AYOBANDUNG.ID -- Ogie masih ingat betul malam itu. Lampu panggung menyala redup, suara distorsi gitar menggema, dan di antara kerumunan anak muda yang berteriak, Freak berdiri sebagai pengingat bahwa musik bukan sekadar hiburan tapi juga perlawanan, pelampiasan, dan harapan.
Band ini bukan nama baru di telinga para penikmat musik alternatif Bandung. Freak, yang mengusung aliran post-grunge, telah menjadi bagian dari denyut nadi skena independen kota ini sejak awal 2000-an.
Mereka bukan band yang lahir dari algoritma media sosial atau strategi pemasaran digital. Freak tumbuh dari panggung-panggung kecil, dari gigs komunitas, dari ruang-ruang sempit yang dipenuhi idealisme.
Nama Freak sebenarnya sudah digunakan Ogie sejak 90-an, namun baru resmi tercatat sebagai band pada 2003, saat mereka merilis album perdana “It Seems” di bawah label Freak Records.
Lagu-lagu seperti 'Go Away' dan 'Black Cloud' langsung mencuri perhatian, menempati posisi puncak chart indie radio Bandung selama berbulan-bulan. Bagi Ogie dan kawan-kawan, itu bukan sekadar pencapaian, tapi validasi bahwa suara mereka didengar.
Tak berhenti di situ, Freak merilis video klip “Black Cloud” dengan teknik full 3D animasi, sebuah gebrakan visual yang konon menjadi yang pertama di Indonesia. Video ini bahkan sempat tayang di MTV WOW dan MTV 100% Indonesia, membawa nama Freak melintasi batas lokal.
Namun seperti banyak band independen lainnya, perjalanan Freak tak selalu mulus. Tahun 2004 mereka bubar. Lima tahun kemudian, Ogie mencoba membangkitkan kembali Freak dengan formasi baru dan merilis album “Peace Please Peace!” Tapi tak lama, mereka kembali vakum.
“Kita dulu band yang sering bubar,” ujar Ogie berseloroh saat berbincang dengan Ayobandung.
Bagi Ogie, bubar bukan berarti menyerah. Tahun 2012, Freak kembali dibentuk dengan personel baru dan semangat yang lebih matang. “Band yang solid dan seriusnya sih di formasi yang sekarang dan mulai diseriusin pas 2012,” katanya.

Setelah empat tahun menggodok materi, mereka merilis album ketiga “Revelation of Universe” pada 2016, berisi 11 track yang dirilis di Indonesia dan Malaysia.
Album ini menjadi titik balik. Freak berkolaborasi dengan Baruzuka Godless Symptom dari scene Metal/Hardcore, dan menggandeng dua label legendaris independen Bandung yaitu Neverstop Records dan Riotic Records. Musik mereka lebih tajam, lebih padat, dan lebih jujur.
Band yang digawangi Ogie (vokal dan gitar), Zubey (gitar), dan Erwin (bass), plus satu additional drummer, mulai rutin manggung lintas negara. “Manggung sering ke Malaysia dan Kuala Lumpur,” ungkap Ogie.
Fenomena Freak tak bisa dilepaskan dari konteks Bandung sebagai kota kreatif. Dari Mocca hingga The S.I.G.I.T, dari Pure Saturday hingga Rosemary, Bandung telah melahirkan banyak nama besar. Tapi lebih dari itu, Bandung adalah ekosistem, tempat di mana anak muda bisa bereksperimen, gagal, bangkit, dan terus mencipta.
Generasi muda Bandung hari ini tumbuh dalam lanskap yang berbeda. Mereka lebih digital, lebih cepat, tapi tetap haus akan ruang ekspresi. Gigs komunitas, studio rumahan, dan label independen masih menjadi tulang punggung. Musik tetap menjadi medium untuk menyuarakan keresahan, identitas, dan mimpi.
Freak hadir sebagai pengingat bahwa konsistensi dan keberanian adalah kunci. Mereka bukan band yang mengejar viralitas, tapi band yang percaya bahwa karya adalah kontribusi.
“Di sini kontribusi kita sebagai pemusik bikinlah karya supaya setidaknya kita bisa meluapkan apa yang ada di pikiran kita. Mudah-mudahan sih ada orang yang mendengar dan setuju membuat pergerakan,” pungkas Ogie.
Alternatif fashion skena musik atau UMKM serupa: