AYOBANDUNG.ID - Tekanan sosial pada perempuan kerap datang dari arah yang tak terduga—mulai dari keluarga, lingkungan sekitar, hingga aturan-aturan tak tertulis yang sudah lama hidup di masyarakat. Berbagai pengalaman menunjukkan bagaimana tuntutan tersebut dapat membentuk kecemasan, memunculkan banyak pertanyaan, bahkan memengaruhi arah hidup seseorang. Tapi, di banyak sudut kota, ruang-ruang diskusi kecil mulai tumbuh, menghadirkan percakapan yang perlahan menantang cara pandang lama yang sudah terlalu lama dianggap wajar.
Jessica Muthmaina adalah salah satu menyebut dirinya sebagai sosok dengan beban “standar empat”: perempuan, anak bungsu, memiliki disabilitas mental, dan berasal dari kabupaten kecil namun berani melangkah sendiri hingga ke luar negeri. Di usia 25 tahun, ia telah menempuh pendidikan Fisika di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan kini melanjutkan studi S2 Astrofisika di Padova University, Italia.
Selepas lulus S1, ia sempat berada dalam masa jeda yang justru dipenuhi desakan untuk segera menikah. Keluarganya mempertanyakan rencananya melanjutkan studi ke Italia—menganggap anak perempuan bungsu seharusnya tidak pergi jauh dan mesti selalu ada yang mengurus. Namun Jessica tetap melanjutkan langkahnya, memilih perjalanan akademik yang ia yakini.
Keputusan Jessica sebenarnya menggambarkan pandangan sebagian masyarakat: bahwa ukuran keberhasilan perempuan sering kali bukan dilihat dari usaha, ambisi, atau prestasinya, tapi dari status relasionalnya—apakah sudah menikah atau punya pasangan—yang dianggap lebih penting dari apa pun.
Kondisi seperti ini bukan hanya dialami satu dua orang perempuan. Di berbagai fase hidupnya, perempuan tetap saja berhadapan dengan ekspektasi sosial yang meminta mereka mengikuti nilai-nilai yang sudah lama tertanam. Nilai sosial itu berisi aturan, sifat, dan harapan yang diberikan kepada setiap individu—baik laki-laki maupun perempuan. Namun realitasnya, perempuan cenderung menanggung beban yang lebih besar, termasuk batasan-batasan sosial yang mengatur setiap pilihan hidup mereka.
Nilai-nilai sosial tersebut tentu tidak terbentuk dalam waktu singkat. Ia lahir dari proses panjang internalisasi yang berlangsung lintas generasi. Karena itu, perubahan cara pandang tidak bisa terjadi begitu saja atau menyentuh semua lapisan masyarakat secara cepat. Dibutuhkan kesadaran kolektif—dari individu, kelompok, hingga pemerintah—untuk perlahan mengikis stereotip lama yang sudah terlalu lama menempel.
Narasi ini mengemuka dalam Diskusi Zine Jomlo Menggugat: Lajang Bukan Berarti Tak Berjuang, yang diinisiasi Toko Buku Pelagia bersama para penulis Bandung Bergerak: Tofan Aditya, Yogi Esa, Laila Nursaliha, dan Nida Nurhamidah pada Sabtu, 8 November 2025 di Toko Buku Pelagia, Komplek Luxor, Bandung.
Zine sendiri merupakan media alternatif berbentuk booklet kecil yang diterbitkan secara mandiri, berisi tulisan atau gambar sarat aspirasi dan kritik sosial.
Tofan (26), salah satu penulis Jomlo Menggugat, membahas bagaimana negara, sistem ekonomi, dan norma sosial justru memperberat posisi orang yang lajang. Jika sebelumnya sudah berat, setelah ditambah berbagai faktor itu, beban tersebut menjadi jauh lebih besar.
“Asmara, status, dan sebagainya tuh kadang jadi persoalan personal yang gak muncul ke permukaan. Padahal mungkin sekarang karena personal is political gitu. Nah, makanya yang personal itu jangan-jangan juga jadi sifat politis. Nah, makanya bikin si jomlo ini,” ujarnya saat diminta menjelaskan alasan mengangkat topik ini.
