Bandung untuk Mobil Pribadi atau Bandung untuk Warga?

Djoko Subinarto
Ditulis oleh Djoko Subinarto diterbitkan Rabu 10 Des 2025, 20:02 WIB
Warga bersepeda di kawasan Alun-alun Bandung. (Sumber: Arsip pribadi | Foto: Djoko Subinarto)

Warga bersepeda di kawasan Alun-alun Bandung. (Sumber: Arsip pribadi | Foto: Djoko Subinarto)

JALAN tol dalam kota digadang-gadang bakal segera dibangun guna mengatasi kemacetan yang kerap merundung Bandung. Pertanyaannya adalah: apakah langkah ini sejalan pula dengan upaya menahan laju krisis iklim yang kian genting?

Pembangunan infrastruktur jalan memang kerap dianggap sebagai obat mujarab untuk mengurai kemacetan. Setiap kali sebuah kota macet, resep instan yang keluar hampir selalu sama, yakni tambah jalan, bangun flyover, perluas akses kendaraan. 

Bandung tidak luput dari pola pikir tersebut. Tol dalam kota pun muncul sebagai jawaban kilat yang dirasa paling masuk akal dalam mengatasi kemacetan di Kota Kembang ini.

Namun, di balik rencana pembangunan tol dalam kota itu, barangkali kita perlu mengambil jeda sejenak dan bertanya ihwal apakah benar kalu kita menambah jalan, maka bisa mengurai kemacetan? Ataukah justru memperpanjang siklus kemacetan? 

Sejumlah studi menunjukkan fenomena yang sudah lama diketahui para ahli transportasi, yakni  induced demand. Begitu jalan dilebarkan atau diperpanjang, jumlah kendaraan malah turut bertambah.

Mobil dan motor yang tadinya hoream keluar karena macet, begitu ada tol dalam kota, dan jalanan lebih lega, justru berlomba keluar dari garasi masing-masing. Maka, dalam beberapa bulan saja, ruang-ruang kota kembali disesaki kendaraan. Kemacetan datang lagi. Cuma, kali ini ia hadir di atas jalanan yang lebih lebar dan lebih mahal.

Problem besar seperti itu kiwari bersinggungan pula dengan masalah kian genting, yakni krisis iklim. Oleh karenanya, setiap keputusan pembangunan seharusnya ditimbang dua kali, bukan hanya soal kemanfaatannya hari ini, tetapi juga soal bebannya terhadap Bumi di kemudian hari.

Dalam konteks pembangunan jalan tol, ia bukan cuma perkara aspal dan beton. Ia juga terkait dengan emisi. Ketika jalan tol hadir, kendaraan bertambah, bahan bakar terbakar lebih banyak, dan udara kota menanggung konsekuensinya. Bukankah Bandung selama ini juga bergelut dengan polusi yang semakin pekat?

Belum lagi proses pembangunannya sendiri. Produksi semen—bahan utama konstruksi—adalah salah satu penyumbang emisi terbesar di sektor industri. Setiap tiang pancang yang berdiri membawa jejak karbon yang tak seuprit. Maka, membangun tol dalam kota sebetulnya bukan hanya membangun infrastruktur, tetapi juga membangun emisi.

Mampu beradaptasi

Kemacetan bukan sekadar gangguan lalu lintas, tapi cerminan tata kelola kota yang belum sepenuhnya adaptif terhadap lonjakan urbanisasi dan perubahan perilaku mobilitas warganya. (Sumber: Ayobandung.id)
Kemacetan bukan sekadar gangguan lalu lintas, tapi cerminan tata kelola kota yang belum sepenuhnya adaptif terhadap lonjakan urbanisasi dan perubahan perilaku mobilitas warganya. (Sumber: Ayobandung.id)

Kota yang baik seharusnya mampu beradaptasi, bukan cuma bertumbuh. Adaptasi ini membutuhkan imajinasi baru antara lain dalam memandang transportasi, di mana kita bukan melulu bagaimana mempercepat aliran kendaraan, tetapi bagaimana memastikan warga bisa bergerak dengan lebih efisien tanpa memperbesar jejak karbon di atmosfer.

Bandung sebenarnya punya potensi besar dalam hal mengurangi jejak karbon warganya. Kota ini tidak terlalu luas. Pusat aktivitas relatif dekat, yang sebenarnya bisa dijangkau dengan berjalan kaki atau bersepeda. Cuaca di Bandung juga relatif lebih adem ketimbang kota-kota besar lainnya. Jalan kaki atau bersepeda tak akan begitu menyiksa. 

Andai pula muncul keberanian untuk membenahi transportasi publik, sehingga sistem transportasi yang murah, aman, nyaman, dan andal  hadir, mungkin banyak pula warga Bandung yang  tidak keberatan meninggalkan motor atau mobil mereka di garasi.

