Kota Bandung telah lama dikenal sebagai kota kreatif atau dengan julukan Prestisius (Unesco City of Design). Kreativitas ini muncul sebagai akibat pertumbuhan pesat indsutri design, fashion dan media digitalnya.
Kreativitas ini menjadi tulang punggung ekonomi dan industi kota. Menarik minat banyak pendatang, investor, wisatawan dan membuatnya terpilih menjadi pilot project kota kreatif se-Asia Pasifik oleh British Council.
Namun, dibalik label tersebut, Bandung menghadapi tantangan serius berupa problematika urban yang kian mengkhawatirkan, seperti kemacetan, banjir dan pengelolaan sampah yang belum optimal.
Opini ini berpendapat bahwa masa depan Bandung akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah kota dan masyarakatnya untuk menyeimbangkan narasi kreatif dengan solusi tepat terhadap isu-isu mendasar perkotaan.
Di sisi lain, pesatnya urbanisasi dan pembangunan fisik seringkali mengabaikan aspek keberlanjutan lingkungan dan infrastruktur dasar. Kemacetan kronis di jalan-jalan utama, terutama saat akhir pekan atau musim liburan, menjadi kendala bagi warga dan wisatawan.
Masalah banjir musiman juga masih sering terjadi di beberapa titik, menunjukkan adanya permasalahan dalam sistem drainase dan tata kelola air kota.
Selain itu, pengelolaan ruang terbuka hijau dan permukiman padat juga menjadi permasalahan yang belum terselesaikan dengan baik.
Baca Juga: Batagor dan Baso Cuankie Serayu, Kuliner Sederhana yang Selalu Ramai di Cihapit
Dilema muncul ketika fokus pembangunan terlihat lebih condong pada sektor ekonomi kreatif dan pariwisata, sementara masalah “dapur” kota ter-abaikan.
Konsep smart city yang di usung sejak 2013 seharusnya menjadi solusi yang mengintegrasikan inovasi teknologi dengan perbaikan infrastruktur dan layanan publik yang nyata.
Solusi kedepan membutuhkan pendekatan yang seimbang, tidak hanya berfokus pada “julukan” kota kreatif, tetapi juga pada penyediaan fasilitas publik yang berkualitas dan berkelanjutan. (*)
