JALAN tol dalam kota digadang-gadang bakal segera dibangun guna mengatasi kemacetan yang kerap merundung Bandung. Pertanyaannya adalah: apakah langkah ini sejalan pula dengan upaya menahan laju krisis iklim yang kian genting?
Pembangunan infrastruktur jalan memang kerap dianggap sebagai obat mujarab untuk mengurai kemacetan. Setiap kali sebuah kota macet, resep instan yang keluar hampir selalu sama, yakni tambah jalan, bangun flyover, perluas akses kendaraan.
Bandung tidak luput dari pola pikir tersebut. Tol dalam kota pun muncul sebagai jawaban kilat yang dirasa paling masuk akal dalam mengatasi kemacetan di Kota Kembang ini.
Namun, di balik rencana pembangunan tol dalam kota itu, barangkali kita perlu mengambil jeda sejenak dan bertanya ihwal apakah benar kalu kita menambah jalan, maka bisa mengurai kemacetan? Ataukah justru memperpanjang siklus kemacetan?
Sejumlah studi menunjukkan fenomena yang sudah lama diketahui para ahli transportasi, yakni induced demand. Begitu jalan dilebarkan atau diperpanjang, jumlah kendaraan malah turut bertambah.
Mobil dan motor yang tadinya hoream keluar karena macet, begitu ada tol dalam kota, dan jalanan lebih lega, justru berlomba keluar dari garasi masing-masing. Maka, dalam beberapa bulan saja, ruang-ruang kota kembali disesaki kendaraan. Kemacetan datang lagi. Cuma, kali ini ia hadir di atas jalanan yang lebih lebar dan lebih mahal.
Problem besar seperti itu kiwari bersinggungan pula dengan masalah kian genting, yakni krisis iklim. Oleh karenanya, setiap keputusan pembangunan seharusnya ditimbang dua kali, bukan hanya soal kemanfaatannya hari ini, tetapi juga soal bebannya terhadap Bumi di kemudian hari.
Dalam konteks pembangunan jalan tol, ia bukan cuma perkara aspal dan beton. Ia juga terkait dengan emisi. Ketika jalan tol hadir, kendaraan bertambah, bahan bakar terbakar lebih banyak, dan udara kota menanggung konsekuensinya. Bukankah Bandung selama ini juga bergelut dengan polusi yang semakin pekat?
Belum lagi proses pembangunannya sendiri. Produksi semen—bahan utama konstruksi—adalah salah satu penyumbang emisi terbesar di sektor industri. Setiap tiang pancang yang berdiri membawa jejak karbon yang tak seuprit. Maka, membangun tol dalam kota sebetulnya bukan hanya membangun infrastruktur, tetapi juga membangun emisi.
Mampu beradaptasi

Kota yang baik seharusnya mampu beradaptasi, bukan cuma bertumbuh. Adaptasi ini membutuhkan imajinasi baru antara lain dalam memandang transportasi, di mana kita bukan melulu bagaimana mempercepat aliran kendaraan, tetapi bagaimana memastikan warga bisa bergerak dengan lebih efisien tanpa memperbesar jejak karbon di atmosfer.
Bandung sebenarnya punya potensi besar dalam hal mengurangi jejak karbon warganya. Kota ini tidak terlalu luas. Pusat aktivitas relatif dekat, yang sebenarnya bisa dijangkau dengan berjalan kaki atau bersepeda. Cuaca di Bandung juga relatif lebih adem ketimbang kota-kota besar lainnya. Jalan kaki atau bersepeda tak akan begitu menyiksa.
Andai pula muncul keberanian untuk membenahi transportasi publik, sehingga sistem transportasi yang murah, aman, nyaman, dan andal hadir, mungkin banyak pula warga Bandung yang tidak keberatan meninggalkan motor atau mobil mereka di garasi.
Sayang seribu sayang, transportasi publik di Bandung masih jauh dari memadai. Bus tersedia, tetapi jangkauannya masih terbatas. Jalur pedestrian hadir, tapi tak semuanya nyaman. Sementara layanan kereta cepat antar-kota tidak otomatis menjawab persoalan mobilitas di dalam kota.
Dalam kondisi seperti ini, membangun tol dalam kota terasa seperti memilih jalan pintas potong kompas yang paling mudah ditawarkan kepada publik.
Akan tetapi, apakah pilihan itu benar-benar akan menyelesaikan masalah kemacetan? Atau hanya menunda persoalan sambil menambah beban lingkungan?
Barangkali tak ada salahnya kita menengok dan belajar dari banyak kota di luar negeri yang pernah mengambil langkah serupa. Houston, Los Angeles, Beijing, semuanya sudah mencoba membangun jalan lebih lebar dan lebih panjang demi mengatasi macet.
