Santri: Dunia yang Tak Pernah Selesai Diperbincangkan

Arfi Pandu Dinata
Ditulis oleh Arfi Pandu Dinata diterbitkan Jumat 17 Okt 2025, 09:27 WIB
Ilustrasi santri. (Sumber: Pexels/Khoirur El-Roziqin)

Ilustrasi santri. (Sumber: Pexels/Khoirur El-Roziqin)

Belakangan ini, istilah santri kembali ramai disebut-sebut. Di media, di ruang-ruang publik, hingga dalam percakapan sehari-hari kita. Masalah besar maupun kecil, ia selalu menjadi sorotan.

Begitupun setiap kali Indonesia ingin meneguhkan sesuatu tentang dirinya, kita kembali memanggil kata ini. Tapi sebetulnya, apa itu santri? Mengapa ia begitu penting dan selalu menarik dalam percakapan kita, seolah tidak pernah tamat untuk dibahas?

Jejak Genealogi dan Sistem Pengetahuan Lokal

Kalau kita menelusuri asal-usul katanya, “santri” memiliki akar yang panjang. Beberapa pakar menyebut istilah ini mungkin berhubungan dengan kata Jawa Kuno catrik atau catrig, yang berarti murid, pengikut, atau pelajar yang tinggal bersama gurunya. Dalam tradisi Hindu-Buddha, catrik adalah seseorang yang belajar langsung dari pandita. Ia menyerap ilmu bukan hanya lewat teks, tapi lewat laku, kedekatan, dan keteladanan.

Dari sini, kita bisa melihat bahwa santri bukan sekadar siswa muslim pesantren. Ia bagian dari jejak panjang kebudayaan Nusantara yang mengenal hubungan guru-murid sebagai hubungan eksistensial. Relasi yang penuh dengan rasa hormat, tanggung jawab moral, dan kedekatan spiritual.

Maka ketika Islam datang dan pesantren tumbuh, istilah santri menemukan rumah barunya. Ia menyatu dengan sistem pendidikan Islam, di bawah asuhan para ulama, kiai, nyai, dan terkoneksi dengan kitab kuning. Sebuah dunia teks klasik yang menjadi kerangka intelektualitas pesantren.

Perlu juga diingat bahwa pesantren lahir dari rahim budaya lokal. Berakar pada tradisi dan mengembangkan sistem pengetahuan yang khas, otonom, lagi kritis. Maka menjadi santri berarti memasuki sebuah dunia pengetahuan yang tidak hanya menuntut hafalan, tapi juga pengendapan makna dan laku hidup.

Identitas Sosial dan Budaya

Kita sering menganggap santri semata sebagai identitas keagamaan. Padahal lebih dari itu, santri adalah kategori sosial, budaya, bahkan politik. Ia bukan hanya tentang belajar agama, tapi juga satuan cara hidup, cara bernalar, dan cara memaknai dunia.

Dalam banyak tulisan antropologi klasik tentang Islam di Jawa, seperti karya Clifford Geertz dan Robert R. Jay, santri sering diletakkan berhadapan dengan abangan. Santri digambarkan sebagai mereka yang lebih syariah, lebih ortodoks, sementara abangan dianggap lebih sinkretis, lebih dekat dengan praktik religius lokal. Namun pembacaan semacam ini, walau berpengaruh besar, seringkali terlalu menyederhanakan.

Santri kemudian menjadi simbol dari Islam yang terlembaga dan terdidik, termasuk lambang kebudayaan yang punya daya tawar kuat dalam kehidupan bangsa. Ia tidak hanya ada di pesantren, tapi juga di pasar, di sawah, di ruang-ruang sosial, bahkan di arena politik. Karena itulah, ketika kita bicara soal dunia santri, kita tidak sedang membicarakan satu ruang tertutup, melainkan jaringan besar yang menembus berbagai lapisan kehidupan Indonesia.

