Kasih ibu,kepada beta tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi, tak harap kembali, Bagai sang surya, menyinari dunia.
- Lirik lagu Kasih Ibu karangan Mochtar Embut
AYOBANDUNG.ID – Shabariah tak bisa menahan rasa bahagianya saat mengetahui ia mengandung anak ketiganya. Tahun itu, 2002, usianya sudah 44 tahun. Senyum merekah di wajahnya, disambut tatapan haru sang suami. Kabar itu datang bak kejutan di ujung masa subur—tak pernah diduga, namun tak sekalipun ia tolak.
Ia mulai memilah-milah asupan bergizi demi tumbuh kembang janin. Namun, kebahagiaan itu perlahan memudar. Dokter yang memeriksa kandungannya mendiagnosis kemungkinan besar janin akan terlahir dengan down syndrome.
Down syndrome terjadi akibat kromosom 21 mengalami pembelahan abnormal, sehingga terdapat materi genetik berlebih. Kondisi ini berdampak pada perkembangan fisik dan intelektual penderitanya.
“Dokter mendiagnosis 70 persen anak (ketika lahir) down syndrome,” kata Shabariah, yang kini berusia 68 tahun di Kota Bandung, Senin, 4 Agustus 2025.
Shabariah sulit mempercayai diagnosis itu. Ia berpindah ke rumah sakit lain, tetapi hasilnya sama: janinnya tetap didiagnosis down syndrome. Lima bulan menjelang kelahiran, Shabariah diliputi stres dan depresi.
Berbagai cara ia tempuh agar anaknya dapat lahir tanpa keterbatasan fisik. Namun upaya itu tak membuahkan hasil. Di salah satu rumah sakit, seorang dokter bahkan menawarkan “solusi” yang membuat hatinya teriris—yakni menggugurkan kandungan. Tawaran itu ia tolak tegas.

Baginya, tindakan itu haram dilakukan menurut ajaran Islam yang ia anut. Wajahnya pun kerap basah oleh air mata. “Saat itu saya menangis sejadi-jadinya. Konsultasi pun jawabannya cuma, ‘nanti Ibu nggak bisa kerja,’ atau ‘nanti nggak bisa apa-apa,’” ucapnya, mengingat masa-masa sulit itu.
Hatinya gundah. Ia belum berani menceritakan kondisi ini kepada suaminya. Hingga suatu hari, ia bertemu seorang teman. Teman itu tak memberi jawaban pasti, tetapi membuka jalan: pasrah kepada Tuhan.
Sejak itu, Shabariah mulai rutin menunaikan salat istikharah, memohon petunjuk dari Sang Pencipta. Hari demi hari berlalu, hingga ia merasa mendapatkan jawaban dari doa yang selalu ia panjatkan.
“Suatu saat, saya seperti mendapat teguran, ‘Saya sudah kasih kamu sepasang (anak yang normal), lalu saya titipkan yang disabilitas, kamu tidak mau. Bagaimana kalau yang itu (anak normal) Saya ambil?’” kenangnya.
Ia pun mantap memutuskan untuk melahirkan anak ketiganya. Hari bahagia tiba. Bayi mungil itu lahir dan diberi nama Rizqi Rabiutsani. Namun, sang suami belum mengetahui diagnosis down syndrome tersebut karena putranya lahir tanpa cacat fisik.
Baru seminggu kemudian, Shabariah memberanikan diri. Ia meminta bantuan dokter untuk menyampaikan kabar itu kepada suaminya. “Waktu dengar penjelasan dokter, suami saya syok. Tiga hari dia nggak bicara. Lalu kami mencari bantuan ke yayasan dan mulai terapi. Anak saya baru dua minggu lahir sudah diterapi sampai umur 10 tahun,” tuturnya.
Shabariah bukan satu-satunya ibu yang pernah merasakan kebingungan dan guncangan hati ketika memiliki anak dengan down syndrome. Lia Rosliawati, 51 tahun, pun mengalami kisah serupa. Bedanya, saat mengandung, tak ada diagnosis kelainan genetik.
Lia baru mengetahui anaknya menyandang down syndrome setelah sang buah hati lahir, bahkan setelah beberapa kali menjalani imunisasi.
“Kan seharusnya sudah terdeteksi ya, dalam kandungan. Tapi karena nggak ada penemuan, dan dokter pun nggak ngomong apa-apa. Sampai lahir pun dokter nggak bilang apa-apa. Selepas beberapa bulan, baru bilang bahwa anaknya didiagnosis down syndrome,” ungkapnya.
Lia mengatakan, ciri-ciri fisik anak dengan down syndrome mulai terlihat pada buah hatinya. Ia tidak mengambil langkah pencegahan medis yang sifatnya invasif, tetapi memilih menjalani terapi untuk anaknya.