Sayang seribu sayang, transportasi publik di Bandung masih jauh dari memadai. Bus tersedia, tetapi jangkauannya masih terbatas. Jalur pedestrian hadir, tapi tak semuanya nyaman. Sementara layanan kereta cepat antar-kota tidak otomatis menjawab persoalan mobilitas di dalam kota.

Dalam kondisi seperti ini, membangun tol dalam kota terasa seperti memilih jalan pintas potong kompas yang paling mudah ditawarkan kepada publik. 

Akan tetapi, apakah pilihan itu benar-benar akan menyelesaikan masalah kemacetan? Atau hanya menunda persoalan sambil menambah beban lingkungan?

Barangkali tak ada salahnya kita menengok dan belajar dari banyak kota di luar negeri yang pernah mengambil langkah serupa. Houston, Los Angeles, Beijing, semuanya sudah mencoba membangun jalan lebih lebar dan lebih panjang demi mengatasi macet.

Hasilnya podo wae, macet kembali, bahkan lebih parah. Setelah itu, barulah para pengelola kota -kota itu sadar bahwa menambah jalan atau memperlebar jalan bukan resep cespleng mengobati kemacetan. Pada titik inilah, para pengelola kota-kota itu mulai menata transportasi publik, dan di sanalah perubahan pun mulai terlihat.

Sementara itu, jika kita berpaling ke Eropa, alih-alih membangun jalan baru atau memperlebar jalan, beberapa kota Eropa justru menutup akses kendaraan pribadi dari pusat kota. Ruang yang tadinya dikuasai mobil, dikembalikan untuk kepentingan pejalan kaki, pesepeda, dan transportasi umum.

Buntutnya, polusi menurun, ekonomi lokal tumbuh, dan kualitas hidup membaik. Sebuah paradoks yang menarik, di mana semakin sedikit ruang untuk mobil, justru semakin lancar aktivitas kota.

Bandung mungkin belum siap untuk melangkah sejauh itu, tetapi bukan berarti tidak bisa bergerak ke arah yang sama. Kota ini punya modal sosial yang kuat. Warganya kreatif, terbiasa beradaptasi, dan punya kecintaan pada ruang-ruang publik yang hidup.

Mengalirkan kehidupan

Sejumlah kendaraan terjebak kemacetan di Jembatan Layang Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Kota Bandung, Jumat 19 September 2025. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Sejumlah kendaraan terjebak kemacetan di Jembatan Layang Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Kota Bandung, Jumat 19 September 2025. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Tol dalam kota mungkin akan mengalirkan kendaraan dengan lancar, tetapi ia tidak selalu mengalirkan kehidupan.

Di sisi lain, kita juga perlu jujur bahwa perubahan memang tidak pernah gampang. Membangun sistem transportasi yang terintegrasi membutuhkan investasi besar, waktu panjang, dan keberanian politik untuk mengambil keputusan yang tidak selalu populer.

Tetapi, keberanian itu niscaya pada akhirnya bakal menelurkan kota yang lebih tangguh menghadapi krisis iklim, kota yang mengutamakan mobilitas warganya, bukan mobilitas kendaraannya, kota yang memberikan ruang bagi udara bersih untuk kembali mengalir di antara bangunan-bangunan tua nan ikonik.

Jika krisis iklim benar-benar ingin dihadapi, kota seperti Bandung harus mulai menggeser cara pandangnya, yakni dari kota yang mengikuti arus kendaraan, menjadi kota yang memandu arus kehidupan. Pembangunan di kota ini harus dirancang bukan sebatas sebagai proyek fisik, tetapi juga sebagai investasi lingkungan.

Bagaimanapun, pada akhirnya, kota yang terlalu banyak bergantung pada kendaraan adalah kota yang rentan. Ia rentan terhadap polusi, rentan terhadap banjir, rentan terhadap panas ekstrem. Sementara kota yang memberi ruang bagi mobilitas rendah emisi akan lebih siap menanggung masa depan yang tidak pasti.

Tentu saja, akan menjadi sia-sia jika kita memerangi krisis iklim dengan pidato berbusa-busa, sementara kebijakan pembangunan justru memperbesar sumber masalahnya. Di era krisis iklim, kota yang konsisten menjaga lingkungannya akan lebih dihormati dibanding kota yang hanya mengejar kecepatan perjalanan.

Pada titik inilah, barangkali sudah waktunya pula kita menimbang kembali ihwal apa yang dimaksud dengan kelancaran. Apakah kelancaran itu soal kendaraan pribadi bergerak cepat, atau warga bisa bergerak dengan nyaman tanpa harus bergantung pada kendaraan pribadi.

Baca Juga: BIUTR sebagai Solusi Kemacetan atau Sekadar Menambah Mobil di Jalanan Bandung?