Diskursus yang Hidup

Kegiatan setoran hafalan Quran Santri Cianjur. (Sumber: Yayasan Huda Cendekia)
Kegiatan setoran hafalan Quran Santri Cianjur. (Sumber: Yayasan Huda Cendekia)

Keberadaan santri dan pesantren selalu menimbulkan percakapan yang tak habis-habis. Di satu sisi, banyak orang memandangnya dengan hormat. Sebab pesantren dianggap sebagai benteng moral, penjaga tradisi, tempat menanamkan nilai-nilai keikhlasan, kesederhanaan, dan keberkahan.

Tapi di sisi lain, ada juga kritik yang datang dari dalam dan luar. Misalnya soal kultur kepatuhan yang dibaca sebagai feodalisme, soal sanitasi dan fasilitas yang belum layak, atau soal kekerasan seksual dan pengelolaan dana.

Kritik semacam ini tentu perlu didengar. Tapi di sisi lain, banyak santri yang merasa dunia mereka sering disalahpahami. Ada pengalaman eksistensial yang sulit diterjemahkan oleh mereka yang tak pernah “mondok”, ialah kehidupan yang dijalani dengan kebersamaan, laku, dan pengorbanan yang menjadi bagian dari pencarian ilmu.

Mayoritas Sekaligus Marginal

` Menariknya, santri memiliki dua wajah yang tampak paradoks. Di satu sisi, ia adalah wajah mayoritas, semacam “kakak tertua” dalam keluarga besar bangsa Indonesia. Sejarah kemerdekaan mencatat peran para santri dan ulama yang berada di garis depan perjuangan melawan kolonialisme. Banyak gagasan dasar negara, termasuk nilai-nilai moral dan sosial, berakar pada pandangan dunia pesantren. Maka tidak heran jika kemudian ada semacam “politik jatah” yang memberi ruang khusus bagi santri dalam birokrasi, kepartaian, bahkan alokasi dana keagamaan.

Namun di sisi lain, santri juga adalah wajah marginal. Banyak dari mereka hidup dalam keterbatasan ekonomi, tinggal di lingkungan yang jauh dari akses modernitas, dan bekerja dalam sektor-sektor informal. Dalam ukuran material, kehidupan santri sering dianggap tertinggal. Pengetahuan mereka kadang dicap kuno, tidak relevan dengan logika industri atau teknologi. Mereka bahkan sering dianggap jadi tugu dari dunia lama yang harus disesuaikan dengan modernitas.

Paradoks ini membuat santri selalu berada di ruang ambang, antara pusat dan pinggiran, antara simbol kekuatan dan potret kemiskinan struktural. Dan justru di situlah daya tariknya, lahir cara pandang khas yang sering kali lebih tajam membaca kenyataan sosial.

Cermin Diri Kolektif

Apa pun posisi kita terhadap dunia santri, ada satu hal yang sulit dibantah bahwa santri adalah bagian dari cermin diri kolektif kita sebagai bangsa. Mereka lahir dari tanah yang sama, hidup dengan nilai-nilai gotong royong, hormat, dan keberkahan, yang sebenarnya adalah nilai universal kebudayaan Nusantara.

Wacana tentang santri tidak pernah hitam putih, ia sendiri hidup dalam dialektika yang terus bergerak. Ia memuat cinta dan kritik, hormat dan gugatan, nostalgia dan pembaruan. Tapi justru karena itulah ia menggelanggang, berbicara tentang manusia, tentang pengalaman belajar, tentang laku agama yang tak berhenti mencari makna di tengah perubahan zaman.

Maka mungkin, daripada sekadar menilai, kita perlu lebih banyak mendengarkan. Sebab di balik tiap diri santri yang sederhana, ada dunia yang kaya dengan kearifan dan daya hidup. Dunia yang mengajarkan bahwa belajar bukan hanya soal pengetahuan, tapi juga soal menjadi manusia yang mengakar kuat pada tradisinya. (*)

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Arfi Pandu Dinata
Menulis tentang agama, budaya, dan kehidupan orang Sunda
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Netizen 17 Okt 2025, 20:21 WIB

'Bila Esok Ibu Tiada': Menangis karena Judul, Kecewa karena Alur

Ulasan film "Bila Esok Ibu Telah Tiada" (2024). Film yang minim kejutan, tapi menjadi pengingat yang berharga.
Poster film "Bila Esok Ibu Telah Tiada". (Sumber: Leo Pictures)
Ayo Biz 17 Okt 2025, 19:36 WIB

Balakecrakan Menghidupkan Kembali Rasa dan Kebersamaan dalam Tradisi Makan Bersama

Balakecrakan, tradisi makan bersama yang dilakukan dengan cara lesehan, menyantap hidangan di atas daun pisang, dan berbagi tawa dalam satu hamparan rasa.
Balakecrakan, tradisi makan bersama yang dilakukan dengan cara lesehan, menyantap hidangan di atas daun pisang, dan berbagi tawa dalam satu hamparan rasa. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 17 Okt 2025, 18:10 WIB

Gen Z Mengubah Musik Menjadi Gerakan Digital yang Tak Terbendung

Gen Z tidak hanya menjadi konsumen musik, tetapi juga kurator, kreator, dan penggerak tren. Fenomena ini menandai pergeseran besar dalam cara musik diproduksi, didistribusikan, dan dinikmati.
Gen Z tidak hanya menjadi konsumen musik, tetapi juga kurator, kreator, dan penggerak tren. Fenomena ini menandai pergeseran besar dalam cara musik diproduksi, didistribusikan, dan dinikmati. (Sumber: Freepik)
Ayo Jelajah 17 Okt 2025, 17:36 WIB

Sejarah Panjang Hotel Preanger Bandung, Saksi Bisu Perubahan Zaman di Jatung Kota

Grand Hotel Preanger menjadi saksi sejarah kolonial, revolusi, hingga kemerdekaan di Bandung. Dari pesanggrahan kecil hingga ikon berusia seabad.
Hotel Preanger tahun 1930-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Biz 17 Okt 2025, 17:15 WIB

Lengkong Bergerak dari Kampung Kreatif Menuju Destinasi Wisata Urban

Kecamatan Lengkong adalah ruang hidup yang terus bergerak, menyimpan potensi wisata dan bisnis yang menjanjikan, sekaligus menjadi cermin keberagaman dan kreativitas warganya.
Kecamatan Lengkong adalah ruang hidup yang terus bergerak, menyimpan potensi wisata dan bisnis yang menjanjikan, sekaligus menjadi cermin keberagaman dan kreativitas warganya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 16:33 WIB

Tunjangan Rumah Gagal Naik, Dana Reses DPR RI Justru Melambung Tinggi

Tunjangan rumah yang gagal dinaikkan ternyata hanya dilakukan untuk meredam kemarahan masyarakat tapi ujungnya tetap sama.
Gedung DPR RI. (Sumber: Unsplash/Dino Januarsa)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 16:04 WIB

Lagi! Otak-atik Ganda Putra, Pasangan Baru Rian Ardianto/Rahmat Hidayat Bikin BL Malaysia Marah

PBSI melalui coach Antonius memasangkan formula pasangan baru Rian Ardianto/Rahmat Hidayat.
Rahmat Hidayat dan Rian Ardianto. (Sumber: PBSI)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 15:38 WIB

Meneropong 7 Program Pendidikan yang Berdampak Positif

Pendidikan yang bermutu harus ditunjang dengan program-program yang berkualitas.
Anak sekolah di Indonesia. (Sumber: indonesia.go.id)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 15:13 WIB

Hantu Perempuan di Indonesia adalah Refleksi dari Diskriminasi

Sejauh ini sebagian perempuan masih hidup dengan penderitaan yang sama, luka yang sama, dan selalu mengulang diskriminasi yang sama.
Perempuan dihidupkan kembali dalam cerita tapi bukan sebagai pahlawan melainkan sebagai teror. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 14:55 WIB

Cikandé, Cekungan seperti Karung

Toponimi Cikandé langsung populer ketika kasus pencemaran zat radioaktif Cesium-137 terungkap.
Citra satelit Kampung Cikandé, Kelurahan Utama, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. (Sumber: Citra satelit: Google maps)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 14:20 WIB

Braga dan Kopi Legenda

Sejarah kopi di Jalan Braga Bandung erat kaitannya dengan sejarah Jalan Braga itu sendiri pada era kolonial Belanda.
Warung Kopi Purnama di Jalan Braga, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.com)
Ayo Jelajah 17 Okt 2025, 14:08 WIB

Hikayat Soldatenkaffee Bandung, Kafe NAZI yang Bikin Heboh Sekolong Jagat

Kisah kafe NAZI di Bandung yang memicu kontroversi global, dari obsesi memorabilia perang hingga pelajaran sejarah yang terabaikan.
Soldatenkaffee Bandung. (Sumber: Amusing Planet.)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 12:48 WIB

Atasi Limbah Sekam Padi, Mahasiswa Polman Bandung Kukuhkan Organisasi Lingkungan 'BRICLIM'

Mahasiswa Polman Bandung secara resmi mengukuhkan berdirinya komunitas pengolah limbah "BRICLIM" (Briket Untuk Iklim).
Mahasiswa Polman Bandung secara resmi mengukuhkan berdirinya komunitas pengolah limbah "BRICLIM" (Briket Untuk Iklim). (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Beranda 17 Okt 2025, 11:27 WIB

Perempuan Penjaga Tradisi: Harmoni dari Dapur Kampung Adat Cireundeu

Kampung adat Cireundeu tidak hanya dikenal karena tradisi makan rasi, tetapi juga karena perempuan-perempuan yang memelihara nilai-nilai ekologis dan spiritual sekaligus.
Neneng Suminar memperlihatkan cara membuat spageti dari mikong (mi singkong). (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 10:01 WIB

Ekosistem Disiplin, Fondasi Kuat Profesionalitas ASN

Membangun ekosistem disiplin ASN berarti menumbuhkan budaya kerja yang konsisten, berintegritas, dan berorientasi pelayanan.
Ilustrasi Aparatur Sipil Negara (ASN). (Sumber: Dok. BKN)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 09:27 WIB

Santri: Dunia yang Tak Pernah Selesai Diperbincangkan

Menelusuri asal-usul, makna budaya, dan paradoks dunia santri sebagai cermin identitas dan dinamika bersama.
Ilustrasi santri. (Sumber: Pexels/Khoirur El-Roziqin)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 07:44 WIB

Inovasi Paving Block untuk Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi

Perlu Research and Development untuk menghasilkan produk paving block yang sempurna yang memiliki nilai jual ekonomi berkelanjutan.
Perlu Research and Development untuk menghasilkan produk paving block yang sempurna yang memiliki nilai jual ekonomi berkelanjutan. (Sumber: Pexels/Maarten Ceulemans)
Ayo Biz 16 Okt 2025, 20:01 WIB

Warisan Lampau Braga yang Menyulap Bandung Jadi Magnet Wisata dan Bisnis Kreatif

Kawasan legendaris Braga bukan sekadar jalan, melainkan lembaran sejarah yang hidup, menyatu dengan denyut nadi modernitas kota.
Kawasan legendaris Braga bukan sekadar jalan, melainkan lembaran sejarah yang hidup, menyatu dengan denyut nadi modernitas kota. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Netizen 16 Okt 2025, 19:00 WIB

Bisakah Mengurangi Korban Banjir dengan Teknologi?

Bisakah sistem prediksi dan peringatan dini banjir mengurangi korban banjir Sungai Citarum?
Pelatihan Mitigasi Bencana Banjir di Desa Majalaya, Bandung (Sumber: BBWS Citarum)
Ayo Netizen 16 Okt 2025, 18:10 WIB

Kalah Lagi di Denmark Open 2025, Senjakala Prestasi Anthony Sinisuka Ginting?

Pebulu tangkis tunggal putra andalan Indonesia, Anthony Sinisuka Ginting, kembali harus terhenti di babak awal.
Anthony Sinisuka Ginting. (Sumber: PBSI)