Sejarah Bandung jadi Pusat Tekstil, Serambi Kota Dolar yang Tergerus Zaman

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Minggu 21 Des 2025, 15:16 WIB
Textiel Inrichting Bandoeng (TIB) tahun 1925-an. (Sumber: KITLV)

Textiel Inrichting Bandoeng (TIB) tahun 1925-an. (Sumber: KITLV)

AYOBANDUNG.ID - Jika Inggris di masa lampau memulai apa yang disebut sebagai revolusi industri, maka Bandung menjadi embrio bagi epos revolusi tekstil wangsa kompeni. Bedanya, revolusi di sini tidak digerakkan mesin uap, melainkan alat tenun yang bunyinya keras tetapi murah hati kepada para pengrajin. Dari lembaga bernama Textiel Inrichting Bandoeng (TIB), tradisi tenun yang tadinya berjalan lambat seperti sungai musim kemarau mendadak mengalir deras hingga Majalaya berubah jadi ladang uang berputar.

Revolusi kecil-kecilan itu tentu tidak lahir sendirian. Ada mata-mata kolonial yang sejak awal melihat Bandung sebagai tempat yang pas untuk bereksperimen dengan benang dan kayu. Kota ini sudah punya bakat lama dalam hal tenun, ditambah udara sejuk yang membuat para teknisi betah berlama-lama di bengkel percobaan. Maka ketika pemerintah kolonial mulai gelisah melihat pasar dibanjiri kain impor, Bandung pun menjadi kandidat utama untuk dijadikan dapur teknologi tekstil baru.

TIB berdiri pada 1 April 1922. Tanggalnya memang terdengar seperti hari orang di Eropa biasa saling mengerjai, tapi lembaga ini sama sekali tidak sedang bercanda. Pemerintah Hindia Belanda sedang pusing dengan kenyataan bahwa kain-kain impor menguasai pasar. Masyarakat Nusantara punya tradisi tenun, tetapi teknologinya lambat, kapasitas produksinya kecil, dan suaranya masih didominasi gedogan yang memerlukan tenaga sabar setengah dewa. Maka para pejabat kolonial berpikir: mengapa tidak membuat pusat pelatihan, riset, dan pengembangan tekstil di satu tempat yang punya tradisi tenun, udara sejuk, dan tenaga kerja yang siap dilatih?

Baca Juga: Hikayat Paseh Bandung, Jejak Priangan Lama yang Diam-diam Punya Sejarah Panjang

Pilihan jatuh ke Bandung. Sekali lagi, bukan kebetulan. Kota ini sedari dulu punya talenta dalam hal tekstil, terutama karena hubungan eratnya dengan pusat-pusat pembuatan kain di Priangan Timur. Dengan alasan yang cukup masuk akal itu, TIB pun lahir dan membuka buku sejarah baru.

Periode awal abad ke-20 bukan masa mudah. Impor kain dari Eropa menenggelamkan peluang lokal, dan pasar Nusantara dibanjiri produk asing. Tapi di sinilah TIB memainkan kartu terbaiknya. Seorang insinyur bernama Gerrit Dalenoord didatangkan untuk memimpin lembaga ini. Dalenoord ini tipe teknisi yang tidak suka duduk diam. Ia sudah bermain-main dengan eksperimen tenun sejak sebelum TIB berdiri resmi. Dua tahun lebih awal ia sudah sibuk mencoba-coba model alat tenun yang lebih praktis.

TIB diberi tiga tugas besar: membina industri tekstil rakyat, mencetak tenaga ahli tekstil, dan mengembangkan teknologi tenun yang lebih waras dan lebih cepat dibanding gedogan yang hanya bersandar pada punggung dan kaki penenun. Untuk mewujudkannya, TIB membuka kursus bagi calon penyuluh tekstil. Dari sini lahir generasi baru yang bisa bicara soal tenun bukan dari warisan keluarga, tetapi dari pelatihan ilmiah.