Hasilnya podo wae, macet kembali, bahkan lebih parah. Setelah itu, barulah para pengelola kota -kota itu sadar bahwa menambah jalan atau memperlebar jalan bukan resep cespleng mengobati kemacetan. Pada titik inilah, para pengelola kota-kota itu mulai menata transportasi publik, dan di sanalah perubahan pun mulai terlihat.
Sementara itu, jika kita berpaling ke Eropa, alih-alih membangun jalan baru atau memperlebar jalan, beberapa kota Eropa justru menutup akses kendaraan pribadi dari pusat kota. Ruang yang tadinya dikuasai mobil, dikembalikan untuk kepentingan pejalan kaki, pesepeda, dan transportasi umum.
Buntutnya, polusi menurun, ekonomi lokal tumbuh, dan kualitas hidup membaik. Sebuah paradoks yang menarik, di mana semakin sedikit ruang untuk mobil, justru semakin lancar aktivitas kota.
Bandung mungkin belum siap untuk melangkah sejauh itu, tetapi bukan berarti tidak bisa bergerak ke arah yang sama. Kota ini punya modal sosial yang kuat. Warganya kreatif, terbiasa beradaptasi, dan punya kecintaan pada ruang-ruang publik yang hidup.
Mengalirkan kehidupan

Tol dalam kota mungkin akan mengalirkan kendaraan dengan lancar, tetapi ia tidak selalu mengalirkan kehidupan.
Di sisi lain, kita juga perlu jujur bahwa perubahan memang tidak pernah gampang. Membangun sistem transportasi yang terintegrasi membutuhkan investasi besar, waktu panjang, dan keberanian politik untuk mengambil keputusan yang tidak selalu populer.
Tetapi, keberanian itu niscaya pada akhirnya bakal menelurkan kota yang lebih tangguh menghadapi krisis iklim, kota yang mengutamakan mobilitas warganya, bukan mobilitas kendaraannya, kota yang memberikan ruang bagi udara bersih untuk kembali mengalir di antara bangunan-bangunan tua nan ikonik.
Jika krisis iklim benar-benar ingin dihadapi, kota seperti Bandung harus mulai menggeser cara pandangnya, yakni dari kota yang mengikuti arus kendaraan, menjadi kota yang memandu arus kehidupan. Pembangunan di kota ini harus dirancang bukan sebatas sebagai proyek fisik, tetapi juga sebagai investasi lingkungan.
Bagaimanapun, pada akhirnya, kota yang terlalu banyak bergantung pada kendaraan adalah kota yang rentan. Ia rentan terhadap polusi, rentan terhadap banjir, rentan terhadap panas ekstrem. Sementara kota yang memberi ruang bagi mobilitas rendah emisi akan lebih siap menanggung masa depan yang tidak pasti.
Tentu saja, akan menjadi sia-sia jika kita memerangi krisis iklim dengan pidato berbusa-busa, sementara kebijakan pembangunan justru memperbesar sumber masalahnya. Di era krisis iklim, kota yang konsisten menjaga lingkungannya akan lebih dihormati dibanding kota yang hanya mengejar kecepatan perjalanan.
Pada titik inilah, barangkali sudah waktunya pula kita menimbang kembali ihwal apa yang dimaksud dengan kelancaran. Apakah kelancaran itu soal kendaraan pribadi bergerak cepat, atau warga bisa bergerak dengan nyaman tanpa harus bergantung pada kendaraan pribadi.
Baca Juga: BIUTR sebagai Solusi Kemacetan atau Sekadar Menambah Mobil di Jalanan Bandung?
Jika kelancaran dimaknai sebagai kemudahan warga bergerak, maka jawabannya tidak selalu harus jalan tol. Ia bisa berupa bus yang datang tepat waktu, jalur sepeda yang aman, atau trotoar yang ramah warga.
Sudah barang tentu, ada banyak pilihan. Dan pilihan itu boleh jadi tidak secepat jalan tol, tetapi kemungkinan bisa jauh lebih berkelanjutan.
Rencana pembangunan tol dalam kota akhirnya menuntun kita pada sebuah pertanyaan paling mendasar, yakni Bandung seperti apa yang ingin kita wariskan kepada generasi mendatang? Apakah Bandung yang berlari mengejar kendaraan pribadi, atau Bandung yang berjalan lebih pelan, namun nyaman, dan berpikir jauh ke masa depan?
Jawaban atas pertanyaan itu bakal sangat menentukan paras Bandung untuk puluhan tahun ke depan. (*)
