AYOBANDUNG.ID - Di balik hijaunya perbukitan Cipatat, Bandung Barat, ada lubang menganga sepanjang 949 meter di perut Bukit Cidepok. Tapi jangan salah, ini bukan bekas galian tambang liar, melainkan Terowongan Sasaksaat, terowongan kereta aktif terpanjang dan tertua di Indonesia. Lubangnya sah, panjangnya legal, dan setiap hari dilintasi kereta jarak jauh tanpa drama.
Terowongan ini bukan terowongan sembarangan. Ia dibangun jauh sebelum bangsa ini bisa membedakan suara peluit kereta dengan suara kampanye caleg. Tepatnya pada tahun 1902, zaman ketika manusia Indonesia masih dijajah, dan rel masih jadi alat ekspor hasil bumi.
Kalau kamu kebetulan lewat jalur kereta antara Stasiun Maswati dan Stasiun Sasaksaat, bersiaplah masuk ke perut bumi selama beberapa menit. Di situlah Terowongan Sasaksaat berada, tepatnya di KM 143+144. Panjangnya 949 meter, cukup buat kamu merenung soal hidup sambil menonton cahaya kereta makin jauh di ujung sana. Tingginya 4,31 meter, lebarnya 3,92 meter, dan sudah berdiri sejak tahun 1902. Tidak main-main, ini proyek era kolonial yang masih jalan terus, bahkan ketika banyak proyek era sekarang malah mangkrak.
Terletak di Desa Sumurbandung, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Terowongan Sasaksaat membelah bukit bak pisau mentega. Panjangnya hampir satu kilometer, lebarnya nyaris empat meter, cukup untuk satu gerbong lewat sambil melambai.
Yang bikin takjub (atau prihatin, tergantung sudut pandang) adalah cara pembuatannya. Teknologi? Jauh. Yang ada cuma balincong, linggis, dan semangat kerja rodi. Negara yang kelak bernama Indonesia belum lahir, tapi tangan-tangan pribumi dan Tionghoa sudah menggali tanah dengan tenaga sendiri. Yang duduk manis memegang peta? Sudah bisa ditebak: orang Eropa.
"Kalau dari cerita sesepuh di sini, pembuatan Terowongan Sasaksaat dikerjakan manual, uniknya bisa presisi," kata Krisna Budirohman, penjaga terowongan yang tahu betul kapan kereta akan datang meski tanpa aplikasi jadwal.
Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta milik pemerintah kolonial, memulai pembangunan dengan cara yang cukup ekstrem: menggali dari dua arah sekaligus, dari utara dan selatan. Sebagian besar pekerja adalah pribumi dan Tionghoa yang jadi kuli, sementara orang Eropa jadi teknisi dan mandor yang mengawasi sambil mungkin sesekali menyeruput kopi. Ajaibnya, setelah digali dari dua arah, lubang itu bertemu tepat di tengah. Lurus, mulus, tanpa GPS atau drone pemetaan.
Baca Juga: Reaktivasi Rel Kereta Bandung-Ciwidey: Dulu Belanda Bisa, Kini Hanya Bisa Berwacana
Kalau zaman sekarang fondasi rumah saja bisa bocor seminggu setelah selesai, Terowongan Sasaksaat malah masih kokoh meski sudah dikoyak waktu lebih dari seabad.
Tak hanya soal struktur, urusan teknisnya pun rapi. Jalur rel dibuat agak menanjak di tengah agar air dari bukit bisa mengalir ke samping dan tidak menggenangi bantalan rel. Rembesan air? Diantisipasi dengan lapisan semen setebal 0,85 meter di atap terowongan. Bukan sulap, bukan sihir, tapi teknik sipil era kolonial yang dihitung matang.
Suasana di dalam terowongan ini bukan hanya soal gelap dan gema langkah kaki. Di dalamnya, ada sleko—semacam ceruk kecil tempat orang bisa berlindung kalau kereta tiba-tiba melintas. Ada 35 sleko di sana, 17 di sisi kiri dan 18 di sisi kanan. Fungsinya? Vital. Apalagi bagi penjaga seperti Krisna yang harus jalan bolak-balik memeriksa kondisi rel tiap tiga jam.
“Jalan dari ujung sini ke ujung satunya lagi dan bolak-balik. Kadang ada bantalan yang bautnya longgar atau ada kerusakan apa ya langsung diperbaiki. Kalau di tengah tiba-tiba ada kereta ya kita langsung masuk ke sleko,” ujar Krisna santai, seolah masuk sleko adalah hal seremeh masuk kamar mandi.

Sasaksaat bukan terowongan sembarangan. Dulu, ia dilalui kereta pengangkut komoditas ekspor: kopi, teh, beras, bahkan hasil bumi lainnya. Sekarang, ia tetap melayani kereta api jarak jauh dan lokal: Argo Parahyangan, Harina, Ciremai, Serayu, dan KA Cibatu-Purwakarta. Artinya, dari zaman penjajahan hingga zaman gempita TikTok, ia tetap setia jadi jalur lintas.
Krisna sendiri mengaku betah menjaga terowongan. Bukan hanya karena tugas mulia itu, tapi juga karena suasananya. “Kalau saya pribadi sudah betah jaga terowongan ini, ya enak aja suasananya. Kadang ada yang ke sini untuk tugas kuliah atau foto-foto, bisa menjelaskan juga sedikit-sedikit,” katanya, seperti promosi tempat wisata sambil jaga lintasan.
Baca Juga: Sabotase Kereta Rancaekek, Bumbu Jimat dan Konspirasi Kiri
Terowongan Sasaksaat adalah contoh bagaimana warisan kolonial bisa bertahan lebih lama dari janji-janji pembangunan modern. Tak banyak infrastruktur tua yang tetap berfungsi penuh tanpa perlu direnovasi besar-besaran. Ia tidak viral, tidak masuk daftar destinasi Instagramable, tapi ia hidup. Diam-diam, tiap hari, membantu ribuan orang bergerak antar kota.
Dan yang paling penting: ia masih lurus, masih kokoh, dan masih setia. Sesuatu yang langka di tengah zaman yang penuh liku dan mudah goyah.