AYOBANDUNG.ID - Bandung pada abad ke-17 berawal dari dusun sunyi berisi 30 keluarga. Bagaimana kota ini berubah jadi pusat urbanisasi yang heurin ku tangtung?
Jauh sebelum dikenal sebagai “Parijs van Java” atau kota kreatif seperti sekarang, Bandung hanyalah permukiman kecil yang bahkan belum pantas disebut desa. Pada 1641, catatan Julian de Silva menyebut hanya terdapat 25 hingga 30 keluarga yang mendiami kawasan ini. Informasi ini diangkat oleh Haryoto Kunto dalam bukunya Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Haryoto menduga, Julian bisa jadi adalah orang Eropa pertama yang menjelajah wilayah ini.
Tanpa jalan utama dan jauh dari pusat kekuasaan kolonial di Batavia, Bandung hidup dalam kesunyian. Segala perubahan baru terjadi lebih dari satu setengah abad kemudian, saat Gubernur Jenderal Daendels membangun Jalan Raya Pos pada awal 1800-an. Meski begitu, jalan raya itu belum langsung membuat Bandung ramai.
Di tahun 1852, luas wilayah Bandung kurang dari 5 kilometer persegi. Untuk melihat keseluruhan “desa”, pengunjung perlu naik ke perbukitan terlebih dahulu. Dari ketinggian, terlihat hamparan kebun kopi yang rapi, dipisahkan oleh pagar alami berupa tanaman kembang sepatu. Gambaran ini datang dari Charles Walter Kinloch, warga Inggris keturunan Bengal yang singgah ke Bandung pada pertengahan abad ke-19.
Kegiatan utama masyarakat Bandung kala itu adalah berkebun kopi. Hampir seluruh wilayah ditanami pohon kopi, menjadikan tanaman ini bukan hanya komoditas, tetapi juga bagian dari lanskap sehari-hari.

Tapi, bukan hanya kopi yang mendominasi hidup orang Bandung tempo dulu. Kawasan ini juga menjadi arena perburuan hewan liar. Pada 1858, hanya dalam waktu empat jam, 49 rusa diburu dalam satu sesi. Ukurannya tak main-main, disebut setara dengan rusa merah Skotlandia. Ketika musim berburu tiba, yakni September hingga Oktober, hasil tangkapan bisa mencapai ratusan ekor per hari.
Walau hidup di lingkungan yang masih liar, catatan kolonial menyebut masyarakat Bandung hidup cukup layak. Dalam pengamatan James William Bayley Money dalam bukunya Java, or How to Manage a Colony, tak tampak adanya pengemis di jalanan. “Kami tidak melihat satu pun pengemis selama tinggal di pulau ini,” tulisnya. Entah karena alasan sosial, budaya, atau keseimbangan ekonomi lokal, yang jelas kemiskinan ekstrem tampak absen dari wilayah ini.
Transformasi Bandung: Dari Dusun ke Ibu Kota Keresidenan
Perubahan besar bagi Bandung terjadi pada 1864, ketika pemerintah kolonial memindahkan ibu kota Keresidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung. Pemindahan ini menandai dimulainya transformasi Bandung menjadi pusat administrasi, yang perlahan mengundang infrastruktur baru dan meningkatkan statusnya dalam peta Hindia Belanda.
Sejak itu, pembangunan mulai menggeliat. Pertokoan dan perkantoran bermunculan di sekitar Jalan Braga dan Jalan Raya Pos. Lalu, pada 17 Mei 1884, jalur kereta api Batavia–Bandung diresmikan. Jalur ini menjadi kunci penting mobilitas, memudahkan masuknya pendatang dan investasi.
Tak lama kemudian, nama Bandung masuk dalam panduan wisata internasional. Buku Guide Through Netherlands India yang terbit pada 1911 bahkan merekomendasikan penginapan di Hotel Homann dan kunjungan ke tempat-tempat seperti Curug Dago, Kawah Putih, hingga Telaga Patengan. Bandung resmi masuk radar pelancong asing.
Hanya dalam beberapa dekade, Bandung berubah dari dusun sunyi menjadi kota tujuan. Tahun 1901, jumlah penduduknya baru sekitar 29 ribu jiwa. Lima tahun kemudian, naik menjadi lebih dari 38 ribu. Pada 1930, populasinya sudah melewati angka 1,2 juta.
Pergerakan manusia ke Bandung menjadi fenomena urbanisasi awal di Pulau Jawa. Menurut Edi S. Ekadjati, Bandung bersama Jakarta, Jatinegara, Karawang, dan Sukabumi menjadi titik utama perpindahan penduduk dari desa ke kota. Kota yang dulu dihuni puluhan keluarga ini, kini mulai heurin ku tangtung.