AYOBANDUNG.ID - Seni tari jaipong adalah satu dari sekian karya orisinal yang lahir dari kreativitas masyarakat Sunda. Tapi seperti halnya bayi yang lahir dari dua rahim, jaipong tumbuh besar di tengah silang sengkarut klaim dan polemik soal siapa yang pertama menciptakan, siapa yang membesarkan, dan dari mana sebenarnya ia berasal: Karawang atau Bandung?
Tarian yang kini kerap mewakili wajah budaya Jawa Barat di pentas nasional hingga mancanegara itu ternyata memiliki sejarah panjang yang tak selalu harmonis.
Peneliti dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat, Rosyadi, menyebut bahwa asal-usul jaipong tidak bisa dilepaskan dari dua tokoh: H. Suwanda dari Karawang dan Gugum Gumbira dari Bandung.
H. Suwanda adalah seorang juru kendang yang dikenal andal. Ia menciptakan jaipong sekitar tahun 1976 di Padepokan Suwanda Group, Karawang. Dalam wawancaranya dengan Rosyadi, Suwanda mengatakan:
“Jaipong adalah asli ciptaan saya yang diciptakan pada tahun 1976 di padepokan ini. Ketika itu saya masih cerdas, saya coba meramu dari tepak-tepak gendang ketuk tilu, wayang, kendang penca, doger, banjet, dan bahkan tarling. Semua kesenian itu saya ramu yang kemudian melahirkan seni jaipong,” tulis Rosyadi dalam Menelusuri Asal Usul dan Perkembangan Kesenian Jaipong.
Baca Juga: Hikayat Dinasti Sunarya, Keluarga Dalang Wayang Golek Legendaris dari Jelekong
Suwanda kemudian menyebarkan jaipong melalui rekaman-rekaman kaset tanpa label. Meski sederhana, distribusi itu cukup untuk membuat Karawang gegap gempita oleh musik dan tarian baru bernama jaipong. Ia jadi seni pertunjukan rakyat alternatif, melengkapi tradisi lama seperti ketuk tilu, topeng banjet, dan pencak silat.
Tak lama setelahnya, Suwanda diminta bergabung dengan Jugala Group di Bandung, yang dipimpin oleh Gugum Gumbira, seniman tari yang punya kepiawaian sebagai koreografer. Bersama-sama mereka mengemas jaipong ke dalam bentuk yang lebih kompleks: lebih dinamis, lebih terstruktur, dan siap tampil di atas panggung besar.
Dalam pandangan Suwanda, Gugum Gumbira-lah yang berhasil mengangkat jaipong ke level seni pertunjukan profesional:
“Dengan keahliannya dalam bidang koreografi, Gugum Gumbira menciptakan beberapa tarian jaipong. Akhirnya kerja sama saya dengan Gugum Gumbira mampu mengangkat jaipong menjadi kesenian Sunda yang sangat populer, bukan hanya di dalam negeri, melainkan telah memancanegara.”
Polemik Soal Siapa Penciptanya
Dari sinilah tarik-menarik klaim dimulai. Suwanda merasa sebagai pencipta awal jaipong. Tapi banyak yang mengenal jaipong dari tangan Gugum Gumbira. Gugum-lah yang memodifikasi jaipong menjadi tari kreasi yang rapi, dengan pola koreografi yang bisa diajarkan dan diduplikasi di sanggar-sanggar tari.
Tarian seperti Daun Pulus Keser Bojong dan Rendeng Bojong muncul dari kreativitas Gugum. Awalnya dianggap erotis dan vulgar karena gerakannya, lama-kelamaan jaipong diterima dan bahkan dielu-elukan. Dalam hal ini, Suwanda memainkan musiknya, Gugum membentuk koreografinya.