Jika kelancaran dimaknai sebagai kemudahan warga bergerak, maka jawabannya tidak selalu harus jalan tol. Ia bisa berupa bus yang datang tepat waktu, jalur sepeda yang aman, atau trotoar yang ramah warga.

Sudah barang tentu, ada banyak pilihan. Dan pilihan itu boleh jadi tidak secepat jalan tol, tetapi kemungkinan bisa jauh lebih berkelanjutan.

Rencana pembangunan tol dalam kota akhirnya menuntun kita pada sebuah pertanyaan paling mendasar, yakni Bandung seperti apa yang ingin kita wariskan kepada generasi mendatang? Apakah Bandung yang berlari mengejar kendaraan pribadi, atau Bandung yang berjalan lebih pelan, namun nyaman, dan berpikir jauh ke masa depan?

Jawaban atas pertanyaan itu bakal sangat menentukan paras Bandung untuk puluhan tahun ke depan. (*)

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Djoko Subinarto
Penulis lepas, blogger
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Netizen 10 Des 2025, 21:09 WIB

Minat Baca Warga Bandung Masih Rendah meski Fasilitas Mencukupi, Catatan untuk Wali Kota

Menyoroti masalah rendahnya minat baca di Bandung meski fasilitas memadai.
Sebuah Street Library tampak lengang dengan buku-buku yang mulai berdebu di samping Gedung Merdeka, Jalan Asia-Afrika, Bandung, Jumat (05/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Adellia Ramadhani)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 20:16 WIB

Bubur Mang Amir, Bubur Ayam Termurah se-Dunia Seporsi Cuma Rp5.000

Pengakuan Mang Amir, ia sudah berjualan bubur ayama selama 25 tahun.
Pengakuan Mang Amir, penjual bubur seporsi Rp5.000, ia sudah berjualan bubur ayama selama 25 tahun. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 20:02 WIB

Bandung untuk Mobil Pribadi atau Bandung untuk Warga?

Kota yang terlalu banyak bergantung pada kendaraan adalah kota yang rentan.
Warga bersepeda di kawasan Alun-alun Bandung. (Sumber: Arsip pribadi | Foto: Djoko Subinarto)
Ayo Biz 10 Des 2025, 20:02 WIB

Ketika Pekerja Kehilangan Rasa Aman: PHK Menguak Luka Sosial yang Jarang Terlihat

Fenomena pemutusan hubungan kerja atau PHK semakin menjadi sorotan publik karena dampaknya yang luas terhadap kehidupan pekerja, pencari kerja, dan dinamika hubungan industrial.
Fenomena pemutusan hubungan kerja atau PHK semakin menjadi sorotan publik karena dampaknya yang luas terhadap kehidupan pekerja, pencari kerja, dan dinamika hubungan industrial. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 19:51 WIB

Karya Anak Muda Bandung yang Hadirkan Identitas dalam Brand Fashion Berjiwa Bebas

Brand lokal ini membawa semangat bebas dan berani, mewakili suara anak muda Bandung lewat desain streetwear yang penuh karakter.
Tim urbodycount menata koleksi kaos edisi terbaru di atas mobil sebagai bagian dari proses pemotretan produk di Buahbatu Square Jl.Apel 1 NO.18, Bandung, Jawa Barat, Selasa (4/11/2025) (Sumber: Rahma Dewi | Foto: Rahma Dewi)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 18:19 WIB

Soerat Imadjiner oentoek Maurenbrecher

Sebuah inspirasi unutk Wali Kota Bandung dan wakilnya, demi kemajuan Bandung.
Suasana Jalan Asia Afrika (Groote Postweg) Kota Bandung zaman kolonial Belanda. (Sumber: Tropenmuseum)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 17:34 WIB

Sibuk Romantisasi Tak Kunjung Revitalisasi, Angkot Kota Bandung 'Setengah Buntung'

Kritik dan Saran terhadap Wali Kota Bandung terkait revitalisasi angkot Bandung.
Angkot Kota Bandung yang mulai sepi peminat di Dipatiukur, (7/12/2025). (Foto: Andrea Keira)
Ayo Jelajah 10 Des 2025, 17:03 WIB

Hikayat Terminal Cicaheum, Gerbang Perantau Bandung yang jadi Sarang Preman Pensiun

Sejarah Terminal Cicaheum sebagai pintu perantau Bandung. Terminal ini hidup abadi lewat budaya populer Preman Pensiun saat fungsi aslinya perlahan menyusut.
Suasana Terminal Cicaheum, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan Al Faritsi)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 16:26 WIB

Untuk Siapa Sebenarnya Sidewalk Diperuntukkan?

Keberadaan trotoar yang layak dan aman dapat mendorong masyarakat untuk lebih banyak berjalan kaki serta mengurangi kemacetan dan polusi.
Trotoar di Jalan Braga yang dipenuhi PKL. (Foto: Author)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 14:30 WIB

Sarana Bus Trans Metro Jabar Terus Meningkat, Halte Terbengkalai Tak Diperhatikan Wali Kota Bandung?