Di sisi lain, dokter mengingatkan bahwa memiliki anak berkebutuhan khusus berarti menjalani hari-hari yang berbeda dari kebanyakan orang tua. Banyak tantangan yang menanti—mulai dari proses menerima kenyataan, hingga merawat anak yang membutuhkan perhatian ekstra.
“Jadi awal begitu tahu itu, ya sedih, kecewa, marah. Tapi kan nggak tahu yang dimarahkan siapa. Lebih merasa bersalah, gitu,” tuturnya pelan.
“Kadang lebih menyalahkan diri sendiri, sih. Memang sulit untuk menerima kondisi anak seperti ini, karena kita nggak siap,” imbuhnya.
Lia sempat tenggelam dalam renungan, mencari jalan keluar dari pikiran-pikiran buruk yang menghantuinya. Akhirnya ia belajar untuk legowo, menerima takdir dengan hati yang lapang. Meski rasa takut dan tanya tak pernah benar-benar hilang, ia mencoba untuk tetap berdiri tegak.
“Ini ke depannya gimana? Rasa takut, segala macam ada. Salah saya tuh apa punya anak kayak gini. Emang nggak mudah, sih,” ujarnya lirih.

Gabung Komunitas untuk Saling Menguatkan
Kendati sudah berusaha menerima, Shabariah dan Lia menyadari bahwa penerimaan hati itu harus terus dirawat. Mereka membutuhkan lingkungan yang mendukung dan menguatkan. Akhirnya, keduanya memutuskan bergabung dalam Potads—Persatuan Orang Tua Anak dengan down syndrome.
Shabariah bergabung dengan Potads Jawa Barat pada 2013. Ia bisa dibilang salah satu anggota lama. Saat itu, anak bungsunya baru berusia 10 tahun dan duduk di bangku SD.
“Saya nanya ke orang-orang, katanya ‘ini ada Potads,’ akhirnya saya gabung. Waktu itu baru dibentuk kalau nggak salah,” kenangnya.
Keputusannya bergabung bukan hanya demi dirinya, tetapi juga untuk sang anak, agar memiliki teman yang senasib. Shabariah tahu, anaknya menyadari ia memiliki keterbatasan fisik dan intelektual. Dengan bertemu anak-anak lain yang juga memiliki down syndrome, ia berharap putranya tidak merasa sendirian.
“Karena di sini kan biar dia punya sesama. Kalau di luar itu, dia tahu, karena anaknya tahu, kalau dia berbeda. Dia sadar,” ucapnya.
Sementara itu, Lia bergabung ketika anaknya duduk di kelas 4 SD. Alasannya serupa: ia ingin anaknya lebih mudah bergaul dengan teman sebaya, sekaligus membantu dirinya menerima keadaan.
“Setelah masuk komunitas, sih, agak mulai lebih berbesar hati. Karena kan banyak temannya. Jadi penerimaan tuh mulai nggak kayak awal-awal. Setelah masuk komunitas, jadi kita terbuka, lebih ikhlas, lah. Meskipun susah—susah banget,” katanya.
Penerimaan Terhadap Anak Down Syndrome Menjadi Kunci
Orang tua membutuhkan dukungan dari lingkungan sekitar. Namun, tak jarang hal itu sulit didapatkan. Di Indonesia, jumlah penyandang down syndrome diperkirakan mencapai 300 ribu orang. Itu berarti ada ratusan ribu orang tua yang mungkin sedang berjuang menerima kenyataan bahwa buah hati mereka lahir dengan keterbatasan fisik dan intelektual.
Dukungan dan semangat dari sekitar mampu memupuk kembali rasa syukur orang tua. Sebab, kelahiran anak dengan down syndrome bukanlah akhir dari segala harapan—melainkan awal dari perjalanan yang membutuhkan kekuatan hati. Untuk membantu perjalanan itu, lahirlah Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome atau Potads.

Mulanya, Potads hanya aktif di wilayah Jakarta. Kini, jejaringnya sudah merambah ke berbagai daerah besar, termasuk Jawa Barat.
Potads Jawa Barat resmi berdiri pada 2013. Setelah 12 tahun, komunitas ini dipimpin oleh Mira Widiastuti, seorang ibu yang paham betul lika-liku perjuangan mendampingi anak berkebutuhan khusus. Saat ini, jumlah anggotanya telah mencapai sekitar 800 orang.
Mira mengatakan, berbagai kegiatan rutin digelar untuk mempererat hubungan antarorang tua, saling menguatkan, berbagi pengalaman, hingga membantu satu sama lain. Ia memahami betul bahwa tak sedikit orang tua yang mengalami stres atau depresi saat mengetahui anak mereka memiliki kelainan genetik—apalagi jika kabar itu datang menjelang kelahiran.
“Penerimaan orang tua adalah langkah awal. Kesiapan dan keikhlasan itu penting. Saya perhatikan, semakin orang tua menerima, perkembangan anak-anak ini akan semakin bagus dibandingkan dengan orang tua yang menolak atau tidak siap,” tutur Mira, Senin, 4 Agustus 2025.
Dalam komunitas ini, anak-anak diikutsertakan dalam beragam kegiatan: karate, memasak, bermain angklung, hingga seni tari. Kegiatan tersebut bukan hanya memperkaya keterampilan motorik, tetapi juga membangun rasa percaya diri dan kebersamaan.
Mira menyebut anak dengan down syndrome adalah “peniru ulung”. Apa yang terekam oleh pancaindra mereka akan membentuk kebiasaan. Karena itu, lingkungan yang positif sangat penting. “Anak-anak ini bisa melakukan apa pun, hanya saja butuh waktu. Mereka bisa karena terbiasa,” ujarnya.
Namun, konsistensi adalah kunci. Ia mencontohkan, jika terapi berhenti sebulan, maka proses harus diulang dari awal. Begitu pula dengan latihan gerakan atau keterampilan. “Kalau mereka libur sebulan, bisa lupa gerakan-gerakannya. Harus mulai lagi dari awal,” jelasnya.
Mira menuturkan, anak-anak usia 0–3 tahun biasanya menjalani program terapi untuk melatih fisik dan kemampuan kognitif. Usia 3–6 tahun fokus pada gizi dan kesehatan. Memasuki usia 6 tahun ke atas, perhatian bergeser pada kemandirian dan pendidikan.
Ada tiga pilihan pendidikan: homeschooling, sekolah inklusif, dan Sekolah Luar Biasa (SLB).
“Kalau sekolah inklusif itu reguler, tapi menerima anak-anak ABK (Anak Berkebutuhan Khusus), biasanya dibatasi 2 sampai 3 anak per kelas,” kata Mira.
Potads pun aktif menjalin kolaborasi, baik dengan pemerintah maupun swasta. Misalnya, pemeriksaan mata gratis bekerja sama dengan RS Cicendo. “Kita tidak bisa berjalan sendiri. Tema Down Syndrome International tahun ini adalah support your system. Sistem dukungan itu harus kita kembangkan untuk anak-anak,” ujarnya.
Kebanyakan anggota Potads bergabung karena diajak teman atau mendapat informasi dari media sosial. Peran orang tua sangat penting, tidak hanya untuk anaknya, tetapi juga sebagai jembatan agar masyarakat mengenal dan peduli pada penyandang down syndrome.
Mira tak menutup mata bahwa stigma masih membayangi. Penyandang down syndrome kerap dianggap tidak mampu dan menyusahkan. Bahkan, ada yang mengalami perlakuan diskriminatif.
Di Kabupaten Bandung, akhir 2024 lalu, terjadi kasus memilukan: seorang penyandang down syndrome dipaksa memakan daging musang. Potads turut mendampingi korban dan keluarganya. Beruntung, polisi bergerak cepat setelah video kejadian itu viral. Pelaku memang tertangkap, tetapi luka di hati keluarga tak mudah sembuh.
“Anak-anak down syndrome sendiri mungkin tidak sadar jika di-bully. Tapi keluarganya merasakan luka itu,” kata Mira.
Bagi Mira, satu hal yang tak bisa ditawar adalah: penerimaan. Sebab ketika hati orang tua lapang, langkah untuk mendidik, melatih, dan mencintai anaknya akan lebih ringan. Dan di sanalah, jalan menuju perkembangan terbaik sang anak dimulai.

Pendidikan dan Lapangan Pekerjaan untuk Penyandang Down Syndrome Masih Minim
Tantangan penyandang down syndrome bukan hanya soal stigma negatif, tetapi juga keterbatasan di bidang pendidikan dan lapangan pekerjaan.
Mira mengatakan, anak berkebutuhan khusus—termasuk down syndrome—sering kesulitan beradaptasi di sekolah reguler. Banyak yang akhirnya menyerah dan pindah ke sekolah khusus.
Pemerintah memang telah mewajibkan sekolah menerima siswa dengan kebutuhan khusus. Namun, lanjut Mira, kebijakan ini belum sepenuhnya berjalan di lapangan. Fasilitas yang kurang memadai dan lingkungan yang belum siap sering membuat anak-anak ini terpinggirkan.
Kewajiban menerima siswa berkebutuhan khusus diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023, dan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan atau Potensi Kecerdasan/Bakat Istimewa.
Mira menegaskan, anak berkebutuhan khusus membutuhkan pendampingan saat belajar, yakni shadow teacher atau guru pendamping khusus. Mereka memastikan anak dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Namun, tenaga pendamping ini masih langka di sekolah reguler.
“Kalau sekolah negeri, pertama SDM-nya belum cukup. Kedua, program khusus untuk ABK itu memang tidak ada,” ujarnya.