Baca Juga: Hikayat Sunda Empire, Kekaisaran Pewaris Tahta Julius Caesar dari Kota Kembang
Jaipong seolah lahir dua kali: pertama di Karawang, sebagai bentuk ekspresi rakyat, kedua di Bandung sebagai seni pertunjukan modern. Gaya kendang dari Suwanda disusun ulang oleh Gugum dalam pola-pola yang lebih struktural, dan digunakan untuk mengiringi tari jaipong di panggung-panggung seni yang lebih formal.
Keduanya bahkan sempat tampil bersama ke Jerman pada 1984.
“Saya bersama rombongan manggung di beberapa kota di Jerman. Ternyata orang luar negeri sangat menghargai kesenian kita. Mereka sangat antusias, ada beberapa di antaranya, ketika musik melantun turut serta ngibing, meskipun tidak sesuai dengan irama gendang,” kenang Suwanda.

Komersialisasi dan Kelestarian
Dalam panggung rakyat, jaipong bukan sekadar tari yang ditonton, tapi juga mengundang keterlibatan penonton. Jaipong adalah seni dengan “aksi dan reaksi”. Sang penari perempuan menampilkan tarian, sedangkan laki-laki dari kalangan penonton, disebut bajidor, turut menari di atas panggung.
Bajidor tak harus meniru gerakan penari perempuan. Ia bebas menari sesuai irama kendang, dalam batasan norma pertunjukan. Interaksi antara penari dan penonton menciptakan suasana egaliter dan meriah.
Pertunjukan yang memfasilitasi hiburan pribadi semacam ini umum terjadi di Indonesia. Jaipong menjadi media komunikasi antarpenari dan penonton yang melampaui sekadar tontonan, tapi juga menjadi partisipasi aktif.
Baca Juga: Jejak Bandung Baheula: Dari Dusun Sunyi hingga Kota yang Heurin Ku Tangtung
Jaipong mengalami transformasi seiring waktu. Dari musik iringan sederhana, kini jaipong tampil dengan tata musik modern, kostum pentas beraneka rupa, hingga pencahayaan yang dramatis. Komposisi seperti Serat Salira dan Randa Ngora jadi ikon dalam versi jaipong Bandung.
Gerakan modernisasi membawa jaipong masuk hotel, pub, dan acara-acara protokoler pemerintah. Banyak sanggar tumbuh. Banyak anak muda belajar jaipong sebagai identitas budaya lokal.
Tapi, perkembangan itu juga membawa risiko “pendangkalan”. Ketika bentuk pertunjukan terlalu disesuaikan dengan selera pasar, substansi artistiknya bisa terkikis. Di sisi lain, kemajuan teknologi memberi peluang bagi seniman untuk mengembangkan jaipong menjadi lebih adaptif terhadap zaman. Jaipong menjadi contoh seni tradisi yang berhasil menyerap pengaruh luar tanpa kehilangan akarnya.

Kisah jaipong adalah cerita tentang persilangan antara akar dan daun. Antara asal-usul dan modernitas. Antara suara kendang kampung dan panggung pertunjukan dunia. Meskipun kemunculannya diwarnai polemik, sejarah mencatat bahwa jaipong adalah buah kerja sama dua tokoh: H. Suwanda dengan kendangnya dan Gugum Gumbira dengan koreografinya.
Keduanya bukan saingan, tapi sepasang tangan yang melahirkan dan membesarkan anak budaya bernama jaipong.
Kini, jaipong tak lagi sekadar seni lokal. Ia telah menjadi simbol budaya Sunda, dan sering digunakan untuk menyambut tamu-tamu kenegaraan. Bahkan tak tertutup kemungkinan, jaipong suatu saat didaftarkan ke UNESCO sebagai warisan budaya takbenda milik Indonesia.
Tapi agar tetap hidup, jaipong harus terus dipelihara, bukan hanya dipentaskan. Ia harus diturunkan pada generasi muda, diajarkan di sekolah, didiskusikan di ruang budaya, dan dirawat di dalam hati mereka yang percaya bahwa budaya tak lahir dari klaim, melainkan dari cinta dan kerja keras.