Advokat memiliki peran penting dalam menjamin terpenuhinya hak-hak hukum klien, salah satunya melalui kewajiban menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh selama hubungan profesional. Kewajiban ini bukan hanya bentuk perlindungan terhadap klein, tetapi juga pilar utama dalam menjunjung keadilan dan menjaga integritas proses peradilan.
Oleh karena itu, kode etik profesi hukum secara tegas mengatur tanggung jawab advokat untuk tidak membocorkan informasi klien dalam keadaan apapun.
Namun, dalam praktiknya, prinsip ini sering kali diabaikan, berdasarkan kasus Lukas Enembe dimana KPK memanggil pengacara klien sebagai saksi yang berpotensi melanggar kewajiban kerahasiaan sesuai Pasal 19 UU Advokat, terutama ketika terjadi intervensi dari aparat penegak hukum yang berkepentingan pribadi.
Meskipun kode etik profesi hukum memiliki peran krusial dalam menjamin integritas, keadilan, dan martabat proses peradilan, tetapi pada praktiknya implementasinya sering diabaikan oleh aparat penegak hukum demi kepentingan pribadi, sehingga mengancam asas-asas peradilan yg seharusnya dijunjung tinggi.
Kewajiban Advokat dalam Menjaga Kerahasiaan Klien
Etika profesi hukum mengatur bahwa advokat memiliki kewajiban mutlak untuk menjaga kerahasiaan klien sebagai bagian dari integritas profesi. Kewajiban ini diatur secara eksplisit dalam Kode Etik Advokat Indonesia dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menegaskan bahwa advokat dilarang mengungkapkan segala sesuatu yang diketahui dari kliennya, baik selama hubungan kerja berlangsung maupun setelahnya.
Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi posisi hukum klien dan mencegah adanya penyalahgunaan informasi yang dapat merugikan pihak yang dibela, serta menjadi landasan profesionalisme advokat dalam menjalankan tugasnya sebagai pembela dan pendamping.
Selain sebagai aturan formal, menjaga rahasia klien juga menjadi dasar terbentuknya kepercayaan antara advokat dan klien yang sangat penting dalam membangun kerja sama yang efektif selama proses hukum berlangsung. Kepercayaan ini memungkinkan advokat memperoleh informasi yang lengkap dari klien, yang pada gilirannya akan membantu dalam menyusun strategi pembelaan yang optimal.
Tanpa adanya jaminan kerahasiaan, klien mungkin enggan membuka fakta-fakta penting yang justru krusial bagi keberhasilan pembelaan. Dengan demikian, tanggung jawab ini tidak hanya kewajiban etik, tetapi juga elemen fungsional yang mendukung integritas dan keberhasilan proses peradilan yang adil.
Tekanan dan Intervensi yang Mengabaikan Kerahasiaan Klien
Dalam praktik penegakan hukum, kewajiban advokat untuk menjaga kerahasiaan klien sering terhambat oleh intervensi dari aparat penegak hukum. Tekanan yang datang ini bisa dalam berbagai bentuk, mulai dari permintaan informal, panggilan resmi, hingga ancaman sanksi hukum apabila advokat menolak memberikan keterangan.
Beberapa penyidik atau aparat penegak hukum beralasan bahwa pembukaan informasi tersebut diperlukan demi kelancaran penyidikan, padahal secara prinsip hukum, advokat dilindungi oleh hak ingkar atau right to refuse yang mengizinkannya untuk tidak memberikan keterangan terkait rahasia klien.
Kondisi seperti ini menempatkan advokat dalam posisi yang sulit, di satu sisi ia terikat pada kewajiban etis dan hukum untuk melindungi rahasia klien, namun di sisi lain, ia berhadapan dengan risiko personal maupun profesional jika menolak permintaan dari aparat.
Ketundukan advokat terhadap tekanan atau intervensi tersebut menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap prinsip-prinsip etika profesi. Ketidakseimbangan kekuasaan antara advokat dan aparat penegak hukum menjadikan advokat rentan untuk dipaksa keluar dari perannya sebagai pelindung hak-hak klien.
Dalam beberapa kasus, informasi rahasia yang berhasil dibuka justru dimanfaatkan bukan untuk tujuan penegakan hukum yang murni, melainkan demi kepentingan pribadi, politik, atau ekonomi pihak tertentu. Situasi ini tidak hanya merugikan posisi hukum klien, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap advokat sebagai profesi yang independen dan berintegritas.
Pada akhirnya, praktik semacam ini menciptakan contoh buruk yang dapat melemahkan asas keadilan dalam sistem peradilan.
Dampak Pengabaian Kerahasiaan Klien terhadap Asas Peradilan

Pengabaian kewajiban advokat dalam menjaga kerahasiaan klien dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi tegaknya asas peradilan yang adil.
Bocornya informasi rahasia, baik disengaja maupun akibat tekanan, berpotensi dimanfaatkan untuk mempengaruhi arah proses hukum, bahkan merugikan posisi klien di persidangan. Informasi yang seharusnya terlindungi bisa menjadi senjata bagi pihak lawan atau digunakan untuk membangun narasi yang menguntungkan satu pihak saja.
Misalnya, dalam kasus korban kekerasan seksual, pelanggaran kerahasiaan memiliki dampak yang jauh lebih kompleks dibandingkan perkara umum.
Kebocoran informasi sensitif seperti identitas korban, kronologi kejadian, atau bukti yang bersifat pribadi tidak hanya mengancam posisi hukum korban, tetapi juga memicu trauma berulang karena korban dipaksa kembali mengingat dan mengalami dampak psikologis dari peristiwa tersebut.
Korban dapat merasa kembali dipermalukan, disalahkan, atau distigmatisasi oleh lingkungan sosialnya, yang pada akhirnya menghambat keberaniannya untuk melanjutkan perkara. Korban kekerasan seksual yang mengalami kebocoran rahasia cenderung kehilangan rasa aman terhadap sistem hukum dan memilih menghentikan proses peradilan.
Akibatnya, akses korban terhadap keadilan menjadi semakin terbatas, sementara pelaku justru diuntungkan oleh mundurnya korban.
Kondisi ini jelas bertentangan dengan asas imparsialitas, di mana peradilan seharusnya berlangsung secara netral dan berpihak pada kebenaran, serta mengikis prinsip due process of law yang menjadi salah satu fondasi penting dalam sistem hukum modern. Dampak lain yang tidak kalah serius adalah merosotnya citra dan martabat profesi advokat di mata publik.
Ketika advokat gagal melindungi rahasia klien, publik dapat kehilangan kepercayaan terhadap independensi profesi ini, menganggap advokat tidak lagi menjadi pelindung hak-hak klien, melainkan menjadi alat bagi pihak yang memiliki kekuasaan.
Pandangan semacam ini akan mempersulit advokat dalam membangun hubungan profesional yang sehat dengan klien di masa depan, karena klien mungkin akan menahan informasi penting yang justru dibutuhkan untuk pembelaan. Jika kondisi ini terus berlanjut, akan terbentuk pola buruk dalam praktik hukum yang semakin menjauhkan profesi advokat dari perannya sebagai penjaga keadilan.
Menjaga kerahasiaan klien merupakan kewajiban mendasar yang menjadi inti dari profesi advokat, baik sebagai amanat kode etik maupun sebagai perlindungan hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Kewajiban ini tidak hanya melindungi kepentingan hukum klien, tetapi juga menjadi fondasi kepercayaan, integritas, dan keberlangsungan asas peradilan yang adil.
Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa kewajiban ini kerap diabaikan, terutama ketika advokat menghadapi intervensi dan tekanan dari aparat penegak hukum yang berkepentingan pribadi.
Kasus-kasus seperti pemanggilan advokat sebagai saksi dalam perkara klein hingga kebocoran informasi sensitif pada korban kekerasan seksual memperlihatkan betapa seriusnya dampak pengabaian kerahasiaan klien, mulai dari hilangnya rasa aman, trauma berulang, hingga rusaknya citra profesi advokat di mata publik.
Untuk itu, diperlukan komitmen bersama dari seluruh penegak hukum untuk memperkuat perlindungan terhadap kerahasiaan klien melalui penegakan kode etik yang konsisten, perlindungan hukum yang tegas, serta sikap profesional yang berlandaskan pada integritas dan keberpihakan pada keadilan. (*)
DAFTAR PUSTAKA
- Hidayat, R. (2022, November 22). Pengacara Lukas Enembe: Advokat wajib menjaga rahasia klien dan tidak dapat dituntut. Hukumonline. Diakses pada Agustus 2025, dari https://www.hukumonline.com/berita/a/pengacara-lukas-enembe--advokat-wajib-menjaga-rahasia-klien-dan-tidak-dapat-dituntut-lt637c75d7dd00e/
- Al Mustaqim, D., Samsiah, Y ., & Nurfatiha, S. R. (2023). Peran etika profesi hukum dalam meningkatkan profesionalisme hukum di Indonesia. Lex Laguens: Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan, 1(2), 80–91. https://jurnal.dokterlaw.com/index.php/lexlaguens
- Savelya, D., & Prianto, Y . (2023). Implementasi etika profesi penegak hukum dalam persidangan. Jurnal Kertha Semaya, 11(12), 2968–2978. https://lintar.untar.ac.id/repository/penelitian/buktipenelitian_10288001_4A050324130 232.pdf#page=3.39
- Adityadarma Bagus, P. S. P., Wijayanti, D. S. S., Fransisca, I., Liemanto, Q. S. K., & Bintoro, A. C. (2020). Pandangan filsafat hukum terkait dengan etika profesi. Rewang Rencang: Jurnal Hukum Lex Generalis, 1(7), 1–14. https://ojs.rewangrencang.com/index.php/JHLG/article/download/228/116/895
- Burhanudin, A. A. (2018). Peran etika profesi hukum sebagai upaya penegakan hukum yang baik. Jurnal El-Faqih, 4(2), 1–15. https://ejournal.iaifa.ac.id/index.php/faqih/article/view/25
- Marbun, H., Irawan, B., & Yulia, R. (2024). The role of advocates in fulfilling the rights of victims of sexual offenses: A study of the victims’ lawyers. Southeast Asian Journal of Victimology, 2(1), 1–15 https://jurnal.untirta.ac.id/index.php/sajv/article/download/24954/12612