Tapak Sejarah Reak, Seni Kesurupan yang Selalu Bikin Riweuh di Bandung Timur

Redaksi
Ditulis oleh Redaksi diterbitkan Kamis 10 Jul 2025, 19:00 WIB
Penampil Reak dalam salah satu helatan di Bandung. (Sumber: Wikimedia)

Penampil Reak dalam salah satu helatan di Bandung. (Sumber: Wikimedia)

AYOBANDUNG.ID - Pada suatu sore yang biasa di Bandung Timur, seorang pemuda menari sambil mencabik ayam mentah. Sambil sesekali merunduk, menggoyangkan tubuh, dan matanya kosong. Bukan lantaran kalap setelah puasa 40 hari, tapi karena sedang kesurupan dalam sebuah pertunjukan reak. Namanya Dado, lengkapnya Aldo Ravael, seorang malim reak dari Lingkungan Seni Lugay Ciba.

Dado bukan aktor sinetron religi. Ia tak sedang syuting reality show mistis. Tapi ia betulan sedang menjalani ritual kesenian rakyat Sunda yang penuh gerakan, tabuhan, dan trans: reak. Dalam kondisi kesurupan itu, Dado pernah makan beling. Tidak salah dengar. Pecahan beling. Tapi tubuhnya baik-baik saja. “Buang air besar juga biasa, enggak ada pecahan kaca,” katanya enteng, seolah yang dimakan bukan beling, melainkan keripik kaca.

Reak memang seperti itu. Suara dogdog bertalu, suling meliuk, dan penari bertopeng menari dengan gerakan liar. Kadang pakai kuda lumping, kadang bangbarongan. Tapi intinya, gaduh. Reak bukan tontonan santai. Ia seperti parade antara mistik dan musik, antara trance dan tradisi.

Sejarah yang Tak Kalah Ramai dari Helarannya

Kata "reak" sendiri punya banyak versi asal usul. Versi pertama menyebut kesenian ini muncul pada masa Kerajaan Pajajaran sebagai satire terhadap Majapahit. Versi kedua bilang, reak adalah adaptasi dari reog Ponorogo, dibawa ke tanah Sunda sekitar abad ke-17 saat zaman Kesultanan Cirebon. Versi lain menyebut reak muncul dari wilayah Pantura seperti Indramayu dan Cirebon, lalu menyebar ke Sumedang hingga Cibiru pada 1930-an.

Tak puas dengan sejarah ala kerajaan dan jalur dagang, ada juga yang bilang kata reak berasal dari bahasa Arab: riyyuq, yang berarti sempurna. Ada juga yang mengaitkan dengan “leak” dari Bali. Tapi para seniman reak Bandung Timur sepakat bahwa asal katanya adalah “reang”, bahasa Sunda yang berarti gaduh. Dan memang, kalau sedang helaran reak di kampung-kampung, yang muncul pertama adalah suara gaduh dari kejauhan. Riweuh. Ramai. Meriah.

Baca Juga: Benjang dari Ujungberung, Jejak Gulat Sakral di Tanah Sunda

Dado punya versi sendiri. Katanya, reak dibawa langsung oleh Prabu Kiansantang, putra Prabu Siliwangi. “Awalnya reak dibawa oleh Prabu Kiansantang. Sejarahnya terkait Kerajaan Pajajaran,” ujar Dado serius.

Kalau soal fungsi, awalnya reak adalah bagian dari ritual syukur: ketika panen berhasil, ketika anak disunat, ketika seseorang sudah akil baligh. Reak jadi sarana suka cita kampung. Tapi seiring zaman bergeser, reak tampil juga di festival, hajatan, hingga pertunjukan seni di kota besar. Bahkan pernah sampai ke Australia.

Di balik popularitas reak modern, ada nama Abah Enjoem. Lelaki berambut putih dan selalu mengenakan iket Sunda ini adalah pendiri Sanggar Seni Tibelat sekaligus anggota Komite Tradisi di Dewan Kesenian Kota Bandung. Bukan hanya mendalami reak, ia juga membawa reak terbang ke luar negeri. Pada 2017, Abah Enjoem tampil di Melbourne bersama para seniman Indonesia lain. Ia membawa bangbarongan dan dogdog. Bukan buat menyembur api, tapi buat tampil di panggung budaya.

“Sudah ada beberapa turis yang datang untuk mengenal atau bahkan mempelajari kesenian reak. Mulai dari New York, Australia, Lebanon, Denhaag, Jepang, dan Amerika,” ujarnya.

Peralatan seni reak kuda lumping grup Juarta Putra. (Sumber: Wikimedia)
Peralatan seni reak kuda lumping grup Juarta Putra. (Sumber: Wikimedia)

Tapi jalan yang dilalui Abah Enjoem tidak mudah. Pada dekade 1990-an, reak sempat mengalami masa sulit. Dituduh sebagai warisan mistik yang tidak modern, dianggap ketinggalan zaman. Namun tahun 2000, ia mulai merangkul anak-anak muda untuk membentuk sanggar Tibelat. Perlahan, reak kembali hidup.

Tak hanya soal gerakan dan musik, Abah Enjoem memberi tafsir mendalam pada bunyi-bunyian dalam reak. Ia menjelaskan bahwa ada lima jenis dogdog dalam reak: tilingtit, tong, brung, bangplak, dan bedug. Jika dimainkan bersama, dogdog tersebut akan menghasilkan irama yang ditafsirkan sebagai kalimat dakwah: “Gera indit tong embung gera tumamprak lamun bedug engges datang.” Artinya kira-kira: jangan malas, cepat berangkat, sebelum azan selesai.

Reak adalah pertunjukan gaduh. Tapi gaduh yang punya arti. Ia bukan sekadar hiburan, tapi juga penyampai pesan. Dalam topeng merah bangbarongan, dalam tarian kuda lumping, tersembunyi simbol tentang kekuatan yang bisa dikendalikan oleh manusia. Tentang energi yang bisa dijinakkan jadi keindahan. Tentang pertarungan abadi antara kebaikan dan keburukan, dibalut dogdog dan debu jalanan.

Kini, reak tak hanya hidup di pinggir kampung. Ia telah masuk ke panggung kota, festival nasional, hingga kancah internasional. Tapi tetap saja, di pangkalnya, reak adalah milik rakyat. Milik kampung-kampung yang masih percaya bahwa budaya bukan sekadar peninggalan, tapi juga pegangan.

Seniman Reak Tenggalam di Sungai Citarum

Tak semua pertunjukan reak berakhir dengan tepuk tangan. Hari itu, Minggu sore, tanggal 5 Mei 2023, langit Bojongjati, Solokanjeruk, tidak sedang muram. Tapi siapa sangka, sore yang biasa itu berubah jadi kisah yang kelak diceritakan dari warung kopi hingga grup WhatsApp. Semua bermula dari suara gemuruh gamelan dan denting angklung, mengiringi latihan reak kuda lumping dan kuda renggong di tanah lapang Desa Bojongemas, Kabupaten Bandung.

Reak memang bukan pertunjukan biasa. Tapi tak seorang pun menyangka, Hanoman yang sore itu menari-nari lincah di antara debu lapangan, akan menghilang ditelan Sungai Citarum.

Hanoman itu bernama Jajang Paijan Jaman. Usianya baru 22 tahun. Sore itu, bukan cuma peran yang ia mainkan. Konon, Jajang kesurupan. Dan dalam keadaan tak sadar penuh, dia lompat ke Sungai Citarum.

Baca Juga: Sungai Citarum Diterjang Banjir Sampah, Hanyut dalam Tumpukan Program

Bukan sekali, tapi dua kali. Lompat pertama masih balik ke darat, entah karena naluri atau karena "roh"-nya belum kuat. Tapi lompat kedua jadi babak akhir. Citarum yang arusnya deras menelan tubuh Jajang begitu saja. Tanpa permisi. Tanpa aba-aba. Tanpa jeda gamelan.

Kawan yang melihat sempat coba menolong. Tapi, arus deras membawa Jajang entah ke mana. Reak bubar, suasana mencekam. Hanoman hilang.

Tim SAR datang tak pakai banyak kata. Mereka tahu ini bukan sekadar perkara mencari Jajang. Ini urusan dengan sungai yang kadang menyembunyikan apa yang ia telan. Hari berganti. Kabar belum juga datang. Warga mulai bertanya-tanya: apa benar Jajang hilang karena kesurupan? Atau ada sesuatu yang lain?

Lima hari kemudian, jasad Jajang ditemukan. Jauh. sekitar 34 kilometer dari tempat dia melompat. Bukan lagi dalam wujud Hanoman, tapi sebagai pemuda yang dikabarkan hilang saat reak.

