“ASN itu enak, kerja santai, gaji aman.”
Kalimat itu barangkali sudah terlalu sering didengar para aparatur sipil negara (ASN). Tapi bagi mereka yang benar-benar menjalani hidup sebagai ASN, pernyataan tersebut terasa seperti ironi yang menyakitkan.
Di balik gaji tetap dan seragam yang rapi, terdapat tumpukan dokumen yang harus diselesaikan sebelum akhir bulan, koordinasi lintas instansi yang memusingkan, dan tekanan sosial yang datang bertubi-tubi dari dalam maupun luar birokrasi.
Di tengah tekanan kinerja, tuntutan digitalisasi, serta ekspektasi publik yang terus meningkat, muncul satu pertanyaan yang jarang dibicarakan secara serius di ruang-ruang birokrasi yaitu apakah ASN juga berhak mengalami kelelahan, dan jika iya, apakah mereka diberi ruang untuk sembuh?
Di Antara Target dan Tekanan
Perubahan birokrasi pasca-pandemi membuat ritme kerja ASN berubah drastis. Dulu pekerjaan terbagi antara jam kerja dan jam pulang. Kini, istilah work-life balance seringkali hanya menjadi jargon.
WFH (Work From Home) berubah menjadi WFH+ (Work From Hotel, Work From Holiday). Perangkat daerah dituntut produktif di tengah keterbatasan, dan ASN harus siap kapan saja untuk rapat daring yang bahkan bisa terjadi di akhir pekan.
Tekanan itu datang dari berbagai arah. Atasan meminta laporan disiapkan cepat, auditor minta data akurat, warga menuntut pelayanan cepat, sementara media sosial siap menjadikan kesalahan kecil sebagai bahan viral.
Birokrasi tak lagi bekerja dalam ruang tertutup, tapi diawasi secara terbuka, transparan, dan tak jarang dengan nada sinis.
Di titik ini, banyak ASN, terutama generasi muda, mulai mengalami stres. Lelah yang bukan sekadar karena pekerjaan, tapi juga karena sistem yang tak memberi ruang rehat.
Cara ASN Bertahan, Ngopi, Ngonten, atau Ngelamun
Di tengah tekanan kerja dan ekspektasi tinggi, tak sedikit ASN yang mencari cara untuk bertahan secara mental. Ada yang rutin menyeduh kopi sambil menyusun laporan, bukan untuk gaya hidup, tapi sebagai bentuk self-soothing. Ada pula yang mulai rutin menulis jurnal harian sebagai bentuk refleksi.
Menariknya, banyak ASN muda mulai menjadikan media sosial sebagai katarsis. Mereka berbagi keseharian birokrasi dalam bentuk konten ringan, mulai dari video lucu tentang ‘meeting tak berujung’, hingga meme tentang ‘tugas dadakan jam 5 sore’.
Bukan sekadar hiburan, konten-konten ini menjadi semacam bentuk kolektif healing yang diam-diam menyatukan pengalaman berjuta ASN di seluruh Indonesia.
Namun tetap saja, ada yang hanya diam. Lelah, tapi takut dianggap lemah. Burnout, tapi tetap tersenyum saat apel pagi.
Kesehatan Mental ASN
Selama ini, diskursus kesehatan mental di lingkungan ASN kerap dianggap tabu. Seorang ASN yang merasa tertekan jarang punya ruang untuk mengungkapkan perasaannya.
Budaya kerja birokrasi yang kaku dan hierarkis tidak memberi cukup ruang untuk berbicara tentang kelelahan psikis, kecemasan, atau stres berkepanjangan. Di banyak kasus, mengakui kelelahan dianggap sebagai bentuk kelemahan.
Padahal, stres dan kelelahan dalam jangka panjang bisa menurunkan produktivitas, merusak relasi kerja, dan bahkan memperbesar potensi kesalahan administratif.

Dunia korporat di sektor swasta mulai menyadari pentingnya aspek ini sejak lama, dengan menyediakan konselor internal, program keseimbangan work-life, hingga cuti untuk kesehatan mental.
Sementara itu, birokrasi kita baru mulai bicara soal ini dalam seminar-seminar formal. Tapi implementasinya di lapangan masih minim.
Padahal, jika negara ingin melahirkan birokrasi profesional, maka ia harus mulai menerima kenyataan bahwa birokrasi juga manusia.
Healing dalam Arti Sebenarnya, Bukan Melarikan Diri
Healing bukan tentang pergi ke Bali atau staycation ke Lembang. Healing, dalam konteks ASN, adalah tentang menciptakan sistem kerja yang manusiawi. Ini berarti beban kerja yang rasional, ritme kerja yang tidak melelahkan secara psikologis, dan pemimpin yang mampu mendengarkan bukan hanya menuntut.
Dalam banyak kasus, ASN tidak perlu cuti panjang untuk sembuh. Mereka hanya butuh waktu istirahat yang wajar, ruang dialog yang terbuka, dan pengakuan bahwa kelelahan mereka valid.
Sayangnya, yang sering terjadi adalah sebaliknya ASN dianggap malas ketika meminta waktu pulang tepat waktu.
ASN dianggap tidak loyal ketika tidak aktif di grup WA pukul 10 malam. Dan ASN dianggap tidak punya semangat kerja jika tidak menyelesaikan pekerjaan meski sedang sakit.
Jika ini dibiarkan, bukan hanya ASN yang akan rusak secara psikis. Sistem birokrasi secara keseluruhan akan kehilangan semangat dan daya tahan.
ASN yang Utuh Secara Mental
Di tengah gegap gempita reformasi birokrasi, transformasi digital, dan jargon manajemen talenta, ada satu aspek yang sering terlewat dalam perbincangan manajemen ASN, manusia itu sendiri.
Kita terlalu sering sibuk bicara soal kinerja, indikator output, dan kompetensi teknis, hingga lupa bahwa di balik semua itu, ada individu dengan pikiran, perasaan, dan batas.
Sudah saatnya kita menyadari bahwa manajemen ASN tidak cukup hanya dengan menyusun sistem rekrutmen yang ketat, program pelatihan kompetensi yang rapi, atau sistem penilaian kinerja yang canggih.
Semua itu penting, tapi belum cukup. Karena yang dibutuhkan bukan hanya aparatur yang cakap, tetapi juga aparatur yang utuh secara mental.
Bayangkan jika setiap instansi pemerintahan memiliki layanan konseling internal atau support group tempat pegawai bisa berbicara tanpa takut dihakimi. Tempat di mana mereka bisa berkata, “Saya sedang lelah,” tanpa harus takut kariernya surut.
Bayangkan pula jika cuti kesehatan mental bukan dianggap mewah atau manja, melainkan diakui secara formal sebagai bagian dari perlindungan pegawai.
Lebih jauh lagi, kita perlu mendobrak budaya kerja yang menormalisasi “selalu standby”, seolah ASN harus siap kapan saja, di mana saja, bahkan di luar jam kerja. Manajemen ASN yang manusiawi justru menghargai batas. Mengerti bahwa istirahat bukan kelemahan, melainkan bagian dari siklus produktivitas yang sehat.
Kunci dari semuanya terletak pada para pemimpin unit kerja. Pimpinan bukan hanya manajer kinerja, tetapi juga penjaga keseimbangan psikologis tim. Pelatihan untuk meningkatkan empati dan adaptivitas di kalangan pimpinan mutlak diperlukan, agar mereka bisa menjadi pendengar, bukan sekadar pemberi tugas.
Dan yang paling penting dari semua itu adalah budaya. Budaya birokrasi yang emosional inklusif. Sebuah iklim kerja di mana seseorang tak perlu berpura-pura kuat setiap hari. Di mana ASN merasa aman untuk berkata “Saya lelah.” Dan seluruh sistem menjawab “Tidak apa-apa. Kami mendengarmu.”
ASN Muda, Harapan Baru
Generasi ASN muda punya cara berpikir yang berbeda. Mereka tumbuh di era digital, terbiasa berbicara soal kesehatan mental, dan punya kesadaran lebih terhadap keseimbangan hidup. Ini bisa menjadi kekuatan baru dalam reformasi birokrasi.
Namun, tanpa dukungan sistemik, idealisme mereka bisa cepat padam. Banyak ASN muda akhirnya merasa terjebak: ingin berinovasi, tapi tak diberi ruang. Ingin berkembang, tapi dibebani tugas administratif tanpa henti.
Jika negara ingin menjaga semangat mereka, maka negara harus mulai memanusiakan mereka.
Tak ada birokrasi yang kuat tanpa aparatur yang sehat. Tak ada reformasi yang sungguh-sungguh tanpa birokrat yang bahagia. Dan tak ada pelayanan publik yang optimal jika orang-orang di baliknya sendiri kelelahan.
Birokrasi butuh healing. Tapi healing yang bukan basa-basi. Healing yang sistemik. Yang dimulai dari empati, diterjemahkan ke dalam kebijakan, dan dihidupkan dalam budaya kerja.
Mungkin hari ini kita masih menertawakan konten ASN yang viral karena stres kerja. Tapi jika kita tak mulai serius menangani akar masalahnya, maka birokrasi akan terus menjadi tempat yang melelahkan secara diam-diam dan negara akan membayar mahal untuk itu. (*)