Siapa pemilik sah sebuah karya yang dihasilkan oleh mesin pintar?
Pertanyaan ini menjadi semakin penting setelah tiga seniman Amerika Serikat, Sarah Andersen, Kelly McKernan, dan Karla Ortiz, menggugat tiga perusahaan besar yaitu Midjourney, Stability AI, dan DeviantArt.
Mereka menuduh karya mereka digunakan tanpa izin untuk melatih sistem kecerdasan buatan. Ini bukan hanya soal pelanggaran individu, tapi soal batas-batas baru antara manusia dan mesin.
Buku Hak Cipta dan Artificial Intelligence karya Dr Ranti Fauza Mayana, Tisni Santika, dan Zahra Cintana menyelami persoalan tersebut secara mendalam.
Ditulis dengan gaya yang akademis tetapi tetap komunikatif, buku ini menjawab berbagai dilema yang kini muncul di dunia hukum, khususnya tentang bagaimana kita memperlakukan hasil karya berbasis AI dalam bingkai hak cipta.
Pada bagian awal, penulis menegaskan bahwa kekayaan intelektual adalah warisan peradaban, bukan semata soal ekonomi. Di dalamnya terkandung nilai moral yang menjamin penghargaan atas jerih payah manusia.
Namun di era kecerdasan buatan, batas antara karya orisinal dan hasil komputasi menjadi kabur. Ketika AI bisa menciptakan tulisan, gambar, dan musik hanya dari perintah singkat, muncul pertanyaan besar: siapa penciptanya?
Buku ini membahas konsep fair use atau penggunaan wajar sebagai celah hukum yang bisa dimanfaatkan lembaga pendidikan atau penelitian saat menggunakan materi berbasis AI.
Namun pembahasan tidak berhenti di sana. Penulis juga menyoroti bagaimana konsep authorship harus dievaluasi ulang. Apakah AI bisa dianggap sebagai pencipta? Atau hanya sebagai alat yang dikendalikan manusia?
Dalam bab khusus, buku ini juga mengulas bagaimana negara-negara mengambil sikap berbeda.
Tiongkok misalnya sudah memberikan perlindungan hukum untuk karya AI. Sementara Uni Eropa masih memegang prinsip bahwa ciptaan hanya bisa diakui jika ada intervensi manusia. Australia mencoba jalan tengah dengan merumuskan model perlindungan terbatas.
Pembahasan semakin tajam ketika buku ini menyoroti dunia pendidikan. Jika seorang mahasiswa menggunakan AI untuk menulis esai, apakah ia tetap layak dianggap sebagai penulis?
Buku ini menjawab bahwa kontribusi manusia tetap menjadi kunci untuk menilai apakah suatu karya bisa mendapat perlindungan hak cipta. Kolaborasi kreatif antara manusia dan AI bisa diterima, selama peran manusia tetap dominan.

Dari sisi kerangka hukum, buku ini merujuk pada prinsip internasional seperti Berne Convention dan TRIPs Agreement. Di situ digarisbawahi bahwa prinsip perlindungan tidak bisa asal diterapkan tanpa memperhatikan konteks dan perkembangan teknologi.
Karena itu, peran pembuat kebijakan dan akademisi hukum menjadi sangat penting dalam menyusun batasan yang adil dan adaptif.
Namun buku ini masih menyisakan ruang yang belum tergarap maksimal, terutama soal respons industri kreatif.
Integrasi pandangan dari kalangan kreator konten, startup teknologi, atau pengembang AI seharusnya bisa menambah kekayaan perspektif serta menyeimbangkan dominasi pendekatan hukum normatif yang menjadi tulang punggung buku ini.
Sejauh mana mereka terlibat dalam diskusi hukum ini? Buku ini lebih banyak menyorot perspektif normatif dan belum banyak menggali sisi praktis dari mereka yang hidup di tengah arus cepat produksi konten berbasis mesin.
Meski begitu, buku ini tetap layak diapresiasi. Ia hadir bukan sekadar memberi teori, tetapi memprovokasi pemikiran.
Di tengah ledakan karya dari akal imitasi, buku ini mengingatkan kita bahwa hukum harus bersiap menghadapi realitas baru.
Bukan untuk menghambat teknologi, tetapi untuk menjaga agar penghargaan atas kreativitas tetap berpihak pada yang benar-benar mencipta. (*)
Informasi Buku:
- Judul Buku: Hak Cipta dan Artificial Intellegence
- Penulis: Dr Ranti Fauza Mayana, Tisni Santika, Zahra Cintana
- Penerbit: Refika Aditama, Bandung
- Tahun Terbit: Oktober 2024 | 135 halaman | ISBN: 978 623 503 044 9