Tahun 1928, empat perempuan muda dari Majalaya dikirim ke Bandung. Namanya Emas Mariam, Endah Suhaenda, Oya Rohana, dan Cicih. Mereka belajar menggunakan alat tenun semi otomatis yang tidak pakai listrik. Sekembalinya ke Majalaya, mereka membawa pengetahuan yang membuat kampungnya berubah pelan-pelan jadi pabrik besar. Dari tangan mereka, Majalaya tumbuh menjadi salah satu sentra tekstil paling bergairah di tanah air, kota yang suatu hari mendapat julukan Dollar City karena uang yang berputar terasa seperti mesin cetak dolar mini.

Baca Juga: Sejarah Cicalengka, Gudang Kopi Kompeni dengan Sejuta Cerita di Ujung Timur Bandung

Tapi, kontribusi TIB yang paling monumental bukan empat perempuan itu, melainkan benda kayu besi yang bunyinya nyaring dan bentuknya tidak terlalu menakutkan: Alat Tenun Bukan Mesin atau ATBM. Di sinilah sejarah industri tekstil Indonesia seperti menemukan akselerasinya sendiri.

Perkakas ATBM adalah inovasi yang lahir dari eksperimen panjang sejak 1912. Berbeda dengan gedogan, ATBM punya rangka lebih stabil, memungkinkan penenun duduk layak, bukan berselonjor seperti hendak berdoa. Tidak butuh listrik, cukup tenaga tangan dan kaki. Ia murah, sederhana, dan tahan banting. Harga satu unit ATBM lengkap sekitar 50 gulden pada zaman itu, setara pendapatan tahunan keluarga miskin. Tapi karena murahnya relatif bagi pengrajin, ATBM menjadi primadona baru. Produksi kain meningkat drastis, kualitasnya naik, lebarnya bertambah, dan konsistensinya jauh lebih baik.

Pelatihan ATBM dilakukan besar-besaran. TIB menyediakan alatnya, mengajarkan cara pakai, cara rawat, hingga cara mengolah motif. Tidak heran, teknologi ini menyebar bak kabar gosip di pasar kecamatan: cepat, merata, dan kadang disertai cerita-cerita versi dramatis.

Baca Juga: Hikayat Banjaran, dari Serambi Priangan ke Simpang Tiga Zaman Bandung

Ketika The Great Depression alias Depresi Besar melanda dunia pada 1929, para produsen Belanda keteteran. Produk tekstil Jepang yang lebih murah membanjiri pasar. Namun justru di saat itulah produksi lokal mulai naik daun. Banyak orang kehilangan pekerjaan lalu beralih ke industri tenun kecil setelah mendapat pelatihan dari TIB. Dari hasil pelatihan itu lahir ratusan hingga ribuan industri rumah tangga baru. Pada 1930, jumlah ATBM di Jawa hanya ratusan. Tapi di awal 1940-an jumlahnya melonjak sampai puluhan ribu. Ini bukan sekadar statistik; ini bukti bahwa Bandung dan sekitarnya sedang berubah menjadi pabrik besar tak resmi.

Di masa itu, seorang dapat melihat tetangga yang dulunya petani berubah menjadi penenun yang sibuk. Suara ATBM menjadi bagian dari irama hidup. Tak sedikit keluarga lebih mengenal pekerjaan menenun daripada bercocok tanam. Pabrik-pabrik kecil bermunculan, dan Bandung semakin kuat posisinya sebagai kota tekstil.

Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) milik salah satu pengusaha di Majalaya. (Sumber: Wikimedia)
Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) milik salah satu pengusaha di Majalaya. (Sumber: Wikimedia)

Kedatangan Jepang pada 1942 membuat banyak lembaga kolonial berganti nama, termasuk TIB. Nama barunya panjang dan terdengar seperti judul dokumen militer, tetapi fungsinya tetap mirip: mendukung industri tekstil agar kebutuhan perang terpenuhi. Meski tujuan bergeser, aktivitas pelatihan dan produksi tidak berhenti. Alat tenun tetap berdenting, meski suasana kota tidak lagi seceria sebelumnya.

Setelah kemerdekaan, TIB kembali berubah. Pemerintah Belanda sempat mengambil alih lagi dan mengganti namanya menjadi Textiel Inrichting en Batik Proefstation. Tapi setelah pengakuan kedaulatan, lembaga itu diserahkan ke pemerintah Indonesia. Namanya berubah lagi, menjadi Balai Penerangan Pertenunan dan Pembatikan, lalu Balai Penyelidikan Tekstil. Kepemimpinannya pun silih berganti, mengikuti dinamika politik dan industri.

Baca Juga: Sejarah Lembang, Kawasan Wisata Primadona Bandung Sejak Zaman Kolonial

Perubahan besar terjadi pada 1954 dengan didirikannya Kursus Tekstil Tinggi. Lembaga ini menjadi cikal bakal pendidikan tinggi tekstil di Indonesia. Dan seperti industri yang terus bergerak maju, pendidikan pun ikut berubah. Pada 1964, lahir Perguruan Tinggi Ilmu Tekstil. Dua tahun kemudian, terjadi peleburan besar-besaran yang melahirkan Institut Teknologi Tekstil. Ini masa ketika Bandung benar-benar menjadi universitas hidup bagi dunia tekstil Nusantara.

Perjalanan panjang lembaga-lembaga ini akhirnya mengerucut menjadi dua institusi besar pada 1979: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Tekstil serta Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil. Keduanya masih eksis hingga kini dengan nama berbeda. Balai penelitian kini menjadi Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Tekstil, sementara sekolahnya bertransformasi menjadi Politeknik STTT Bandung.

Jika orang bertanya mengapa Bandung begitu kuat sebagai pusat tekstil, jawabannya adalah karena kota ini punya warisan lengkap, dari alat tenun tradisional sampai laboratorium digital untuk simulasi mesin tenun berbasis Industri 4.0.

Di Jalan Ahmad Yani, gedung tua peninggalan kolonial masih berdiri. Di sanalah balai penelitian tekstil terus beroperasi, menjaga mutu industri yang semakin modern. Sementara itu, kampus Politeknik STTT mencetak tenaga ahli tekstil dan mode yang tidak hanya pandai menggambar pola, tetapi juga paham soal kimia benang, kekuatan serat, sampai rekayasa fabrik buatan.

Baca Juga: Sejarah Bandung dari Paradise in Exile Sampai jadi Kota Impian Daendels

Dari kampung-kampung tenun Majalaya sampai laboratorium negeri yang memajang mesin digital, Bandung punya ekosistem yang sulit disaingi. Kota ini bukan cuma tempat lahirnya inovasi tekstil, tetapi pusat di mana tradisi dan teknologi saling menjahit satu sama lain.

Sekarang tekstil Bandung sudah terpogoh-pogoh, kalah saing dari Tiongkok dan juga sering dituding jadi biang kerok pencemar Citarum. Nasibnya mirip pegawai senior yang masih datang paling pagi tapi gajinya kalah dari anak magang. Industri yang dulu membuat Majalaya dipanggil Dollar City itu kini sibuk membuktikan bahwa mereka masih hidup. Mesin-mesin baru berdatangan, tapi bayang-bayang masa jaya tetap lebih nyaring daripada bunyi ritme produksi hari ini. Seperti benang kusut, geliatnya tetap ada, hanya saja tak lagi segesit dulu.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 21 Des 2025, 17:21 WIB

Dari Cafe ke Hiking: Kini Menjelajah Alam Jadi Hobi Baru Anak Muda

Hiking kini menjadi hobi baru anak muda saat ini, terutama Tebing Keraton yang menawarkan jalur pendakian dan keindahan alam.
Kabupaten Bandung, Sabtu (25/10/2025).Pengunjung sedang berjalan menyusuri jalur utama menuju kawasan wisata Tebing Keraton di Kecamatan Cimenyan. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Muhammad Naufal)
Ayo Jelajah 21 Des 2025, 15:16 WIB

Sejarah Bandung jadi Pusat Tekstil, Serambi Kota Dolar yang Tergerus Zaman

Denting alat tenun mengubah Majalaya menjadi pusat tekstil kolonial yang hidup dari kampung ke pabrik. Sayangnya kejayaan sejarah ini kini tergerus zaman.
Textiel Inrichting Bandoeng (TIB) tahun 1925-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 21 Des 2025, 14:39 WIB

Strategi Jeda untuk Menguasai Audiens dalam Public Speaking

Gunakan teknik 'Strategic Pause' agar public speaking kamu semakin jago dan bikin kamu terlihat berwibawa.
Potret aktivitas public speaking.  (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 21 Des 2025, 13:04 WIB

Pengolahan Sampah Organik dengan Maggot Jadi Solusi di Cigending

Pemanfaatan maggot dapat menjadi solusi jangka panjang dalam menciptakan lingkungan Cigending yang lebih bersih dan sehat.
Rumah Maggot di Kelurahan Cigending. (Dokumentasi penulis)
Ayo Netizen 21 Des 2025, 12:14 WIB

Momen Improvisasi yang Menyelamatkan Teater Malam Itu

Teater Pena Jurnalistik membawakan pertunjukan berjudul Para Pencari Loker.
Sejumlah pemain Teater Pena mebawakan adegan dibawah lampu sorot, disaksikan para penonton di Bale Teras Sunda, Senin (7/12/2025). (Sumber: Dokumen Pribadi | Foto: Saskia Alifa Nadhira)
Ayo Netizen 21 Des 2025, 09:44 WIB

Kesenjangan Ruang Publik Bandung Hambat Aktivitas Mahasiswa

Artikel ini menjelaskan mengenai pandangan seorang mahasiswi asal Bandung mengenai ruang publik di Bandung.
Suasana salah satu Ruang Publik di Bandung, Taman Saparua pada pagi hari Sabtu, (29/11/2025). (Foto: Rasya Nathania)
Ayo Netizen 21 Des 2025, 08:47 WIB

Alih Fungsi Tugu Simpang Diponegoro Citarum pada Malam Hari, Menyimpang atau Membantu UMKM?

Keresahan warga terhadap penertiban area Pusdai, apakah lamgkah yang efektif atau tidak?
Suasana di tugu Jl Diponegoro dan Jl Citarum pada malam hari, Senin 1 Desember 2025 pukul 1 dini hari (Sumber: Dokumentasi penulis | Foto: Mazayya Ameera Aditya)
Ayo Netizen 21 Des 2025, 08:21 WIB

Es Krim Yogurt Tianlala Bikin Cibiru Kota Bandung Makin Kekinian

Hadirnya Tianlala di kawasan Cibiru menambah warna baru dalam tren kuliner Bandung Timur.
 (Sumber: Tianlala.id)
Ayo Netizen 21 Des 2025, 06:54 WIB

Di Ujung Tombak Pengabdian: Menata Beban RT RW demi Harmoni Warga

Dalam hal implementasi program, tidak jarang pada praktiknya RT RW mengeluarkan dana pribadi untuk menutupi kekurangan pendanaan dalam pelaksanaan program
Pelantikan Forum RT RW Periode (2025-2027) Kecamatan Panyileukan Kota Bandung (Sumber: Humas Kecamatan Panyileukan)
Ayo Biz 20 Des 2025, 22:19 WIB

Ketika Seremoni Berubah Menjadi Aksi Nyata Menyelamatkan Hutan

Menanam pohon bukan hanya simbol, melainkan investasi untuk generasi mendatang. Pohon yang tumbuh akan menjadi pelindung dari bencana, penyerap karbon, dan peneduh bagi anak cucu kita.
Menanam pohon bukan hanya simbol, melainkan investasi untuk generasi mendatang. Pohon yang tumbuh akan menjadi pelindung dari bencana, penyerap karbon, dan peneduh bagi anak cucu kita. (Sumber: Ist)
Beranda 20 Des 2025, 13:46 WIB

