Dalam Islam, perintah pertama yang turun ke muka bumi adalah iqra yang artinya membaca. Membaca adalah perintah dari langit yang Tuhan ajarkan kepada manusia. Lewat perintah ini Tuhan memberikan pesan bahwa pengetahuan itu sangat penting. Maka sudah sepatutnya ketika diciptakan menjadi seorang manusia, harus mengupayakan dan mempelajari ilmu yang terbentang luas di muka bumi.
Perintah membaca bukan sekedar kitab suci yang di imani tapi maknanya lebih luas dari itu. Bagaimana manusia seharusnya bisa membaca buku para pemikir hebat, membaca fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar, membaca alam semesta dan segala Ciptaan-Nya, bahkan manusia harus bisa membaca dirinya sendiri untuk tahu apa tujuannya dilahirkan ke muka bumi ini.
Lewat buku Laut Bercerita karya Leila S. Chudori, saya sempat bersyukur bisa hidup di zaman masyarakat yang membebaskan membaca buku. Tidak seperti yang dialami para mahasiswa dan aktivis yang hidup di tahun 1998-an yang diculik, dibunuh dan dipenjara hanya karena membaca dan memiliki buku.
Namun setelah pemberitaan aksi demo di Bandung pada tanggal 29 Agustus hingga 3 September 2025 mengingatkan saya pada cerita dalam novel tersebut. Di mana para demonstran ditangkap dan dijadikan tersangka. Tak hanya itu polisi turut menyita puluhan buku yang dianggap sebagai bahan bacaan yang merujuk ideologi anarkisme.
Ternyata bukan senjata api yang ditakutkan oleh para pemangku kebijakan tapi buku. Fenomena ini membuat saya berpikir bahwa memang sebesar itu peran buku untuk bangsa ini.
Buku selama ini menjadi salah satu sumber ilmu pengetahuan yang menurut saya bisa merubah pola pikir masyarakat, selain pendidikan dan pengalaman hidup.
Buku menjadi jendela dunia bagi siapa saja yang menyelami isinya. Sesederhana kita bisa mengetahui keindahan dan kemegahan negara lain lewat tulisan-tulisan yang memperkenalkannya.
Melalui buku bahkan kita bisa merasakan pengalaman mengunjungi suatu tempat tanpa harus hadir secara nyata. Misalnya dalam buku Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut kita bisa tau dibalik indahnya Pulau tersebut terdapat kondisi masyarakat yang memperlakukan perempuan tanah Sumba dengan tidak adil.
Lewat Buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer kita bisa tahu sejarah yang pernah terjadi di Pulau Buru saat masa penjajahan.
Lewat buku juga kita bisa mengetahui bagaimana kondisi sosial-ekonomi yang terjadi di belahan dunia lain. Misalnya dari buku Kim Ji-yeong Born 1982 kita bisa mengetahui bagaimana kehidupan perempuan yang menghadapi praktik misoginis dan penindasan institusional sepanjang hidupnya. Serta bagaimana dampak feminisme terhadap perempuan di Korea.
Dan masih banyak lagi dari buku yang bisa kita ambil hikmah dan pelajarannya.
Melalui buku juga bisa mengembangkan keterampilan kognitif seseorang sehingga punya daya nalar dan interpretasi informasi yang baik.
Tak hanya di Indonesia, penyitaan buku juga dilakukan di negara Afganistan. Baru-baru ini melalui BBC News melaporkan bahwa kelompok Taliban melarang buku-buku karya perempuan di seluruh Universitas yang ada di Afghanistan.
Pelarangan tersebut terjadi karena Taliban memang gerakan politik yang fundamental terhadap syariat. Sehingga tersebarnya buku-buku tersebut dianggap menodai dan menghalangi pergerakannya.
Bahkan berdasarkan kebijakan baru yang dibuat oleh pemerintah-- pengajaran tentang HAM dan pelecehan seksual tidak diperbolehkan.
Menurut Zakia Aseli mantan wakil menteri kehakiman Afghanistan hal tersebut bisa terjadi karena pola pikir dan kebijakan misoginis.
Mengingat pola pikir dan kebijakan misoginis Taliban, sudah barang tentu ketika perempuan tidak diizinkan belajar, pandangan, ide, dan tulisan mereka juga ditekan.
Pertanyaannya lantas kenapa keberadaan buku sangat ditakuti oleh mereka yang duduk di bangku kekuasaan?

Pertama, buku adalah ancaman kekuasaan. Suatu negara yang memiliki kontrol penuh terhadap masyarakat biasanya punya kekuasaan yang rapuh, karena yang bisa dilakukannya hanya menekan masyarakat kecil. Sementara buku memungkinkan masyarakat untuk berpikir kritis dan bisa mengobrak-abrik kebijakan yang menyengsarakan masyarakat. Dengan berpikir kritis masyarakat akan mempertanyakan kekuasaan dan mencari kebenaran yang ada di luar narasi resmi.
Kedua, Pemicu perubahan dan sistem demokrasi. Buku layaknya seperti katalisator kimia dalam otak yang menghasilkan hormon dopamin, glutamat dan serotonin. Sementara buku adalah katalisator perubahan sosial dan politik yang ada di suatu negara. Ide-ide yang didapatkan dari buku bisa memicu kesadaran masyarakat untuk melakukan diskusi. Berujung pada sikap menentang kebijakan yang dianggap meresahkan.
Ketiga, Menghindari terjadinya debat dan mencegah pemikiran kritis. Seperti beberapa kasus ke belakang bahwasannya beberapa anggota DPR dan pemimpin negara justru kabur dan menghindari debat saat rakyat melakukan aksi demo. Bahkan aksi demo kali ini tidak lepas dari ucapan mereka yang sembrono, yang tidak mencerminkan seorang pemimpin. Para penguasa takut untuk berdebat dengan masyarakat yang dekat dengan buku, karena pada faktanya saat penjarahan terjadi hampir semua anggota dewan tidak memiliki buku, yang ada hanya barang mewah dan fasilitas rumah yang megah.
Keempat, Paranoid terhadap teks dan ideologi. Penyitaan buku yang dilakukan oleh negara mencerminkan ketakutan penguasa terhadap teks yang dianggap berbahaya. Bahkan sebelum menyatakan buku itu berbahaya mereka belum pernah mencoba membacanya sama sekali. Teks yang ada dalam buku dan setiap halaman kertas yang ada seolah lebih menakutkan dibandingkan dengan senjata.
Lantas bagaimana dengan perempuan ?
Apa yang begitu mereka takutkan dari perempuan yang mereka anggap lemah ? Fisiknya? Tentu bukan.
Apa yang begitu mereka takutkan dari perempuan yang mereka anggap bisa dikendalikan ? Kecantikannya ? Tentu bukan.
Bukan kemolekan tubuhnya tapi ide dan gagasannya.
Perempuan yang diberikan kesempatan untuk mengakses pendidikan membuat laki-laki takut kalau perempuan bisa be-reformasi melalui pola pikirnya.
Perempuan yang diberikan kesempatan untuk belajar membuat laki-laki takut kalau perempuan itu pintar.
Lewat buku, laki-laki takut jika perempuan mulai berpikir. Laki-laki takut melalui pola pikirnya-- perempuan bisa membuat pergerakan dan perubahan. Laki-laki takut kalau perempuan mulai punya kesadaran.
Karena perempuan yang punya kesadaran untuk berpikir tidak mudah untuk dimanipulasi. Perempuan yang berpikir tidak mudah diperalat. Dan yang paling penting perempuan yang berpikir tidak akan mudah dijadikan objek seksualitas semata.
Lalu laki-laki takut jika perempuan mulai menuangkan ide dan pemikiran kritisnya lewat buku. Karena lewat tulisan, perempuan bisa menyebarkan pemikirannya kepada perempuan lain untuk berani "BERKESADARAN". (*)