Kita sering merasa sudah akrab dengan agama. Tapi begitu diajak berdialog, atau sekadar mencoba mengenal agama di luar tradisi sendiri, tiba-tiba banyak hal jadi terasa asing.
Sangat wajar, sebab setiap agama punya cara pandang dan bahasanya yang khas. Yang sering terjadi, kita justru membaca agama lain dari kacamata kita sendiri. Lalu salah paham. Padahal mungkin tantangan terbesarnya bukan soal setuju atau tidak, tapi berani mencoba memahami agama lain sebagaimana para penganutnya menghayatinya.
Di titik ini, buku-buku menjadi penting, jadi jembatan. Bukan hanya untuk memahami agama yang berbeda, tapi juga untuk memandang ulang agama sendiri dengan cara yang lebih menantang dan seru.
Ada lima buku yang menurut saya menarik sekali untuk dibaca bagi kita yang ingin mengenal agama-agama dengan cara yang nyentrik. Berikut senarai bacaan yang bisa kita ubek-ubek sendiri.
1. Anicca: Kumpulan Puisi (2022)
Kita bisa memulai petualangan lintas iman ini lewat interaksi dengan dunia sastra. Anicca, antologi puisi karya Liswindio Apendicaesar, adalah salah satu cara paling indah untuk mengenal Buddha Dhamma.

Puisi-puisinya kaya dengan pandangan dunia yang Buddhist banget. Perenungan panjang tentang ketidakkekalan, kesunyian, dan pencarian makna dunia di tengah duka yang melanda segala hal yang ada.
Bagi saya, membaca Anicca bukan hanya soal menikmati keindahan diksi, tapi juga tentang belajar meresapi kebijaksanaan Buddha tanpa harus membaca teks-teks filosofis yang kaku. Buku ini memperlihatkan bahwa ajaran agama bisa hidup melalui estetika yang lembut sekaligus mengguncang. Melalui meditasi dalam kata, melalui narasi yang diolah menjadi karya kontemporer.
2. Kebalian: Konstruksi Dialogis Identitas Bali (2020)
Buku terjemahan dari karya cendikia Prancis, Michel Picard, ini mencoba mengurai soal identitas keagamaan dan kebudayaan Bali terbentuk lewat interaksi panjang antara kolonialisme, modernitas, desakan negara, dan tradisi lokal.

Yang menarik, Kebalian tidak berhenti di tataran deskriptif, ia mengajak kita untuk berpikir mendalam. Lewat telaahnya, kita diajak melihat bahwa agama bukan sesuatu yang jatuh dari langit dalam bentuk final. Ia tumbuh, bernegosiasi, dan bertransformasi di tengah sejarah dan relasi kuasa.
Di sinilah letak pentingnya buku ini. Ia menegaskan bahwa agama selalu lahir di ruang kritis. Tempat ketika religi, kekuasaan, dan kebudayaan saling menguji dan menafsir ulang. Bacalah, menamatkan buku ini bisa bikin kita merasa agak lebih pede. Dan entah, sedikit keren juga.
3. Labirin Kehidupan (Jilid 1, 2, dan 3) (2016, 2020, 2025)
Pdt. Joas Adiprasetya, seorang profesor teologi Protestan, memintal ajaran Kekristenan dengan cara yang akrab dan membumi. Dalam tiga jilid buku ini, teologi ditempatkan di tengah kehidupan sehari-hari, bukan di menara gading akademis.

Saya selalu suka dan menantikan setiap jilidnya. Susunan bab demi bab terasa penuh tapi tetap ringan, ringan tapi tetap mendalam. Di tangan sang pena, teologi bukan sekadar dogma, ia hadir sebagai praksis, sebagai cara hidup yang melihat dunia dikelilingi oleh keajaiban dan khazanah iman.
Buku ini bisa menjadi rujukan bagi semua orang, baik pembaca awam yang ingin memahami, maupun mereka yang sudah akrab dengan teologi. Tipis, jernih, sederhana, tapi sama sekali tidak “murahan.”
4. Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu (2000)
Dalam peta studi agama di Indonesia, buku ini terasa seperti angin segar. Ia memecah kebuntuan dan menjadi salah satu referensi yang oke tentang Konghucu di negeri ini. Ditulis oleh M. Ihsan Tonggok, seorang akademisi studi agama-agama, buku ini hadir dengan pendekatan yang serius dan sistematis.

Menariknya, penulis bukan penganut Konghucu. Namun lewat riset, ia menunjukkan bahwa memahami agama lain bukan soal keanggotaan, melainkan soal keterbukaan dan kesediaan untuk mendengar. Spirit ini yang buat saya penting dilakukan oleh kita-kita.
Membacanya membuat saya sadar bahwa Konghucu bukan sekadar agama, filsafat, atau etika, tapi sebuah cara hidup yang terus bergema di masa kini.
5. Ngaji Fikih: Pemahaman Tekstual dengan Aplikasi yang Kontekstual (2020)
Buku ini membawa kita masuk ke dunia fikih Islam dengan cara yang cerdas dan menyenangkan. Gus Nadir, sang penulis, menunjukkan bahwa fikih yang sering dianggap kaku dan penuh hukum-hukum hitam putih, sebenarnya sangat dinamis dan terbuka terhadap perubahan zaman.

Dengan gaya tulis yang ringan tapi tajam, ia memadukan teks klasik dengan konteks kekinian. Bagi saya, karya ini penting bukan hanya untuk memahami Islam, tapi juga untuk belajar mengasah nalar dalam membaca ajaran agama.
Buku ini berhasil menyajikan yang paling teoritis hingga contoh-contoh yang kadang bikin “heboh”, tapi justru di situlah letak kesegarannya. Dan percayalah, selesai baca ini kita bisa melihat perbedaan praktik beragama dengan lebih tenang.
Catatan Kecil
Lima buku ini hanya kumpulan bacaan yang acak. Tidak ada urutan khusus, tidak harus dibaca secara sistematis dari satu ke yang lain. Suka-sukalah, diselingi dengan buku lain, atau sambil mencari bacaan pengantar yang lebih dasar pun boleh. Intinya, buku-buku ini hanyalah pemantik kecil dari khazanah besar agama-agama yang perlu kita kenali.
Yang menarik, kelima buku ini menunjukkan bahwa cara belajar agama tidak pernah satu versi. Ia bisa hadir lewat sastra, kajian kritis, atau refleksi yang kadang rumit tetapi menggetarkan. Kadang kita memulai dari hal yang tinggi dulu, baru mundur ke dasar, dan itu tidak apa-apa.
Bagi saya pribadi, buku-buku semacam ini seperti secercah harapan di tengah minimnya literatur tentang agama-agama yang benar-benar “berdaging”, dalam bahasa Indonesia. Kelima bacaan ini juga membuktikan bahwa menyoal agama tidak harus berakhir pada jargon toleransi yang basa-basi atau bahkan yang sok moralis.
Nilai-nilainya justru menyelinap halus, mengajak kita membuka diri, berpikir ulang, dan kadang, ya, sedikit terguncang oleh kenyataan-kenyataan yang disodorkan. Namun di situlah letak serunya. Barangkali di situ juga spiritualitas kita menemukan bentuknya yang paling jujur. Bukan di puncak keyakinan, melainkan di ruang baca yang penuh rasa ingin tahu. (*)