Di balik itu Metro Jabar Trans banyak disukai warga, beberapa halte malah dibiarkan terbengkalai.
Prasarana halte di daerah Mohamad Toha yang terlihat banyak coretan dan kerusakan tak terurus menyebabkan ketidaknyamanan bagi penumpang, pada 30 November 2025. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Nufairi Shabrina)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 14:13 WIB

Penumpukan Sampah di Ujung Berung Sudah Tidak Terkendali, Warga Mulai Kewalahan

Artikel ini membahas tentang kondisi kebersihan yang ada di Kota Bandung terutama di Ujung Berung.
Penumpukan sampah terlihat berserakan di di Jalan Cilengkrang, Kawasan Ujung Berung, pada Senin, 1 Desember 2025 pukul 07.30 WIB. (Foto: Sumber Muhamad Paisal). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Muhamad Paisal)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 12:37 WIB

Masa Depan Bandung Antara Julukan Kota Kreatif dan Problematika Urban

Kota Bandung telah lama dikenal sebagai kota kreatif atau dengan julukan Prestisius (Unesco City of Design).
Bandung bukan hanya kota dengan udara sejuk tapi juga ruang hidup yang terus berdenyut dengan  semangat pluralisme dan kreativitas. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Titania Zalsyabila Hidayatullah)
Beranda 10 Des 2025, 12:37 WIB

Belasan Jurnalis Dalami Fungsi AI untuk Mendukung Kerja Redaksi

Inisiatif ini ditujukan untuk memperkuat kemampuan jurnalis Indonesia, khususnya dalam verifikasi digital lanjutan, investigasi, serta pemanfaatan berbagai teknologi AI generatif.
Training of Trainers (ToT) "AI for Journalists".
di Hotel Mercure Cikini, Jakarta.
Ayo Netizen 10 Des 2025, 12:22 WIB

Cager, Bager, Bener: Filosofi Sopir Online Bandung di Jalanan Kota

Mengutamakan profesionalisme serta nilai-nilai saling menghormati agar perjalanan tetap nyaman dan aman setiap hari.
Seorang driver online tengah tersenyum ramah menunggu penumpangnya di tengah keramaian jalanan, menerapkan nilai cageur, bager, bener dalam layanan transportasi – Bandung, Sabtu (01/11/2025) (Foto: Bunga Kemuning A.D)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 10:29 WIB

Batagor dan Baso Cuankie Serayu, Kuliner Sederhana yang Selalu Ramai di Cihapit

Batagor dan Cuankie Serayu masih mempertahankan daya tariknya hingga kini.
Suasana Antre Batagor dan Baso Cuankie Serayu (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Miya Siti Nurimah)
Beranda 10 Des 2025, 09:42 WIB

Jomlo Menggugat: Saat Urusan Personal Berubah Jadi Persoalan Sosial

Di berbagai fase hidupnya, perempuan tetap saja berhadapan dengan ekspektasi sosial yang meminta mereka mengikuti nilai-nilai yang sudah lama tertanam.
Ilustrasi (Sumber: Pixabay | Foto: congerdesign)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 08:44 WIB

Akhir Pekan di Bandung Bukan Wisata, tetapi Ujian Kesabaran di Tengah Arus Padat

Kota Bandung kini dikenal sebagai kota yang kaya akan destinasi wisata. Namun, kemacetan yang parah menjadi masalah di setiap akhir pekan
Kota Bandung kini dikenal sebagai kota yang kaya akan destinasi wisata. Namun, kemacetan yang parah menjadi masalah di setiap akhir pekan. (Dok. Penulis)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 07:41 WIB

Knalpot Bising: Dari Keluhan Masyarakat hingga Harapan Kota Tenang

Knalpot bising masih mengganggu warga Bandung. Razia yang tidak konsisten membuat pelanggar mudah lolos.
Suara bising nan kencang memantul di jalanan hingga membuat kita tak terasa tenang. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 09 Des 2025, 20:00 WIB

Beban Hidup Mencekik dan Tingginya Pengangguran Bukti Kegagalan Wali Kota Bandung?

Kenaikan biaya hidup dan syarat kerja tidak masuk akal memperparah 100 ribu pengangguran di Bandung.
Tingginya angka pengangguran memaksa warga Bandung beralih menjadi pekerja serabutan. (Sabtu, 06 Desember 2025). (Sumber: Penulis | Foto: Vishia Afiath)
Ayo Netizen 09 Des 2025, 19:53 WIB

Tanggapan Wisatawan tentang Kualitas Fasilitas Bandros di Bandung

Kritik serta saran mengenai fasilitas bandros yang ada di Kota Bandung.
Bandros di Kota Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis)