Sejak penjajahan perempuan selalu menjadi pihak yang tertindas. Suaranya tak hanya tidak terdengar--bahkan sudah dibungkam sebelum sampai di telinga.
Negara kita memang tidak banyak mengingat sejarah kelam tentang perempuan dan salah satu yang menjadi bukti adalah kisah perempuan yang terlupakan oleh sejarah dalam catatan pulau buru Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer karya Pramoedya Ananta Toer.
Perempuan saat hadir dalam masa penjajahan Jepang justru mengalami manipulasi. Para perawan remaja tersebut diiming-imingi untuk melanjutkan sekolah tinggi ke Jepang dan Singapura. Namun bukan harapan pendidikan yang perempuan dapatkan--kenyataan perbudakan seks yang justru menghantui para perempuan sepanjang hidupnya.
Perempuan dipaksa untuk memenuhi nafsu bejad para tentara Jepang tanpa belas kasih. Sejumlah perempuan digilir oleh para tentara jepang tanpa istirahat dan tanpa mendapatkan penghidupan yang layak. Para perempuan tidak dibayar sekalipun kecuali hanya makanan yang ala kadarnya.
Bahkan setelah Indonesia dinyatakan merdeka para perempuan yang mejadi budak seks dibungkam untuk tidak menceritakan kekejaman yang dilakukan tentara Jepang. Itu mengapa sejarah kekejaman perempuan Indonesia oleh Jepang tidak terdokumentasi dengan baik. Bahkan satu hal yang sangat menyakitkan ketika korban perbudakan seks justru mendapat julukan Jugun Ianfu (Wanita Penghibur).
Perempuan yang menjadi penyitas hidup dalam ketakutan dan rasa malu yang besar. Bahkan setelah dibebaskan para perempuan tersebut memilih menjauh dari keluarganya karena merasa hina dan tidak pantas berkumpul dengan keluarga. Hingga hari ini masih ada penyitas yang hidup dan sempat diliput oleh beberapa media besar untuk mengungkap sejarah yang terlupakan.
Hingga kini perempuan dibesarkan dengan rasa bersalah karena marah, karena "terlalu" nya hingga karena penolakannya. Perempuan dianggap terlalu keras jika tidak bersikap lembut seperti perempuan lainnya. Padahal perempuan hanya tidak ingin dijadikan sebagai alas.
Perempuan dianggap terlalu banyak mau jika memiliki pilihan hidup, padahal perempuan hanya ingin hidup dalam kemandirian tanpa bayangan-bayang dari siapapun. Perempuan dianggap terlalu vokal jika mengungkapkan apa yang menjadi isi hatinya, padahal kondisi yang menuntutnya sangat tidak ideal.
Tak jarang perempuan diperbolehkan setara tapi jangan terlalu kritis. Namun ketika perempuan menolak lelaki maka tak jarang hidupnya berakhir tragis. Kasus yang terjadi di Bandung berinisial NA menjadi korban tragis setelah mendapat sejumlah 25 tusukan saat menolak aborsi. Melalui kisah ini perempuan yang terlalu vokal bukan sekedar ejekan moral, hal ini justru mengundang maut bagi perempuan yang memiliki keberanian untuk berkata tidak.
Dibalik narasi budaya menerapkan perempuan untuk berlaku sopan, diam dan manis. Ada sejumlah tekanan naluri yang dilakukan semata-mata untuk sopan di mata orang lain dan bukan untuk dirinya sendiri. Jika aturan dibuat untuk membungkam, maka melanggar jadi bentuk paling nyata dari bertahan. (*)
