AYOBANDUNG.ID -- Ketika generasi milenial dan gen Z di Indonesia mulai menjadikan podcast sebagai bagian dari rutinitas harian, format yang mereka pilih pun ikut berevolusi. Tak lagi terpaku pada audio murni, kini mayoritas pendengar lebih menyukai podcast yang hadir dalam bentuk video.
Perubahan ini bukan sekadar soal gaya konsumsi, melainkan cerminan dari transformasi budaya digital yang lebih luas, di mana visual menjadi medium utama dalam menyampaikan cerita, membangun koneksi, dan membuka peluang bisnis.
Survei terbaru Populix yang melibatkan 1.100 responden dari berbagai kota di Indonesia mengungkapkan bahwa dua dari tiga pendengar podcast video menonton tayangan secara penuh. Sebagian lainnya memilih menonton hanya jika tertarik dengan narasumber yang dihadirkan.
Temuan ini menunjukkan bahwa daya tarik visual dan figur publik menjadi faktor dominan dalam menentukan engagement audiens. Menurutnya, perubahan ini bukan sekadar tren, melainkan sinyal bahwa ekspektasi pendengar terhadap konten semakin kompleks.
“Penurunan signifikan terjadi pada format audio-only. Jika dibandingkan dengan data tahun 2023, jumlah penikmat podcast audio berkurang lebih dari setengahnya,” ujar VP of Research Populix, Indah Tanip.
CEO Podcast Network Asia, Ron Baetiong melihat fenomena ini sebagai peluang strategis. Ia menyebutkan bahwa kreator kini bisa memanfaatkan format video untuk menampilkan produk, mengenakan brand fashion, hingga menyisipkan logo sponsor secara langsung.
“Podcast hari ini tidak hanya memanjakan telinga. Aspek visual memperkaya pengalaman audiens dan membuka pintu monetisasi yang lebih luas,” katanya.
Monetisasi pun berkembang dari sekadar iklan baca menjadi product placement, komisi affiliate, hingga langganan konten eksklusif. “Audiens kini tak ragu untuk memberikan tips atau donasi kepada kreator favorit mereka. Ini menunjukkan bahwa podcast telah menjadi medium yang dihargai secara emosional dan finansial,” tambah Ron.
Namun, di balik peluang tersebut, muncul tantangan baru. Editor Podnews dan Radio Futurologist, James Cridland mengingatkan bahwa muatan iklan yang berlebihan bisa menurunkan kualitas konten. Ia juga menyarankan sistem langganan sebagai bentuk monetisasi yang lebih berkelanjutan dan menjaga independensi kreator.
“Ketergantungan pada sponsor berisiko menggeser fokus kreator dari narasi ke komersialisasi,” ujarnya.
James mencontohkan podcast niche seperti Horses in the Morning, yang membahas topik seputar kuda dan memiliki pendengar di lebih dari 90 negara. “Kuncinya adalah bagaimana kreator mengemas informasi dan menyampaikan cerita agar mudah dan menarik untuk didengarkan,” katanya.
Preferensi konten pun berbeda antar generasi. Menurut Indah, milenial cenderung menyukai topik berat seperti politik, berita, dan motivasi. Sementara gen Z lebih memilih konten ringan seperti komedi dan hiburan, dengan durasi yang lebih singkat dan gaya yang santai.
Perbedaan ini menuntut strategi segmentasi yang lebih tajam. Kreator perlu memahami persona audiens mereka agar bisa menyampaikan pesan secara relevan. “Pendekatan yang tepat akan menentukan keberhasilan podcast dalam menjangkau dan mempertahankan pendengar,” kata Indah.
Selain itu, kualitas produksi dan storytelling menjadi elemen krusial. Format video menuntut visual yang menarik, namun narasi tetap menjadi fondasi utama. Kreator harus mampu menyampaikan cerita dengan alur yang kuat, didukung oleh riset dan sudut pandang yang tajam.
“Kami berharap temuan ini bisa mendukung perkembangan ekosistem hiburan audio, sekaligus menginspirasi para pencerita di seluruh Indonesia untuk terus berkarya,” pungkasnya.
Alternatif kebutuhan streaming atau produk UMKM serupa: