Sejak hidup perempuan memiliki permasalahan yang pelik dalam society. Dalam banyak adat dan tradisi perempuan seringkali diposisikan sebagai pihak yang rentan. Baik rentan terhadap kekerasan fisik dan seksual, rentan terhadap diskriminasi sosial dan rentan secara ekonomi dan hukum.
Perempuan seringkali memegang peran dan beban ganda dalam society perihal permasalahan dalam ranah domestik (mengerjakan perkerjaan rumah) maupun ranah publik (mencari nafkah). Sebetulnya menjadi perempuan amatlah sulit. Menjadi perempuan yang hanya mengabdi kepada suami, membuat perempuan tidak memiliki kemandirian finansial dan akan kelimpungan jika suami meninggal atau berselingkuh.
Sementara perempuan yang punya karir juga tidak lepas dari peran domestik yang melekat pada dirinya. Bahkan perempuan yang memiliki karir masih disalahkan jika terjadi sesuatu terhadap anaknya. Padahal pernikahan bukan hanya tentang peran perempuan tapi juga tentang peran laki-laki yang seharusnya menjadi tim yang solid untuk membangun keluarga yang berkualitas.
Bahkan sejak bayi dan balita perempuan sangat rentan terhadap kekerasan dan pelecehan seksual. Sebuah kejadian di Sumatera Utara menunjukkan bahwa bayi perempuan berusia 3.5 bulan yang secara seksual belum nampak apapun dalam dirinya masih juga rentan mendapat pelecehan dari orang terdekatnya.
Menuju sekolah dasar anak perempuan juga rawan mendapat perlakuan kekerasan dan pelecehan seksual. Baru-baru ini di Jakarta ditemukan remaja laki-laki berusia 16 tahun telah melakukan pelecehan seksual terhadap anak perempuan yang masih duduk di sekolah dasar. Tidak hanya meruda paksa bahkan anak perempuan tersebut tewas di tangannya.
Menjelang fase subur perempuan di usia 17 tahun ke atas juga tak kalah rentan mengalami kehamilan di luar pernikahan. Meski dilakukan atas dasar suka sama suka, tetap saja yang dirugikan tetap remaja perempuan. Bagaimana stigma masyarakat menghinakan perempuan yang berbuat demikian. Sementara anak laki-laki masih tetap bisa bersekolah dan kesalahannya hanya dianggap angin lalu di masyarakat.
Bahkan setelah mengalami kehidupan yang berat dan penuh dengan ketidakadilan. Setelah meninggal perempuan tetap menjalani stigma yang tidak mudah di masyarakat. Perempuan terlahir kembali dalam sebuah cerita tapi bukan sebagai pahlawan melainkan sebagai teror.

Berapa banyak cerita yang tersebar di masyarakat perihal hantu perempuan yang tak pernah mendapat keadilan bahkan dalam hidup dan matinya. Kuntilanak meninggal saat melahirkan, sundel bolong korban pelecehan seksual dan suster ngesot hasil dari penyiksaan.
Berapa banyak perempuan hebat yang mampu bertahan dalam garis kemiskinan karena pasangannya tidak memberikan tanggung jawab yang besar terhadap keluarganya. Berapa banyak perempuan hebat yang mampu mengandung dan melahirkan hingga mempertaruhkan nyawa tapi masyarakat menganggap bahwa itu adalah hal biasa. Berapa banyak perempuan yang hidup dalam hubungan toxic dan mendapat kekerasan dalam rumah tangga tapi tetap bertahan atas nama kasih sayang dan keberlangsungan hidup anak.
Namun semua perjuangan tersebut nyatanya tidak pernah nampak dalam society. Bahkan setelah kematiannya perempuan tidak lebih terlahir kembali menjadi cerita horor di masyarakat. Dengan demikian horor yang selama ini diwariskan menjadi bentuk cerita adalah refleksi dari diskriminasi. Perempuan tetap hidup dengan penderitaan yang sama, luka yang sama dan selalu mengulang diskriminasi yang sama sebagai korban bahkan setelah menjadi hantu.
Dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Adi Prasetyo (2023) yang berjudul Decontrusting fear in Indonesia cinema: Diachronic analysis of antagonist representationt in half a century of Indonesia horror films 1970-2020 mengatakan sejak tahun 2010 banyak film yang menggunakan tokoh kuntilanak atau hantu feminim sebagai pemeran antagonis dan penjahat. Bahkan tren ini sudah berlangsung selama lima dekade.
Sementara menurut jurnal berjudul Hantu-hantu Perempuan Indonesia: Mewujudkan ketakutan wanita dalam Mitos dan Media Horor lewat Komik Arwah yang ditulis oleh M. Reza Rahman Lazuardi dkk menyatakan bahwa fenomena hantu perempuan mengulang pola naratif negatif yang mengalami ketidakadilan dalam bentuk kekerasan seksual serta diskriminasi berdasarkan gender dan tokoh dihidupkan kembali dengan membawa dendam.
Berhenti menjadikan perempuan sebagai objek seksualitas semata. Berhenti melakukan kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan. Berhenti melakukan eksploitasi terhadap perempuan bahkan setelah meninggal dunia. (*)