Ia menambahkan, setiap ABK memiliki kebutuhan belajar yang berbeda. Metode untuk anak down syndrome tentu berbeda dengan metode untuk penyandang tunanetra.
“Setiap anak program pembelajarannya berbeda-beda. Tidak bisa disamakan. Harus disesuaikan dengan kemampuan dan perkembangan masing-masing anak,” tegasnya.
Sementara itu, Shabariah bercerita tentang anaknya yang baru bisa berjalan pelan di usia dua tahun dan hingga kini berbicara belum sepenuhnya jelas. Sebagai pekerja tanpa asisten rumah tangga, ia harus mengajarkan kemandirian sejak anaknya kecil.
“Dari TK sudah saya lepas. Alhamdulillah sampai SMA sudah mandiri,” kenangnya.
Namun, kemandirian tidak otomatis menjamin diterimanya sang anak di dunia nyata, baik di pendidikan maupun pekerjaan. Sejak dini, Shabariah berusaha mencari sekolah selain SLB yang mau menerima anaknya. Ia ingin anaknya berada di lingkungan inklusif agar bisa meniru perilaku teman-teman non-disabilitas.
“Waktu SD saya memang berniat masukin ke sekolah inklusif, karena menurut saya pendidikan itu penting, dan meniru yang normal itu penting,” ujarnya.
Masalah mulai muncul saat SMP. Dunia pergaulan anaknya berubah, dan ia mulai merasa tersisih.
“Yang tadinya ceria, jadi pendiam. Ternyata dia nggak nyambung sama temen-temennya,” kata Shabariah.
Akhirnya, SMA dijalani di SLB. Anak Shabariah merasa lebih percaya diri karena kemampuannya di atas rata-rata siswa lain. Tapi perjuangan belum selesai. Setelah lulus, anaknya ingin kuliah di jurusan Pendidikan Luar Biasa di UPI. Harapan itu pupus karena tak ada jalur yang sesuai untuknya.
Shabariah lalu mengikutsertakan anaknya dalam berbagai pelatihan untuk penyandang disabilitas. Ia berharap keterampilan itu mempermudah sang anak mendapat pekerjaan. Namun, hingga kini—di usia 23 tahun—anaknya belum bekerja.
“Anak saya nggak kepilih karena lambat. Targetnya 200 unit sehari, anak saya cuma bisa 50. Yang lain bukan down syndrome, sedangkan fisik dan intelektual anak saya di bawah rata-rata,” tuturnya.
Menurut Shabariah, di Bandung peluang kerja bagi penyandang disabilitas mental seperti anaknya sangat terbatas. UMKM hingga program pelatihan sering menolak. Pemerintah lebih banyak fokus pada disabilitas fisik.
“Saya pengen dia belajar batik di dinas, tapi nggak bisa karena hanya terima yang tunarungu. Katanya, ‘kami belum siap menerima tunagrahita (Down Syndrome),’” ujarnya.
Di masyarakat pun, penerimaan belum sepenuhnya ada. Meski kadang disambut hangat, ada juga yang menolak secara halus.
“Anak saya belum pernah sih, tapi ada orang tua yang narik anaknya, nggak boleh main bareng. Takut ketularan,” katanya.

Shabariah sadar, sejauh apa pun anak-anak ini berusaha, jika sistem tidak mau menyesuaikan diri, mereka akan selalu tertinggal.
“Dunia luar itu nggak empati. Mereka yang bisa buat 450 unit disuruh anak saya yang cuma mampu 50 ikut—ya nggak mungkin. Anak down syndrome bisa, cuma lambat,” ujarnya.
Baginya, membesarkan anak down syndrome bukan tentang menjadikannya hebat di mata orang lain, tetapi memastikan ia punya tempat yang aman dan diterima. Butuh waktu belasan tahun untuk sampai pada kesadaran itu.
“Anak itu cuma titipan, bukan punya kita. Jangan nuntut anak, tuntut diri sendiri,” katanya lirih. “Allah tidak menciptakan yang gagal atau cacat. Manusia yang bilang itu cacat.”
Kini, Shabariah, Lia, dan ratusan orang tua lain menenun ulang harapan mereka. Down syndrome bukan lagi vonis atau beban, melainkan panggilan untuk lebih ikhlas, lebih sabar, dan lebih manusiawi.
Di komunitas, mereka tak merasa sendirian. Mereka saling menopang, menguatkan, dan menjaga agar tidak tumbang saat keraguan datang diam-diam.
Karena pada akhirnya, seperti kata Mira, bukan hanya anak yang harus bertumbuh, tapi juga orang tuanya. Dari tangan-tangan yang dulu gemetar karena takut, kini lahirlah pelukan paling kokoh untuk anak-anak spesial—hadiah Tuhan yang tak pernah minta dilahirkan berbeda. (*)