AYOBANDUNG.ID – Banyak hal yang harus dikorbankan oleh perempuan yang bekerja sebagai buruh pabrik, apalagi ketika mereka juga berperan sebagai ibu.
Salah satunya adalah Yuli Yulianti (31), buruh pabrik di Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Bandung, yang kini tengah mempertimbangkan untuk mengundurkan diri demi bisa lebih hadir dalam kehidupan anak-anaknya.
"Sedang berpikir untuk resign. Karena lumayan capek juga," ujar Yuli saat ditemui pada Rabu, 30 April 2025.
Setiap hari, Yuli bekerja selama delapan jam di pabrik yang berjarak sekitar 15 menit dari rumahnya di Kecamatan Arjasari.
Ia mengaku kesulitan membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Sebagai ibu dari dua anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar, jadwal kerjanya yang padat membuat ia jarang bisa mengantar atau menjemput anak ke sekolah, kecuali saat mendapat giliran shift sore.
"Kalau masuk pagi, ya sudah enggak sempat urus anak ke sekolah. Semuanya saya tinggal," katanya.
Beban kerja ganda seperti yang dialami Yuli bukan hal yang langka di kalangan perempuan pekerja. Menurut data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2024, 36,32% tenaga kerja formal di Indonesia adalah perempuan, banyak di antaranya bekerja di sektor industri manufaktur seperti tekstil dan garmen — sektor dominan di kawasan Bandung Raya.

Studi dari International Labour Organization (ILO) juga mengungkapkan bahwa mayoritas buruh perempuan di Indonesia masih memikul beban ganda: pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan formal. Minimnya akses terhadap layanan pengasuhan anak, terutama di daerah semi-perkotaan seperti Pameungpeuk dan Arjasari, turut memperberat situasi mereka.
Yuli mengaku bersyukur karena perusahaan tempatnya bekerja cukup memperhatikan hak-hak perempuan.
"Untuk cuti haid, cuti hamil, juga melahirkan tetap diberikan oleh perusahaan," ungkapnya. Namun, ia merasa hal itu belum cukup menjawab kebutuhan emosional anak-anaknya yang masih sangat bergantung pada kehadiran sang ibu.
Dalam Jurnal Ketenagakerjaan yang ditulis Sapto Setyodhono di Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketenagakerjaan, Kementerian Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa penyebab pekerja perempuan berhenti bekerja karena alasan mengurus rumah tangga. Jumlah ini menjadi alasan terbanyak dibandingkan faktor lain seperti habis masa kontrak atau pendapatan yang tidak memuaskan.
Padahal, masa anak-anak merupakan periode krusial dalam pembentukan karakter dan emosi. Psikolog anak menekankan bahwa kurangnya kehadiran orang tua, terutama ibu, dapat berdampak negatif terhadap perkembangan emosional anak, khususnya pada usia 0–7 tahun.
Untuk sementara ini, dua anak Yuli masih diasuh oleh orang tuanya di rumah. Namun, rasa bersalah karena harus meninggalkan anak-anak setiap hari kerap membayangi pikirannya.
"Kadang kepikiran terus pas kerja. Anak gimana di rumah. Itu yang bikin saya mikir resign," tuturnya lirih.
Dilema seperti yang dirasakan Yuli juga dialami oleh banyak perempuan Indonesia.
Mereka berada di persimpangan antara kebutuhan ekonomi dan tanggung jawab emosional terhadap anak. Di tengah keterbatasan kebijakan yang mendukung keseimbangan kerja dan keluarga, tak sedikit perempuan yang akhirnya memilih mundur—bukan karena lelah semata, melainkan karena cinta yang begitu besar pada anak-anak mereka.(*)