AYOBANDUNG.ID - Nafasnya tampak berat, dengan infus yang masih tertancap di tangannya. Raut wajahnya lelah, di antara tubuh yang sedang berjuang memulihkan tenaga sedikit demi sedikit. Sebut saja R, pasien yang privasinya mesti dijaga.
Tetesan infus deras mengalir, memberi secercah harapan atas kesehatan yang lebih baik untuknya. R tak banyak bergerak di atas ranjang putih di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr. Hasan Sadikin (RSHS), Jalan Pasteur, Kota Bandung, Selasa 28 Oktober 2025.
Pintu kamar pelan terbuka, seorang pramusaji (petugas gizi) datang membawa nampan berisi makanan hangat. Aroma sup perlahan semerbak memenuhi ruangan. Diletakkan pelan di meja pasien. Ada pisang, nasi, perkedel, dan sayur. Porsi 550-600 kalori cukup untuk memenuhi asupan gizi pasien lima jam ke depan.
Bagi R, makan siangnya adalah bagian penting dari proses penyembuhannya. Bisa jadi penentu antara hidup dan mati. Tak hanya soal rasa, tapi soal ketepatan kadar gizi yang akan membantunya lekas sehat dan pulih kembali.
“Setiap hari kami menyiapkan sekitar 900 porsi makanan untuk pasien rawat inap dengan spesifikasi kadar gizi berbeda-beda untuk setiap pasien,” ujar Kepala Instalasi Gizi RSUP Hasan Sadikin, Diah Widyastuti, saat ditemui di sela aktivitasnya.
Di bangun pada 1920 dengan nama Het Algemeene Bandoengsche Ziekenhuijs, RSUP Hasan Sadikin melayani sekitar 517.000 pasien per tahun dengan 191 klinik. Memiliki lebih dari 400 dokter spesialis dan subspesialis dan sekitar 1.200 perawat. Rumah sakit ini tepat berada di jantung Kota Bandung dengan luas lahan sekitar 8,5 hektare.
Menurut Diah, untuk memenuhi kebutuhan makan ratusan pasien, Instalasi Gizi RSUP Hasan Sadikin membagi menjadi tiga kelompok kerja (sif). Setiap sif terdiri atas 20 sampai 25 orang yang terdiri atas para ahli tata boga, ahli gizi, pramusaji, dan pekerja lainnya. Dalam sehari, dapur besar itu beroperasi nyaris tanpa henti dengan total pekerja 75 orang.
Sif malam menyiapkan sarapan, sif pagi untuk makan siang, dan sif siang untuk makan malam. Total ada 11 siklus menu dengan jenis makanan berbeda setiap harinya. Proses penyusunan menu pun dilakukan dengan sistem terkomputerisasi, terhubung antar-unit kerja.

“Memang rumit, tapi dengan dukungan peralatan dan tenaga ahli yang memadai, semua proses memasak berjalan lancar. Kami pun terbantu dengan penggunaan bahan bakar CNG (compressed natural gas) Gaslink yang disuplai oleh Pertamina,” kata dia.
Diah mengaku, sejak menggunakan Gaslink, proses memasak jauh lebih aman dan hemat. Sebelumnya, dapur tersebut menggunakan liquefied petroleum gas (LPG) dengan biaya bahan bakar sekitar Rp 350 juta hingga Rp 500 juta per tahun. Namun, seiring meningkatnya kebutuhan dan pertimbangan keamanan, pihak rumah sakit memutuskan untuk beralih menggunakan Gaslink.
CNG Gaslink merupakan gas cair padat yang bersumber dari gas alam yang terkompresi. CNG tersusun atas zat utama metana (CH4). Sifat CNG memiliki tekanan lebih stabil dan aman. Jika ada kebocoran di saluran kompor, gas mampu menguap dan melebur dengan cepat.
“Kalau semua proses di dapur lancar, pelayanan ke pasien pun ikut lancar. Energi yang bersih dan aman membuat kami bisa memasak tanpa khawatir soal keamanan atau gangguan teknis. Semua kami lakukan demi pasien yang sedang berjuang untuk sembuh,” imbuh Diah.
Penggunaan Gaslink di RSUP Hasan Sadikin terbilang baru seumur jagung, diresmikan pada Agustus 2025 lalu. RSHS menjadi salah satu rumah sakit di Indonesia yang akan mengkonversi secara bertahap dari penggunaan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar ke bahan bakar ramah lingkungan Gaslink yang disuplai PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) melalui anak usahanya PT Gagas Energi Indonesia (Gagas).
Khusus untuk memenuhi kebutuhan di dapur, konsumsi CNG di RSUP Hasan Sadikin diperkirakan mencapai 1.500 - 1.700 meter kubik (M3) per bulan. Sebelumnya, RSUP Hasan Sadikin menggunakan LPG 50 kg dengan banyak tabung yang harus disuplai setiap harinya.
“Perpindahan dari LPG ke CNG akan mendorong efisiensi anggaran, yang dari awalnya pengeluaran sekitar 350 juta hingga 500 juta per tahun, menjadi sekitar 200 juta rupiah per tahun,” kata Direktur Layanan Operasional RSUP Hasan Sadikin Andry Chandra.
Dia pun mengapresiasi komitmen Pertamina mendorong penggunaan energi bersih bagi setiap konsumennya. Pertamina secara terbuka memberikan masukan dan edukasi hingga sampai pada keputusan RSUP Hasan Sadikin melakukan konversi sumber energi dari minyak ke gas.
Menurut Andry, Gaslink diharapkan menjadi sumber energi yang andal dan efisien untuk mendukung operasional dapur rumah sakit yang berjalan 24 jam nonstop. Juga sejalan dengan komitmen rumah sakit mewujudkan layanan kesehatan ramah lingkungan, mendukung target pemerintah menuju net zero emission (NZE) 2060.
Transformasi Solar ke Gas Alam
Transformasi RSUP Hasan Sadikin menggunakan gas alam bukan sekadar angka efisiensi, tetapi denyut kehidupan dari nyala kompor di dapur hingga lampu operasi di ruang bedah. Secara bertahap, RSUP Hasan Sadikin akan menerapkan penggunaan Gaslink di semua lini. Selain dapur, instalasi boiler (pemanas air) dan genset yang masih menggunakan BBM jenis solar, akan diganti menggunakan CNG Gaslink.
Andry menyebutkan, konsumsi BBM solar di RSUP Hasan Sadikin rata-rata mencapai Rp 8 miliar per tahun. Solar digunakan untuk mengoperasikan genset, menyuplai panas pada mesin boiler, chiller, hingga fasilitas medis penting lainnya seperti magnetic resonance imaging (MRI) dan menyuplai listrik di ruang operasi.
“RS Hasan Sadikin ini adalah rumah sakit rujukan utama di Jawa Barat dengan biaya pengeluaran sangat besar. Anggaran untuk membeli solar dan LPG bisa mencapai Rp 8 miliar per tahun. Tapi dengan Gaslink, kami menargetkan efisiensi anggaran sampai sekitar Rp5 miliar saja,” ungkap dia.
Sebagai rumah sakit pendidikan dan rujukan nasional, RSUP Hasan Sadikin dituntut mampu memastikan suplai energi tidak boleh terputus sedikit pun. Genset harus selalu dalam kondisi siap pakai, bahkan dinyalakan secara berkala meski listrik PLN tidak padam. Hal ini penting untuk mendukung operasi medis, terutama pada ruang bedah dan unit perawatan intensif.
“Boiler kami bekerja 24 jam menghasilkan kebutuhan untuk air panas, dapur, sterilisasi, sampai laundry. Genset pun harus standby terus-menerus. Toleransi jika terjadi padam listrik hanya 8 sampai 15 detik. Itulah mengapa sistem energi kami harus double source dan andal,” jelasnya.
Menurut dia, peralihan dari BBM solar atau LPG ke Gaslink tidak membutuhkan tambahan anggaran baru. Sebagian dana yang sebelumnya dialokasikan untuk pembelian solar akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur Gaslink, seperti stasiun pengisian dan jaringan distribusi internal.
“Kami menggeser alokasi sekitar Rp2 miliar untuk pembangunan infrastruktur Gaslink. Bukan anggaran tambahan, tapi itu didapat dari efisiensi penggunaan solar. Artinya, kami melakukan investasi tanpa menambah beban keuangan,” tegasnya.
Proses pergantian instalasi diperkirakan memakan waktu sekitar tiga bulan. Jika semua proses berjalan sesuai rencana, skema efisiensi ini mulai dirasakan pada triwulan pertama 2026.
Udara Bersih di Kawasan Rumah Sakit
Peralihan menggunakan Gaslink bukan hanya soal penghematan, tetapi pilihan atas sumber energi yang lebih aman dan ramah lingkungan. Secara karakteristik, CNG lebih ringan dari udara. Jika terjadi kebocoran, gas akan cepat terurai ke atmosfer. Kandungan utama CNG yaitu metana (CH4) membuat proses pembakaran gas lebih sempurna. Buangan berupa emisi karbon dioksida, karbon monoksida, dan partikel polutan jauh lebih rendah.
CNG juga jenis gas tanpa kandungan timbal maupun sulfur, juga tidak menimbulkan asap hitam dan tidak mencemari udara, tanah, maupun air. Senyawa CH4 ini hanya mengandung 1 atom karbon dan 4 atom hidrogen yang ramah bagi manusia. Jika dibandingkan dengan BBM jenis solar dan bensin, CNG dapat menekan emisi hingga 25 persen.
Andry menjelaskan, penggunaan CNG juga sejalan dengan program RSUP Hasan Sadikin pengendalian emisi kendaraan dan tata udara sesuai standar rumah sakit internasional. Standar tersebut menjadi keniscayaan, melihat peran rumah sakit yang juga banyak menangani pasien gangguan pernapasan.
“Walaupun kami punya ruang isolasi bagi pasien dengan gangguan pernapasan, namun udara bersih di lingkungan rumah sakit adalah sebuah keniscayaan,” kata dokter yang sebelumnya bertugas di Kementerian Kesehatan RI di Jakarta.
Terlebih, RSUP Hasan Sadikin berada di tengah kota. Data menunjukkan, kualitas udara di Kota Bandung sepanjang 2025 berada pada level kurang sehat dengan rata-rata indeks kualitas udara (air quality index/AQI) sekitar 64. Kadar partikel halus PM2.5 mencapai 39 mikrogram per meter kubik, melebihi ambang batas aman yang ditetapkan World Health Organization (WHO). Bahkan, pada kasus April 2025, indeks polusi udara Bandung sempat menyentuh angka 158 yang tergolong tidak sehat.
Transformasi energi hijau di RSUP Hasan Sadikin juga masuk dalam master plan modernisasi. Pembangunan infrastruktur Gaslink dirancang menyatu dengan rencana redesain zona operasional di rumah sakit yang berusia lebih dari 100 tahun ini. RSUP Hasan Sadikin akan menjadi pionir rumah sakit di Indonesia yang mengimplementasikan energi bersih secara terintegrasi.
“Dalam master plan baru, jaringan distribusi gas yang bersumber dari energi panas bumi sudah kami desain dari awal. Ini bukan hanya proyek efisiensi, tapi investasi masa depan mendukung penggunaan energi ramah lingkungan,” pungkasnya.
RSUP Hasan Sadikin saat ini tidak hanya menjadi rumah sakit rujukan utama di Jawa Barat, tetapi juga menjadi pusat pelayanan kesehatan modern yang mengedepankan efisiensi energi, keselamatan pasien, serta keberlanjutan lingkungan.
Menurut Andry, dalam dua tahun terakhir, jumlah pasien meningkat signifikan di semua layanan. Kunjungan instalasi gawat darurat (IGD) mencapai lebih dari 100 pasien per hari. Rawat jalan sudah menembus lebih dari 2.000 pasien per hari. Tingkat keterisian rawat inap pun selalu di atas 80 sampai 90 persen.
“Artinya kepercayaan masyarakat semakin tinggi, dan kami wajib memastikan layanan tetap nyaman dan aman, termasuk dari sisi lingkungan. Ini bukan soal profit seperti korporasi. Namun setiap rupiah yang berhasil kami efisienkan, akan kembali ke layanan rumah sakit. Tidak ada yang diambil sebagai dividen tapi dikembalikan lagi untuk perbaikan fasilitas, alat canggih, modernisasi ruang perawatan, dan lainnya. Setiap rupiah dari efisiensi, akan dikembalikan ke pasien,” tegasnya.
Peningkatan layanan dan fasilitas RSUP Hasan Sadikin setidaknya akan meningkatkan indeks Kesehatan di Jawa Barat yang masih di angka 74,92. Di mana, sebagian besar pasien adalah peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-KIS. Fasilitas kesehatan yang memadai juga meningkatkan angka harapan hidup bagi masyarakat.
Diketahui, RSUP Hasan Sadikin menjadi rumah sakit pendidikan dengan layanan unggulan taraf internasional. Beberapa pusat layanan utama mencakup Kedokteran Nuklir dan Teranostik. Rumah sakit ini adalah satu-satunya rumah sakit yang memiliki pendidikan spesialis kedokteran nuklir di Indonesia.
RSUP Hasan Sadikin juga memiliki layanan bedah jantung terpadu. Layanan operasi jantung hampir dilakukan setiap hari dengan rata-rata dua pasien per hari. RSUP Hasan Sadikin juga memiliki pelayanan onkologi terpadu. Seluruh layanan penanganan kanker tersedia lengkap seperti kemoterapi, radioterapi, brachytherapy, hingga tomoterapi.
RSUP Hasan Sadikin juga tengah menyiapkan pembangunan cyclotron, yaitu reaktor nuklir mini untuk memproduksi radiofarmaka sendiri. Sebuah proses yang akan mempercepat diagnosa kanker dan menghemat biaya operasional dalam jangka panjang.
Perkuat Ekosistem Energi Bersih
Sejalan penggunaan CNG di RSUP Hasan Sadikin, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) memastikan kesiapan penuh dalam menjamin suplai gas bumi untuk RSUP Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Langkah ini menjadi bagian dari komitmen PGN dalam mendukung ketahanan energi nasional dan transisi menuju penggunaan energi yang lebih bersih dan efisien.
