasarnya dikerjakan secara manual dan konvensional?
Ini tentu sangat dilematis, mengingat fase perkembangan anak secara psikologis, seyogianya secara terstruktur dan berjenjang. Sementara tingkat kemampuan literasi sebagian besar masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Mengacu pada standar PISA (Programme for International Student Assessment), Indonesia berada pada peringkat ke-68 yang diumumkan pada tahun 2023.
Perubahan ini tentu mengakibatkan kemampuan dasar terjadi distraksi bahasa dalam interaksi sosial. Konsep edukatif tidak lagi menjadi ruang pengelolaan yang sehat. Perubahan ini akan mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan. Baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Tren penggunaan ponsel dari waktu ke waktu terus meningkatkan, dan masyarakat selalu mengabaikan dampak buruk terhadap kesehatan mental, terutama di usia anak kecil atau balita.
Jika diamati kondisi sosial masyarakat, meningkatnya penggunaan teknologi terutama ponsel, pengetahuan masyarakat untuk memahami literasi digital masih rendah. Orang menggunakan ponsel, yang seyogianya menjadi alat bantu dalam komunikasi, telah berubah perannya menjadi ancaman karakter manusia dalam dunia siber.
Disini, konsep tulisan lebih pada penekanan istilah-istilah yang digunakan dalam literasi dan berhubungan dengan psikologi, bukan pada karakter pekerjaan. Di mana hal ini sering menjadi ambivalen dalam pemaknaan frasa kata.
Seperti halnya yang sering kali kita lihat di jejaring sosial, begitu banyak orang menggunakan status sebagai konten kreator atau juga konten digital. Pemaknaan status ini karena rata-rata pengguna teknologi tidak memaknai esensi bahasa.

Berikut ini beberapa istilah psikologi yang berkaitan dengan literasi digital (dihimpun dari berbagai sumber referensi*):
Popcorn Brain: otak yang terbiasa dengan stimulasi cepat akibat konsumsi konten digital berlebih, sehingga kesulitan untuk fokus dalam aktivitas yang lebih lambat, seperti membaca buku atau percakapan mendalam;
Brain Rot: penurunan kapasitas berpikir kritis akibat terlalu sering mengonsumsi konten digital atau repetitif, seperti media sosial atau video viral tanpa nilai intelektual;
Duck Syndrome: fenomena di mana seseorang tampak tenang dan sukses di luar, tetapi sebenarnya sedang berjuang keras secara emosional di dalam dirinya;
Doomscrolling: kebiasaan terus-menerus membaca berita buruk atau negatif di media sosial hingga menyebabkan kecemasan dan stres;
FOMO (Fear of Missing Out): ketakutan akan ketinggalan informasi, tren atau pengalaman yang dialami orang lain, sering kali diperburuk oleh media sosial;
JOMO (Joy of Missing Out): kebalikan dari FOMO, yaitu menikmati ketenangan dengan tidak mengikuti tren atau kesibukan sosial yang berlebihan;
Digital Dementia: penurunan daya ingat dan konsentrasi akibat ketergantungan pada teknologi, seperti sering lupa nomor telepon atau rencana karena semuanya tersimpan di ponsel;
Hyperrality: konsep dari Jean Baudrillard yang menggambarkan dunia di mana realitas dan stimulasi bercampur, seperti kehidupan media sosial yang tampak lebih “nyata” daripada kenyataan sebenarnya;
Gaslighting: manipulasi psikologis di mana seseorang dibuat meragukan ingatan atau persepsi mereka sendiri;
Languishing: kondisi mental di mana seseorang merasa hampa, lesu dan kurang motivasi, bukan depresi, tetapi bukan juga bahagia;
Hedonic Treadmill: fenomena di mana seseorang selalu mengejar kebahagiaan materi tetapi tidak benar-benar puas, karena standar kebahagiaan terus meningkat;
Monk Mode: periode isolasi diri untuk fokus pada pengembangan diri atau produktivitas, sering kali dilakukan dengan menghindari gangguan digital;
Main Character Syndrome: cara berpikir di mana seseorang merasa seperti tokoh utama dalam sebuah cerita, sehingga cenderung bersikap dramatis atau narsistik;
Cognitive Dissonance: ketidaknyamanan mental yang muncul ketika seseorang memiliki dua keyakinan atau nilai yang bertentangan;
Toxic Positivity: pemaksaan sikap positif secara berlebihan hingga mengabaikan atau menekan emosi negatif yang valid;
Revenge Bedtime Procrastination: menunda waktu tidur secara sengaja sebagai bentuk “balas dendam” atas kurangnya waktu pribadi di siang hari;
Analysis Paralysis: kondisi di mana seseorang terlalu banyak menganalisis sesuatu hingga akhirnya tidak bisa mengambil keputusan;
Deja Vu: sensasi familiar terhadap suatu situasi yang seolah-olah pernah terjadi sebelumnya;
Imposter Syndrome: rasa tidak percaya diri yang membuat seseorang merasa tidak pantas atas pencapaiannya sendiri;
Nomophobia (No Mobile Phone Phobia): ketakutan atau kecemasan berlebihan saat tidak memiliki akses ke ponsel atau internet;
Quite Quitting: fenomena di mana seseorang hanya bekerja sebatas yang diperlukan tanpa upaya ekstra, sebagai bentuk perlawanan terhadap ekspektasi kerja yang berlebihan;
Attention Residue: kondisi ketika pikiran masih tertinggal di tugas sebelumnya, membuat sulit untuk fokus sepenuhnya pada tugas yang sedang dikerjakan;
Hyper-Independence: sikap ekstrem dalam menolak bantuan atau ketergantungan pada orang lain akibat trauma atau ketakutan terhadap kekecewaan;
Delayed Onset Adulthood: fenomena di mana seseorang menunda tanggung jawab dewasa (pekerjaan tetap, pernikahan, finansial stabil) akibat sosial ekonomi;
Chronophobia: ketakutan terhadap berlalunya waktu atau perasaan tidak bisa mengejar perubahan yang terjadi begitu cepat;
Phantom Vibration Syndrome: sensasi palsu merasakan ponsel bergetar atau berbunyi, meskipun tidak ada notifikasi yang masuk;
Digital Amnesia: ketergantungan pada teknologi yang membuat seorang lupa informasi karena mengandalkan internet atau catatan digital;
Derelization: sensasi di mana dunia terasa tidak nyata atau seperti mimpi, sering kali akibat stres, kelelahan, atau kecemasan berlebihan;
Solastalgia: perasaan duka atau kehilangan akibat perubahan lingkungan yang drastis, seperti perubahan iklim atau urbanisasi cepat;
Boreout Syndrome: kebalikan dari burnout yaitu kelelahan mental akibat kurangnya tantangan atau keterlibatan dalam pekerjaan atau kehidupan sehari-hari;
Cave Syndrome: kecemasan sosial setelah terlalu lama terbiasa dengan kehidupan yang lebih tertutup, seperti setelah pandemi;
Emotional Labor: upaya seseorang untuk mengontrol emosi mereka sendiri demi memenuhi ekspektasi sosial, sering kali dalam pekerjaan atau hubungan interpersonal;
Paradox of Choice: fenomena di mana seseorang dihadapkan pada pilihan yang terlalu banyak, dan lebih sulit untuk membuat keputusan atau merasa senang dengan keputusan yang dibuatnya.
Baca Juga: 10 Tulisan Terbaik AYO NETIZEN Juni 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta
Masih banyak lagi referensi istilah yang digunakan dalam literasi digital, yang berkaitan dengan psikologis manusia. Dalam friksi bahasa, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan berbanding lurus dengan peningkatan kosakata bahasa. Seperti yang umum juga digunakan dalam interaksi sosial, misalnya distopia, utopia, skizofrenia, dan lain-lain.
Yang paling penting dipropagandakan dalam edukasi bahasa, bagaimana memberikan informasi dan pendidikan kepada anak didik terhadap dampak dari perubahan pembelajaran, dari konvensional yang bertransformasi ke dunia digital.
Harus ada ruang keseimbangan, bahwa bagaimana memanfaatkan ruang siber serta efek negatif dari dampak penggunaan teknologi berbasis internet.
Penguasaan dan pemahaman literasi, menjadi penting dalam setiap sendi kehidupan. Sebab bahasa menjadi alat paling urgen untuk melihat dunia luar. Semakin tergerus hingga punahnya bahasa, maka akan hilangnya tradisi budaya. (*)
Jangan Lewatkan Video Terbaru dari Ayobandung: