AYOBANDUNG.ID - Di sebuah perbukitan di utara Kota Bandung, berdiri sebuah tempat yang bisa bikin merinding dan tersenyum sekaligus: TPU Cikadut, atau yang kerap disebut warga sebagai Kuburan China. Jangan dulu bayangkan suasana seram khas film horor kelas tiga. TPU ini, walau bernuansa tenang dan sedikit mistis, justru lebih mirip museum terbuka yang menyimpan sejarah kota dan kisah cinta lintas etnis yang tak tercatat dalam buku pelajaran.
Bayangkan, di sinilah etnis Tionghoa Bandung—yang sejak tahun 1800-an sudah ikut membangun kota ini dari pasar hingga pabrik tekstil—beristirahat dalam damai. Bukan di liang lahat biasa, melainkan di makam-makam megah yang bentuknya kadang lebih mirip rumah liburan daripada tempat peristirahatan terakhir.
Letaknya di Jatihandap, di sebuah kawasan berbukit yang memaksa peziarah untuk membakar kalori lebih dulu sebelum sampai ke titik-titik makam yang tersebar acak namun terorganisir.
“Di bawah juga ada makam, Neng, lihat-lihat aja,” kata Juhri alias Abah Abang, sang kuncen legendaris yang sudah wara-wiri di sini sejak usia 10 tahun. Ia kini jadi semacam penjaga semi-resmi, yang tahu betul di mana saja letak para ‘penghuni’ TPU Cikadut, termasuk siapa yang kawin campur dan siapa yang dimakamkan dua kali (secara simbolik, tentu saja).
Salah satu yang menarik adalah Monumen Atlantic Park, bangunan putih yang lebih cocok jadi tempat meditasi daripada kuburan. Di dalamnya, selain ada guci berisi tulang-belulang keluarga Wong Pak Kian, juga ada ruangan kecil tempat Juhri berteduh dari gerimis dan sesekali, berpikir tentang hidup.
“Oh ini mah tempat istirahat juga. Tapi jangan takut, enggak ada yang ganggu, paling tikus doang,” katanya sambil terkekeh, membukakan pintu besi menuju menara abu.
Tak jauh dari situ, ada pula makam tertua, milik seorang pria Belanda yang menikahi perempuan Tionghoa. Tahun lahirnya 1885, wafat 1921. Sebuah angka yang, menurut Juhri, “dari sebelum saya lahir juga udah ada itu nisan, tapi saya enggak bisa baca tulisan Belandanya.”

Bukan Cuma untuk Tionghoa
TPU Cikadut memang mayoritas berisi makam etnis Tionghoa. Tapi jangan buru-buru menyimpulkan isinya homogen. Nyatanya, banyak juga kisah silang budaya di tempat ini.
Contohnya makam Djuhriah, seorang kepala sekolah SD Priangan Bandung yang wafat pada 1969. Dari nisannya, terlihat gaya Islam yang khas—nisan di bagian kepala, keramik biru. Tapi letaknya berdampingan dengan makam sang suami dan mertuanya yang Tionghoa. Romantis sampai mati, dan tetap satu komplek.
“Dulu guru-gurunya suka ke sini ziarah pas Hari Guru,” ujar Juhri, yang tampaknya sudah hafal siapa saja pengunjung musiman TPU Cikadut, dari keluarga pejabat sampai alumni SD.
Cerita lain datang dari makam Ipoh, seorang muslimah yang dimakamkan dengan nisan bertuliskan kalimat tauhid, tapi di sekelilingnya terdapat ornamen bunga teratai khas kuburan Tionghoa. “Suaminya Cina, Neng, yang penting damai, ya,” kata Juhri dengan gaya bijak khas warga yang sudah terlalu sering berbicara dengan orang hidup dan almarhum sekaligus.
Kalau tak ingin berkeliling terlalu jauh (karena TPU ini luasnya sekitar 6 hektar), Anda bisa sekadar mampir ke krematorium yang dibangun pada 1961. Tempat ini dirintis oleh sembilan pengusaha Tionghoa yang urunan Rp15.000, jumlah yang saat itu cukup untuk membeli satu truk bakso, atau setidaknya mendirikan satu yayasan pemulasaraan jenazah.
Baca Juga: Jejak Kampung Dobi Ciguriang, Sentra Kuli Cuci Era Kolonial
“Sekarang kebanyakan dikremasi. Udah enggak kayak dulu, yang punya lahan gede bisa dikubur. Yang lain ya kremasi aja, abunya ditaruh di menara,” jelas Abung, penjaga krematorium yang siang itu lebih sibuk memindahkan bangku plastik daripada mengurus upacara duka.
Bagi yang berminat melakukan ziarah budaya, TPU Cikadut bisa jadi destinasi yang mengasyikkan asal datang pagi-pagi, dan jangan lupa bawa minum sendiri. Pintu masuknya tak jauh dari jalan besar, tapi jalur ke dalamnya cukup menanjak, dan kadang ditemani oleh ilalang yang tumbuh bebas seperti pertanyaan hidup yang tak kunjung terjawab.
Seperti TPU Cikadut sendiri, yang menyimpan banyak hal: kisah cinta beda agama, tokoh sejarah yang nyaris dilupakan, kremasi yang khidmat, hingga arsitektur makam yang tak kalah dari vila di Lembang. Sebuah tempat peristirahatan yang penuh dinamika.