Tofan menjelaskan bahwa semua berawal dari rasa iseng, dari sering mendengar cerita teman, termasuk pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari diri sendiri. Belum lagi minimnya wadah pengorganisiran berbasis gerakan sosial yang membahas persoalan status relasional seperti ini di ruang publik.
“Tadi sih pengen bawa isu personal tuh bisa dilihat secara politik gitu. Misalnya kayak bisa jadi apa yang terjadi pada hari ini tuh bukannya cuma takdir doang. Tapi ada kaitannya dengan kondisi di luar diri kita gitu. Tapi kalau teman-teman lain memang tujuannya beda-beda,” tambahnya.
Rifki Fajar Ramdhani, pengelola Toko Buku Pelagia sekaligus inisiator diskusi, menjelaskan bahwa setiap orang seharusnya punya hak untuk merasakan ruang aman dan nyaman. Namun kenyataannya, banyak yang tidak mendapatkannya karena terkendala ekonomi atau urusan administrasi. Toko Buku Pelagia mencoba menghadirkan ruang aman alternatif tersebut.
Dampak Klinis Tekanan Sosial dan Validasi Diri
Dosen Sosiologi UIN Bandung, Chisa Belinda Harahap, menyebut akar dari stereotip dan standar ganda ini tidak terlepas dari budaya patriarki.
“Sebagian masyarakat masih memiliki interpretasi kodrat yang keliru. Padahal, kodrat perempuan hanya menstruasi, melahirkan, dan menyusui. Mengurus keluarga dan kewajiban domestik merupakan tanggung jawab bersama. Hal itu disebabkan dari paradigma internalisasi konsep patriarki yang bertahun-tahun. Sehingga mematahkan sistem patriarki memang begitu sulit, karena dilanggengkan oleh struktur sosial yang ada,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa status pernikahan masih dianggap sebagai pencapaian utama bagi perempuan. Belum lagi narasi tentang kesuburan yang dibatasi oleh biological clock, sehingga perempuan sering dituntut untuk menikah lebih cepat. Cara pandang semacam ini ikut memengaruhi bagaimana masyarakat melihat perempuan yang memilih atau masih berada dalam status lajang.
Pandangan itu sejalan dengan apa yang disampaikan Issara Rizkya, adult clinical psychologist dari ibunda.id. Ia menyebut 70% kliennya adalah perempuan—baik lajang maupun sudah menikah—dan banyak dari mereka mengalami tekanan sosial dari lingkungan.
“Ada perasaan merasa tidak cukup, khawatir, dan takut mengecewakan dari diri perempuan jika dia tidak memenuhi standar sosial yang ada. Hal ini mempengaruhi self esteem dan mengakibatkan perempuan tidak yakin pada pilihannya. Tidak merasa berharga dan crisis identity,” jelasnya.
Perspektif Komparatif dan Solusi Personal
Kondisi ini menimbulkan banyak pertanyaan bagi perempuan: bagaimana cara menghadapi tekanan sosial tanpa terjebak self doubt, tanpa memicu konflik, dan tanpa menyakiti diri sendiri. Issara menjelaskan bahwa langkah awalnya adalah menyadari bahwa nilai diri seseorang tidak ditentukan oleh status hubungan. Perempuan perlu menumbuhkan kepercayaan diri, yakin pada pilihan pribadi, mencari support system yang tepat, dan fokus pada hidup yang ingin dijalani—atau yang ia sebut sebagai meaningful life.
Nida (25), salah satu penulis Zine Jomlo Menggugat, menambahkan bahwa sistem sosial memang sering menempatkan perempuan dalam posisi inferior. Perempuan dibuat percaya bahwa mereka hanya pantas menjalankan peran-peran subordinat.

“Mungkin saja hal-hal yang membuat perempuan insecure itu bukan disebabkan oleh dirinya sendiri, bukan karena make up kamu yang kurang cantik. Atau misalnya, skincare kamu yang kurang mahal, pakaian kamu yang kurang modis atau bahkan sikapmu yang nggak bisa friendly agar diterima. Tapi di situ, ada hal yang bisa kubilang – patriarki yang kawin dengan kapitalisme yang menyebabkan dirimu (merasa) demikian. Jadi, kekuranganmu bukan salahmu. Berhenti menyalahkan diri sendiri, ya,” tegasnya.