Orang bilang, kadang roh-roh dalam pertunjukan tradisional suka main-main. Tapi sungai tidak main-main. Apalagi Citarum. Sungai itu mungkin sudah bosan menampung limbah, lalu tiba-tiba diberi tontonan: Hanoman nyemplung tanpa aba-aba.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Jelajah 15 Okt 2025, 21:15 WIB

Sejarah Pindad, Pindah ke Bandung Gegara Perang Dunia

Jejak sejarah PT Pindad dimulai dari bengkel senjata era Daendels di Surabaya hingga menjadi perusahaan pertahanan terbesar Indonesia yang bermarkas di Bandung.
Para buruh sedang bekerja di Artillerie Constructie Winkel (ACW), cikal bakal PT Pindad di Bandung. (Sumber: Tropenmuseum)
Ayo Netizen 15 Okt 2025, 20:12 WIB

5 PR Literasi Religi Kita

Di sinilah letak masalah literasi religi, kita masih punya banyak PR yang belum selesai.
Di sinilah letak masalah literasi religi, kita masih punya banyak PR yang belum selesai. (Sumber: Pexels/Janko Ferlic)
Ayo Biz 15 Okt 2025, 19:25 WIB

Regenerasi Rasa Lokal yang Menghidupkan Bisnis Kuliner Bandung

Dari nasi kuning hingga urap segar, sajian warisan nenek moyang kini tampil sebagai menu utama di berbagai resto dan kafe, bukan sekadar pelengkap.
Dari nasi kuning hingga urap segar, sajian warisan nenek moyang kini tampil sebagai menu utama di berbagai resto dan kafe, bukan sekadar pelengkap. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 15 Okt 2025, 18:22 WIB

Disiplin, Penuntun Kesadaran

Disiplin bukan soal patuh pada aturan, tapi perjalanan panjang menuntun diri menuju kesadaran.
Ilustrasi siswa sekolah di Jawa Barat. (Sumber: Pemprov Jabar)
Ayo Netizen 15 Okt 2025, 17:11 WIB

Event Rakyat dan Tren Konten Horor: Memulangkan Martabat Abangan sebagai Agama Rakyat

Kita sendiri adalah anak kandung dari abangan yang perlahan dipatuhkan lewat pembinaan agama yang sangat masif.
Setelah ’65 abangan dituding ateis, antek komunis, dan dibasmi habis. Namun begitu agama rakyat ini tidak pernah benar-benar hilang. (Sumber: Pexels/afiful huda)
Ayo Biz 15 Okt 2025, 17:07 WIB

Keju Meleleh Masih Jadi Primadona: Tren Kuliner Kekinian yang Menggairahkan Bisnis Resto di Bandung

Mozzarella bukan sekadar bahan pelengkap, tapi telah menjelma menjadi ikon kuliner kekinian yang terus menggairahkan pasar makanan di Bandung.
Mozzarella bukan sekadar bahan pelengkap, tapi telah menjelma menjadi ikon kuliner kekinian yang terus menggairahkan pasar makanan di Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 15 Okt 2025, 15:39 WIB

Pemotongan Dana Transfer Daerah dan Efisiensi Fiskal Jawa Barat

Krisis fiskal Jawa Barat menjadi momentum reformasi anggaran.
Krisis fiskal Jawa Barat menjadi momentum reformasi anggaran. (Sumber: Unsplash/ Mufid Majnun)
Ayo Biz 15 Okt 2025, 15:31 WIB

Membaca Gen Z di Bandung: Generasi Kreatif yang Rentan Terputus dari Realitas

Generasi Z tumbuh dalam era digital yang serba cepat, di mana teknologi bukan sekadar alat bantu, melainkan bagian dari identitas dan cara hidup.
Generasi Z tumbuh dalam era digital yang serba cepat, di mana teknologi bukan sekadar alat bantu, melainkan bagian dari identitas dan cara hidup. (Foto: Freepik)
Ayo Jelajah 15 Okt 2025, 12:35 WIB

Jejak Kerajaan Sumedang Larang, Pewaris Pajajaran yang Lahir di Kaki Gunung Tampomas

Bermula dari pelarian keturunan Galuh, Sumedang Larang bangkit di bawah cahaya Prabu Tajimalela dan menjadi penerus sah kerajaan Sunda terakhir.
Potret Gunung Tampomas di Sumedang tahun 1890-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 15 Okt 2025, 12:35 WIB

Critical Thinking sebagai Fondasi Epistemologis Pembelajaran Andragogi

Membangun kesadaran kritis dan transformasi diri melalui critical thinking dan transformative learning sebagai fondasi perubahan.
Membangun kesadaran kritis dan transformasi diri melalui critical thinking dan transformative learning sebagai fondasi perubahan. (Sumber: Pexels/Pixabay)
Ayo Netizen 15 Okt 2025, 09:51 WIB

Tren 10 Ribu di Tangan Istri yang Tepat, antara Kekerasan Finansial atau Realitas Sosial

Konten 10 Ribu di tangan Istri yang tepat banyak menuai kontra dari sebagian besar pengguna media sosial.
Polemik Tren 10 Ribu di Tangan Istri yang Tepat (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 15 Okt 2025, 07:09 WIB

Pasar Seni ITB dan Gerak Ekonomi Bandung

Pasar Seni ITB menyimpan potensi ekonomi yang besar bagi ekosistem kreatif kota.
Konferensi Pers Pasar Seni ITB 2025 di International Relation Office (IRO) ITB, Jalan Ganesha, Kota Bandung, Selasa 7 Oktober 2025. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 14 Okt 2025, 20:07 WIB

Tragedi Ambruknya Gedung Ponpes Al Khoziny, Cermin Tanggung Jawab Kita Semua

Duka mendalam atas tragedi ambruknya Gedung Ponpes Al Khoziny memberikan kita banyak pelajaran.
Data sementara menunjukkan, 67 orang tewas dalam ambruknya gedung Ponpes Ponpes Al Khoziny. (Sumber: BNPB | Foto: Danung Arifin)
Ayo Netizen 14 Okt 2025, 18:02 WIB

Budaya, Agama, dan Sepak Bola Arab Saudi

Terlepas pada beredar  pro kontranya, namun kalau melihat pada perkembangan sepak bola Arab Saudi begitu pesat. 
King Saud University Stadium di Riyadh, Arab Saudi. (Sumber: Wikimedia Commons/Alina.chiorean)
Ayo Netizen 14 Okt 2025, 17:30 WIB

Modernisme Linguistik

Elemen bahasa adalah zat sederhana yang berisi pengidentifikasian bahasa yang dibagi menjadi dua bagain yaitu elemen bentuk dan elemen makna.
Ilustrasi seorang pria membaca buku. (Sumber: Pexels/Daniel Lee)
Ayo Biz 14 Okt 2025, 17:20 WIB

Naik Gunung Demi Gengsi: FOMO Generasi Muda yang Menghidupkan Industri Outdoor

Gunung bukan lagi sekadar tempat pelarian dari rutinitas, bagi generasi milenial dan Gen Z, mendaki telah menjelma menjadi simbol gaya hidup, pencarian jati diri, dan eksistensi sosial.
Gunung bukan lagi sekadar tempat pelarian dari rutinitas. Bagi generasi milenial dan Gen Z, mendaki telah menjelma menjadi simbol gaya hidup, pencarian jati diri, dan eksistensi sosial. (Foto: Pixabay)
Ayo Netizen 14 Okt 2025, 17:02 WIB

Pesantren, Wajah Islam Damai

Inilah pesantren wajah damai Islam yang menjadi cita-cita bersama dalam membangun kehidupan bangsa dan negara yang adil, sejahtera dan beradab ini.
Lomba cerdas cermat, pidato, mewarnai, kaligrafi dan fashion show, dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional 2024 yang mengambil tema Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 14 Okt 2025, 16:11 WIB

Sebuah Refleksi Kritis tentang 'Penyebaran Agama' dan Kebebasan Beragama

Pertemuan agama dunia dan lokal selalu perlu dibicarakan ulang, antara hak untuk percaya dan hak untuk dibiarkan dengan keyakinannya.
Kebebasan beragama sejati berarti memiliki kedua hak itu sekaligus, hak untuk berubah, dan hak untuk tidak diubah. (Sumber: Pexels/Pixabay)
Ayo Biz 14 Okt 2025, 15:56 WIB

Ruang Tunggu yang Tak Lagi Menunggu: Gerakan Warga Menghidupkan Halte Bandung

Komunitas ini percaya bahwa halte bukan sekadar tempat menunggu bus, melainkan simpul penting dalam sistem mobilitas kota.
Komunitas Rindu Menanti percaya bahwa halte bukan sekadar tempat menunggu bus, melainkan simpul penting dalam sistem mobilitas kota. (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Netizen 14 Okt 2025, 15:00 WIB

Budaya Mistis yang Menghambat Pemulihan Kasus Skizofernia

Budaya mistis masih mendahulukan pengobatan mental dengan datang ke dukun ketimbang langsung datang ke ahli kesehatan.
Jika merujuk dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, diperkirakan sekitar 450 ribu masyarakat Indonesia merupakan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) berat. (Sumber: Pexels/Kodi Baines)