Mobilitas Kota Bandung Belum Aman bagi Kaum Rentan, Infrastruktur Jadi Sorotan

Dalam temuan B2W, di kawasan Balai Kota, Jalan Aceh, dan Jalan Karapitan, meskipun telah tersedia jalur sepeda, hak pesepeda kerap ditiadakan.
Diskusi Publik ā€œRefleksi Mobilitas Bandung 2025ā€ di Perpustakaan Bunga di Tembok (19/12/2025) (Sumber: ayobandung.id | Foto: Halwa Raudhatul)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 21:14 WIB

Sate Murah di Tikungan Jalan Manisi, Favorit Mahasiswa Cibiru

Sate dengan harga yang murah meriah dan rasa yang enak serta memiliki tempat yang strategis di sekitar wilayah Cibiru.
Dengan harga Rp20.000, pembeli sudah mendapatkan satu porsi berisi 10 tusuk sate lengkap dengan nasi. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 20:24 WIB

Hidup Selaras dengan Alam, Solusi Mencegah Terjadinya Banjir di Musim Penghujan

Banjir menjadi salah satu masalah ketika musim hujan telah tiba, termasuk di Kota Bandung.
Salah satu dampak dari penurunan permukaan tanah adalah banjir seperti banjir cileuncang di Jalan Citarip Barat, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung, Rabu 28 Februari 2024. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al- Faritsi)
Ayo Jelajah 19 Des 2025, 19:15 WIB

Sejarah Jatinangor, Perkebunan Kolonial yang jadi Pabrik Sarjana di Timur Bandung

Jatinangor pernah hidup dari teh dan karet sebelum menjelma kawasan pendidikan terbesar di timur Bandung.
Jatinangor. (Sumber: sumedangkab.go.id)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 18:09 WIB

Abah, Buku Bekas, dan Denyut Intelektual

Mahasiswa lintas angkatan mengenalnya cukup dengan satu panggilan Abah. Bukan dosen, staf, bukan pula pustakawan kampus.
Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 16:01 WIB

Maribaya Natural Hotspring Resort: Wisata Alam, Relaksasi, dan Petualangan di Lembang

Maribaya Natural Hotspring Resort menawarkan pengalaman wisata alam dan relaksasi di tengah kesejukan Lembang.
Maribaya Lembang. (Sumber: Dokumen Pribadi)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 15:13 WIB

Bukit Pasir sebagai Benteng Alami dari Hempasan TsunamiĀ 

Sand dune yang terbentuk oleh proses angin dan gelombang dapat mengurangi efek tsunami.
Teluk dengan pantai di selatan Jawa Barat yang landai, berpotensi terdampak hempasan maut tsunami. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: T. Bachtiar)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 14:22 WIB

Jualan setelah Maghrib Pulang Dinihari, Mi Goreng ā€˜Mas Sam’ Cari Orang Lapar di Malam Hari

Mengapa mesti nasi goreng ā€œMas Iputā€? Orangnya ramah.
SAM adalah nama sebenarnya, tapi para pelanggannya telanjur menyebutnya ā€œMas Iputā€. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 14:12 WIB

5 Hidden Gem Makanan Manis di Pasar Cihapit, Wajib Dicoba Saat Main ke Bandung!

Semuanya bisa ditemukan dalam satu area sambil menikmati suasana Pasar Cihapit.
Salah satu tempat dessert di Pasar Cihapit, yang menjadi tujuan berburu makanan manis bagi pengunjung. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 12:57 WIB

Twig CafƩ Maribaya: Tempat Singgah Tenang dengan Pemandangan Air Terjun yang Menyegarkan Mata

Suasana Cafe yang sangat memanjakan mata dan pikiran lewat pemandangan nyata air terjun yang langsung hadir di depan mata.
Air terjun yang langsung terlihat dari kafe. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)