AYOBANDUNG.ID -- Transformasi digital bukan lagi sekadar tren, melainkan realitas yang membentuk cara hidup, berpikir, dan berinteraksi generasi Z. Lahir dalam era konektivitas tinggi, mereka tumbuh bersama internet, media sosial, dan perangkat pintar yang menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian. Karakter mereka pun berkembang dalam lanskap digital yang dinamis, kreatif, kritis, dan sangat responsif terhadap perubahan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Gen Z mencakup sekitar 27,94% dari total populasi Indonesia, atau sekitar 74,93 juta jiwa. Jumlah ini menjadikan mereka sebagai demografi dominan yang akan menentukan arah masa depan bangsa, terutama dalam hal pemanfaatan teknologi dan inovasi digital.
Karakter Gen Z tidak bisa dilepaskan dari cara mereka mengakses informasi. Mereka terbiasa menyaring konten secara cepat, terutama dari media sosial.
“Anak-anak sekarang itu lebih kreatif, mereka pintar menyeleksi apa yang bisa dan harus mereka tonton atau tidak,” ujar Omen dari Kuburan Band, yang kerap berinteraksi dengan pelajar dalam berbagai program edukatif.
Namun, potensi besar ini juga diiringi tantangan serius. Literasi digital Gen Z belum sepenuhnya matang. Berdasarkan kajian dari Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Kemdikbudristek, pendidikan karakter dan etika digital menjadi kunci dalam membentuk generasi Z yang bijak dalam menggunakan teknologi.
Teknologi bukan hanya soal kecepatan internet atau kecanggihan perangkat, tapi juga menyangkut nilai sosial, budaya, dan keamanan. Tri, melalui program edukatif seperti “Volley Tawa”, mencoba membangun pengalaman digital yang bermakna.
“Tri ingin membangun pengalaman digital yang bermakna, tidak hanya cepat secara teknologi, namun juga kuat dalam nilai sosial dan budaya,” jelas Kepala Wilayah IOH Jawa Barat, Mgs. Moh. Ali Safitri.
Salah satu inovasi yang dihadirkan Tri adalah fasilitas AI anti-spam dan anti-scam yang diluncurkan pada Agustus lalu. Teknologi ini dirancang untuk melindungi pengguna dari penipuan digital melalui WhatsApp, SMS, atau telepon.
“Ini salah satu bentuk kepedulian kami untuk perlindungan masyarakat dari pengguna baru hingga lama,” tambah Ali.
Ali mengatakan, pendidikan digital yang sehat harus mampu menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi dan pengawasan etis. Dirinya juga menekankan pentingnya pendekatan yang seimbang dalam mendidik Gen Z. “Terlalu dibatasi berbahaya, tapi terlalu dibebaskan juga lebih berbahaya,” ujar Ali.

Program ke sekolah seperti yang dilakukan Tri menjadi touch point strategis untuk membangun koneksi dengan segmen remaja. “Kami ingin memberikan pengalaman yang menunjang kreativitas dan pengembangan diri mereka di masa depan,” lanjut Ali.
Gen Z juga dikenal sebagai konsumen media paling dominan di abad ini. Menurut laporan dari Pusat Data dan Teknologi Informasi Kemdikbudristek, mereka memiliki minat besar terhadap konten yang relevan, cepat, dan visual. Hal ini mendorong industri dan pendidikan untuk berinovasi dalam menyampaikan materi pembelajaran.
Namun, tantangan terbesar adalah membangun literasi digital yang kritis dan etis. Pendidikan formal harus bertransformasi, tidak hanya mengajarkan keterampilan teknis, tetapi juga nilai-nilai kebijaksanaan dalam menggunakan teknologi.
Plh Kepala Sekolah SMKN 5 Bandung, Kiki Rahmat Nugraha menyebutkan bahwa sinergi antara dunia industri dan pendidikan sangat penting. “Kami mendorong siswa untuk berkolaborasi dan memperluas jejaring, selama kegiatan tersebut positif dan menambah skill mereka,” ujarnya.
Dengan jaringan 5G yang semakin merata, seperti di Kota Bandung, peluang untuk mengembangkan ekosistem digital semakin terbuka. “Kami optimis, transformasi ini akan membuka peluang baru bagi ekosistem startup, pendidikan, serta ekonomi kreatif di wilayah Jawa Barat,” kata Ali.
Namun, akses teknologi saja tidak cukup. Kualitas penggunaan menjadi penentu apakah teknologi akan menjadi alat pemberdayaan atau justru sumber distraksi. Oleh karena itu, pendekatan edukatif harus terus dikembangkan.
Program seperti “Volley Tawa” menunjukkan bahwa teknologi bisa dihadirkan dalam bentuk yang menyenangkan dan mendidik. Kombinasi musik, olahraga, dan edukasi digital menjadi cara efektif untuk menjangkau Gen Z.
“Kreatifnya generasi sekarang itu kan udah digital semua dan mereka sangat-sangat cepat untuk menyerap info khususnya dari social media,” lanjut Omen.
Hal ini menjadi peluang sekaligus tantangan bagi pendidik dan pembuat kebijakan. Pendidikan karakter digital harus menjadi bagian dari kurikulum. Menurut Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan Kemdikbud, teknologi telah memberi dampak signifikan terhadap cara kita mengakses dan menyampaikan ilmu pengetahuan. Maka, penguatan nilai-nilai etika dan tanggung jawab digital menjadi sangat penting.
Gen Z adalah generasi yang akan memimpin masa depan. Investasi dalam pendidikan digital yang sehat dan berkarakter bukan hanya kebutuhan, tapi keharusan. Seperti yang disampaikan Omen, “Kita senangnya, generasi ini menjadi investasi SDM 5 tahun ke depan,” kata Omen.
Dengan pendekatan yang tepat, teknologi bisa menjadi alat transformasi sosial yang kuat. Namun, tanpa edukasi yang memadai, ia bisa menjadi pedang bermata dua. Di sinilah peran semua pihak seperti instansi pendidikan, industri, dan masyarakat menjadi krusial.
“Makanya selain ingin memberikan pengalaman yang menunjang kreativitas, kami juga ingin memberikan pengalaman untuk mereka mengembangkan diri di masa depan,” pungkas Ali.
Alternatif fashion atau kebutuhan edukasi Gen Z:
