AYOBANDUNG.ID -- Setelah era musik fisik dinyatakan meredup, harapan industri musik Indonesia beralih pada penjualan digital. Baik melalui unduhan berbayar maupun layanan streaming, geliat konsumsi musik tetap bergemuruh, terutama di kalangan generasi Z yang kini menjadi poros utama pasar musik global.
Generasi Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, tumbuh dalam lanskap digital yang sepenuhnya terhubung. Mereka tidak hanya menjadi konsumen musik, tetapi juga kurator, kreator, dan penggerak tren. Fenomena ini menandai pergeseran besar dalam cara musik diproduksi, didistribusikan, dan dinikmati.
Menurut laporan Indonesia Gen Z Report 2024 yang dirilis oleh IDN Research Institute, sebanyak 59% Gen Z Indonesia memilih genre pop sebagai favorit mereka, diikuti oleh K-Pop sebesar 14%. Platform utama mereka adalah Spotify dan YouTube, dengan preferensi terhadap versi gratis yang mudah diakses.
“Kalau yang saya lihat saat ini, sebenarnya karena kondisi industri musiknya juga berbeda tiap generasi maka akan memberikan pengaruh juga terhadap bagaimana media yang digunakan,” ujar pengamat musik Idhar Resmadi kepada Ayobandung.
Jika generasi Baby Boomers dan X membentuk identitas musik mereka melalui gejolak politik dan sosial, dari punk era Perang Vietnam hingga grunge di masa Ronald Reagan, maka Gen Z membentuk selera melalui algoritma, viralitas, dan konektivitas.
Idhar menjelaskan bahwa Gen Z sebagai "digital native" memiliki akses teknologi dan media informasi yang jauh lebih luas dibandingkan generasi sebelumnya. Internet menjadi medium utama mereka dalam menemukan dan membentuk selera musik.
“Kalau sekarang itu band kalau udah rilis single satu saja sudah cukup kayaknya. Tinggal rilis satu karya lempar di platform musik streaming udah cukup karena media mendengarkan musik berfokus di media streaming. Tapi dulu harus perjuangan harus merilis album penuh,” tambah Idhar.
Fenomena ini menunjukkan bahwa Gen Z tidak hanya mengonsumsi musik, tetapi juga mengubah struktur industri. Mereka menuntut kecepatan, aksesibilitas, dan relevansi. Musisi pun menyesuaikan diri dengan merilis single secara berkala, memanfaatkan TikTok, Instagram Reels, dan Spotify untuk menjangkau audiens.
“Sekarang bikin karya lebih mudah untuk didistribusikan dan informasi diterimanya juga menjadi lebih mudah,” lanjut Idhar.
Namun, apakah ini berarti Gen Z kehilangan kedalaman dalam selera musiknya? Tidak sepenuhnya. Justru, mereka menunjukkan fleksibilitas dan keterbukaan terhadap genre hibrid. Rock, misalnya, tidak lagi hadir dalam bentuk murni, tetapi melebur dalam estetika pop, elektronik, dan bahkan hip-hop.
“Memang karena di tingkat global musik rock sedang mengalami penurunan. Jadi sekarang tidak aneh jika melihat faktor industrinya juga masih terpengaruh. Cuman kalau mati, mungkin enggak. Tapi kodrat band rock sekarang sudah bukan rock seperti dulu,” kata Idhar.
Data dari GoodStats menunjukkan bahwa meski pop dan K-Pop mendominasi, genre seperti indie, rock, dan jazz tetap memiliki tempat di hati Gen Z. Ini menandakan bahwa diversifikasi genre masih berlangsung, dan Gen Z tidak terjebak dalam satu arus dominan.
Pertanyaannya, apakah anak muda seusia Gen Z masih mendengarkan rock? “Ya pasti ada,” tegas Idhar. Ia mencontohkan gigs musik yang masih ramai dihadiri Gen Z, terutama yang menyajikan penampilan musisi rock.
“Mungkin seleranya kalau berbicara musik dulu tahun 1970-an medianya piringan hitam atau radio. Era 1980-1990 MTV, nah Gen Z sekarang internet, media musik streaming,” ujar Idhar.
Dari sisi industri, Gen Z membuka peluang baru bagi musisi dan label. Mereka tidak hanya mendengarkan, tetapi juga memproduksi musik sendiri. Aplikasi seperti BandLab, Soundtrap, dan GarageBand memungkinkan siapa pun menciptakan musik dari kamar tidur mereka.
Fenomena bedroom pop, lo-fi, dan hyperpop adalah bukti bahwa Gen Z tidak hanya pasif, tetapi aktif dalam membentuk lanskap musik. Mereka mengaburkan batas antara musisi profesional dan amatir, antara panggung dan layar.
Bagi pelaku industri, memahami Gen Z berarti memahami algoritma, tren sosial, dan dinamika komunitas digital. Strategi pemasaran musik kini tidak lagi bertumpu pada radio atau televisi, tetapi pada viralitas di TikTok, playlist kurasi di Spotify, dan interaksi langsung di media sosial.
Selain itu, Gen Z juga menunjukkan kepedulian terhadap isu sosial dan keberlanjutan. Mereka mendukung musisi yang menyuarakan nilai-nilai inklusivitas, keadilan, dan kesehatan mental. Musik bukan hanya hiburan, tetapi juga medium ekspresi dan advokasi.
Dalam konteks lokal, Bandung sebagai salah satu kota kreatif di Indonesia menunjukkan geliat komunitas musik Gen Z yang aktif. Dari gigs independen hingga festival digital, mereka membentuk ekosistem musik yang inklusif dan dinamis.
Pasar musik pun harus menyesuaikan diri. Label besar perlu membuka ruang bagi musisi independen, platform streaming harus memperkuat algoritma yang adil, dan media harus mengangkat narasi yang relevan dengan nilai-nilai Gen Z.
Dengan karakter yang adaptif, kreatif, dan kritis, Gen Z bukan ancaman bagi industri musik, melainkan peluang. Mereka adalah generasi yang tidak hanya mendengarkan, tetapi juga membentuk masa depan musik.
“Jadi saya yakin sebetulnya, media-media itu punya peranan membentuk frame selera bermusik tergantung pada setiap penerimaan generasinya,” pungkas Idhar.
Alternatif produk fashion gen Z atau UMKM serupa: