Film drama keluarga yang tayang di tahun 2024 ini menjadi salah satu film yang awalnya tidak berani saya tonton. Bila Esok Ibu Tiada, judul nya saja sudah membuat saya membayangkan suasana film yang penuh tangisan dan menguras air mata.
Alasan terbesar saya tidak berani menonton film ini adalah rasa takut yang terus terbayang, saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi ketika ibu saya pergi meninggalkan saya untuk selamanya, seperti yang digambarkan di dalam judul film ini. Berselang hampir satu tahun setelah penayangan, saya memberanikan diri untuk akhirnya menonton film “Bila Esok Ibu Tiada”.
Seperti yang saya bayangkan ketika melihat trailer dan sinopsisnya, film karya Rudy Soedjarwo ini mengisahkan tentang situasi keluarga yang mulai dingin karena anak-anak mulai sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing. Munculnya konflik diantara keluarga membuat ibu sedih dan bingung harus berbuat apa untuk memperbaiki situasi keluarga nya. Sang ibu hanya merindukan tawa, kehangatan dan keharmonisan keluarga seperti dulu kala.
Di awal film, pengenalan situasi dan latar belakang masing-masing karakter tergambar jelas, setiap tokoh digambarkan dengan karakter dan pekerjaan yang berbeda-beda. Film ini juga menampilkan pembagian peran anak-anak dalam keluarga, anak sulung yang memanggul tanggung jawab besar untuk kehidupan keluarga; anak tengah yang bergumul dengan konflik internal diri nya; dan juga anak bungsu yang harus setia dan bertanggung jawab untuk menemani ibu.
Kekuatan karakter ini membuat saya membayangkan hal yang sama terjadi dalam keluarga saya. Perbedaan karakter dan peran yang digambarkan dalam film, terasa begitu dekat dengan keadaan keluarga saya. Namun, ketika konflik dalam film mulai muncul, alur cerita selanjutnya terasa sangat mudah ditebak. Konflik apa lagi yang kemudian akan muncul dan juga alur kepergian ibunya.
Tebakan saya terbukti sampai akhir film ini. Alur cerita yang bisa saya tebak dan bahkan tanpa kejutan membuat film ini terasa datar dan membosankan. Ekspektasi saya untuk menangis tersedu-sedu ketika menonton film ini gagal terwujud. Bahkan ketakutan saya di awal, yang membuat saya menunda menonton film ini juga tidak terwujud.
Pada akhirnya, judul film yang begitu menusuk ini gagal memenuhi ekspektasi emosional saya dengan alur yang mudah di tebak dan tanpa kejutan. Namun, keputusan saya untuk memberanikan diri menonton film ini justru menjadi pengingat yang berharga. “Bila Esok Ibu Tiada” berhasil mengusik kesadaran saya mengenai pentingnya waktu dan perhatian bagi keluarga, terkhusus orang tua sebelum akhirnya benar-benar akan pergi meninggalkan saya. (*)