AYOBANDUNG.ID - Pada suatu sore yang biasa di Bandung Timur, seorang pemuda menari sambil mencabik ayam mentah. Sambil sesekali merunduk, menggoyangkan tubuh, dan matanya kosong. Bukan lantaran kalap setelah puasa 40 hari, tapi karena sedang kesurupan dalam sebuah pertunjukan reak. Namanya Dado, lengkapnya Aldo Ravael, seorang malim reak dari Lingkungan Seni Lugay Ciba.
Dado bukan aktor sinetron religi. Ia tak sedang syuting reality show mistis. Tapi ia betulan sedang menjalani ritual kesenian rakyat Sunda yang penuh gerakan, tabuhan, dan trans: reak. Dalam kondisi kesurupan itu, Dado pernah makan beling. Tidak salah dengar. Pecahan beling. Tapi tubuhnya baik-baik saja. “Buang air besar juga biasa, enggak ada pecahan kaca,” katanya enteng, seolah yang dimakan bukan beling, melainkan keripik kaca.
Reak memang seperti itu. Suara dogdog bertalu, suling meliuk, dan penari bertopeng menari dengan gerakan liar. Kadang pakai kuda lumping, kadang bangbarongan. Tapi intinya, gaduh. Reak bukan tontonan santai. Ia seperti parade antara mistik dan musik, antara trance dan tradisi.
Sejarah yang Tak Kalah Ramai dari Helarannya
Kata "reak" sendiri punya banyak versi asal usul. Versi pertama menyebut kesenian ini muncul pada masa Kerajaan Pajajaran sebagai satire terhadap Majapahit. Versi kedua bilang, reak adalah adaptasi dari reog Ponorogo, dibawa ke tanah Sunda sekitar abad ke-17 saat zaman Kesultanan Cirebon. Versi lain menyebut reak muncul dari wilayah Pantura seperti Indramayu dan Cirebon, lalu menyebar ke Sumedang hingga Cibiru pada 1930-an.
Tak puas dengan sejarah ala kerajaan dan jalur dagang, ada juga yang bilang kata reak berasal dari bahasa Arab: riyyuq, yang berarti sempurna. Ada juga yang mengaitkan dengan “leak” dari Bali. Tapi para seniman reak Bandung Timur sepakat bahwa asal katanya adalah “reang”, bahasa Sunda yang berarti gaduh. Dan memang, kalau sedang helaran reak di kampung-kampung, yang muncul pertama adalah suara gaduh dari kejauhan. Riweuh. Ramai. Meriah.
Baca Juga: Benjang dari Ujungberung, Jejak Gulat Sakral di Tanah Sunda
Dado punya versi sendiri. Katanya, reak dibawa langsung oleh Prabu Kiansantang, putra Prabu Siliwangi. “Awalnya reak dibawa oleh Prabu Kiansantang. Sejarahnya terkait Kerajaan Pajajaran,” ujar Dado serius.
Kalau soal fungsi, awalnya reak adalah bagian dari ritual syukur: ketika panen berhasil, ketika anak disunat, ketika seseorang sudah akil baligh. Reak jadi sarana suka cita kampung. Tapi seiring zaman bergeser, reak tampil juga di festival, hajatan, hingga pertunjukan seni di kota besar. Bahkan pernah sampai ke Australia.
Di balik popularitas reak modern, ada nama Abah Enjoem. Lelaki berambut putih dan selalu mengenakan iket Sunda ini adalah pendiri Sanggar Seni Tibelat sekaligus anggota Komite Tradisi di Dewan Kesenian Kota Bandung. Bukan hanya mendalami reak, ia juga membawa reak terbang ke luar negeri. Pada 2017, Abah Enjoem tampil di Melbourne bersama para seniman Indonesia lain. Ia membawa bangbarongan dan dogdog. Bukan buat menyembur api, tapi buat tampil di panggung budaya.
“Sudah ada beberapa turis yang datang untuk mengenal atau bahkan mempelajari kesenian reak. Mulai dari New York, Australia, Lebanon, Denhaag, Jepang, dan Amerika,” ujarnya.

Tapi jalan yang dilalui Abah Enjoem tidak mudah. Pada dekade 1990-an, reak sempat mengalami masa sulit. Dituduh sebagai warisan mistik yang tidak modern, dianggap ketinggalan zaman. Namun tahun 2000, ia mulai merangkul anak-anak muda untuk membentuk sanggar Tibelat. Perlahan, reak kembali hidup.
Tak hanya soal gerakan dan musik, Abah Enjoem memberi tafsir mendalam pada bunyi-bunyian dalam reak. Ia menjelaskan bahwa ada lima jenis dogdog dalam reak: tilingtit, tong, brung, bangplak, dan bedug. Jika dimainkan bersama, dogdog tersebut akan menghasilkan irama yang ditafsirkan sebagai kalimat dakwah: “Gera indit tong embung gera tumamprak lamun bedug engges datang.” Artinya kira-kira: jangan malas, cepat berangkat, sebelum azan selesai.
Reak adalah pertunjukan gaduh. Tapi gaduh yang punya arti. Ia bukan sekadar hiburan, tapi juga penyampai pesan. Dalam topeng merah bangbarongan, dalam tarian kuda lumping, tersembunyi simbol tentang kekuatan yang bisa dikendalikan oleh manusia. Tentang energi yang bisa dijinakkan jadi keindahan. Tentang pertarungan abadi antara kebaikan dan keburukan, dibalut dogdog dan debu jalanan.
Kini, reak tak hanya hidup di pinggir kampung. Ia telah masuk ke panggung kota, festival nasional, hingga kancah internasional. Tapi tetap saja, di pangkalnya, reak adalah milik rakyat. Milik kampung-kampung yang masih percaya bahwa budaya bukan sekadar peninggalan, tapi juga pegangan.
Seniman Reak Tenggalam di Sungai Citarum
Tak semua pertunjukan reak berakhir dengan tepuk tangan. Hari itu, Minggu sore, tanggal 5 Mei 2023, langit Bojongjati, Solokanjeruk, tidak sedang muram. Tapi siapa sangka, sore yang biasa itu berubah jadi kisah yang kelak diceritakan dari warung kopi hingga grup WhatsApp. Semua bermula dari suara gemuruh gamelan dan denting angklung, mengiringi latihan reak kuda lumping dan kuda renggong di tanah lapang Desa Bojongemas, Kabupaten Bandung.
Reak memang bukan pertunjukan biasa. Tapi tak seorang pun menyangka, Hanoman yang sore itu menari-nari lincah di antara debu lapangan, akan menghilang ditelan Sungai Citarum.
Hanoman itu bernama Jajang Paijan Jaman. Usianya baru 22 tahun. Sore itu, bukan cuma peran yang ia mainkan. Konon, Jajang kesurupan. Dan dalam keadaan tak sadar penuh, dia lompat ke Sungai Citarum.
Baca Juga: Sungai Citarum Diterjang Banjir Sampah, Hanyut dalam Tumpukan Program
Bukan sekali, tapi dua kali. Lompat pertama masih balik ke darat, entah karena naluri atau karena "roh"-nya belum kuat. Tapi lompat kedua jadi babak akhir. Citarum yang arusnya deras menelan tubuh Jajang begitu saja. Tanpa permisi. Tanpa aba-aba. Tanpa jeda gamelan.
Kawan yang melihat sempat coba menolong. Tapi, arus deras membawa Jajang entah ke mana. Reak bubar, suasana mencekam. Hanoman hilang.
Tim SAR datang tak pakai banyak kata. Mereka tahu ini bukan sekadar perkara mencari Jajang. Ini urusan dengan sungai yang kadang menyembunyikan apa yang ia telan. Hari berganti. Kabar belum juga datang. Warga mulai bertanya-tanya: apa benar Jajang hilang karena kesurupan? Atau ada sesuatu yang lain?
Lima hari kemudian, jasad Jajang ditemukan. Jauh. sekitar 34 kilometer dari tempat dia melompat. Bukan lagi dalam wujud Hanoman, tapi sebagai pemuda yang dikabarkan hilang saat reak.
Orang bilang, kadang roh-roh dalam pertunjukan tradisional suka main-main. Tapi sungai tidak main-main. Apalagi Citarum. Sungai itu mungkin sudah bosan menampung limbah, lalu tiba-tiba diberi tontonan: Hanoman nyemplung tanpa aba-aba.