Sekretaris Perusahaan PT Perusahaan Gas Negara (PGN), Fajriyah Usman menjelaskan, kebutuhan energi untuk RSHS telah diperhitungkan dengan cermat, termasuk sistem distribusi dan cadangan gas alam yang disiagakan di lokasi.
“Untuk memastikan suplai gas bumi mencukupi kebutuhan harian RS Hasan Sadikin, kami telah memperhitungkan jumlah tabung yang disiagakan di lokasi, serta jadwal penukaran tabung secara berkala. Dengan total kebutuhan rata-rata sekitar 1.700 meter kubik per bulan, sistem ini menjamin ketersediaan energi yang stabil dan berkelanjutan untuk mendukung operasional rumah sakit setiap hari,” ujar Fajriyah.
Saat ini, selain RSUP Hasan Sadikin, PGN juga telah melayani sekitar enam rumah sakit lainnya di wilayah Tangerang, Surabaya, Sidoarjo, hingga Lampung.
“Penggunaan CNG di rumah sakit sangat membantu operasional 24 jam penuh dan mampu mengurangi biaya energi secara signifikan dibandingkan bahan bakar sebelumnya. Penghematan ini memungkinkan rumah sakit mengalihkan anggaran ke kebutuhan medis lainnya, sekaligus mendukung komitmen lingkungan yang lebih bersih,” jelasnya.
Menurut dia, secara nasional PGN telah melayani 3.298 pelanggan industri dan komersial, 2.644 pelanggan kecil atau UKM, serta lebih dari 814 ribu rumah tangga. PGN melakukan serapan gas bumi hingga 832 BBTUD. Selain itu, volume transmisi gas bumi mencapai 1.627 MMSCFD (Million Standard Cubic Feet per Day/Juta Kaki Kubik Per Hari).
“PGN terus menjaga operasional yang optimal demi ketersediaan gas bumi bagi pelanggan di seluruh Indonesia. Kami juga menjalin sinergi dengan pemerintah untuk memastikan keberlanjutan layanan gas bumi serta memperluas manfaatnya bagi masyarakat,” jelas Fajriyah.
PGN sebagai subholding gas Pertamina terus memperluas pemanfaatan gas bumi melalui berbagai inovasi, salah satunya skema beyond pipeline menggunakan CNG. Tujuannya memperluas akses energi bersih di wilayah yang belum terjangkau jaringan gas pipa. Sektor yang disasar di antaranya industri, transportasi, ritel, hingga rumah sakit.
“Kami terus melakukan pendekatan dan penjajakan ke berbagai sektor usaha, termasuk rumah sakit, untuk memperluas pemanfaatan gas bumi melalui skema beyond pipeline,” ujar dia.
Langkah strategis PGN dalam memperkuat ekosistem CNG saat ini tengah berjalan di beberapa wilayah, seperti Bandung, Batam, dan Medan. Di kota-kota tersebut, PGN menghadirkan energi yang lebih sustainable bagi sektor ritel dan transportasi.
Tahun ini, PGN Gagas membangun Mother Station CNG pertama di Medan dengan kapasitas 1 MMSCFD (barel setara minyak per hari), yang akan menjadi pusat distribusi utama gas bumi bagi wilayah Sumatera Utara. Selain itu, PGN juga tengah membangun LNG Hub berkapasitas 15.000 MMBTU di Bandung sebagai bagian dari penguatan infrastruktur beyond pipeline.
“Pembangunan infrastruktur ini ditujukan agar masyarakat semakin mudah mengakses gas bumi sebagai sumber energi bersih yang andal dan efisien,” jelasnya.
Menuju Net Zero Emission 2060
Langkah PGN memperluas jaringan distribusi gas bumi, sejalan dengan kebijakan energi nasional sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional. Melalui pengembangan infrastruktur Gaslink dan pemanfaatan CNG, PGN aktif mendukung target Net Zero Emission (NZE) 2060 yang dicanangkan pemerintah.
Komitmen PGN juga sejalan dengan Pertamina, sebagai induk holding energi dalam menjaga ketahanan energi nasional menggunakan strategi pertumbuhan ganda (dual growth strategy). Strategi tersebut mencakup peningkatan kapasitas produksi migas secara agresif sekaligus percepatan pengembangan energi rendah karbon yang ramah lingkungan.
Vice President (VP) Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fadjar Djoko Santoso menyatakan, langkah yang dilakukan anak usaha Pertamina merupakan bagian dari dukungan Pertamina terhadap Asta Cita Pemerintah untuk menjaga kemandirian energi nasional.
“Pertamina mendukung penuh ketahanan energi nasional yang diwujudkan dalam swasembada energi. Kami fokus meningkatkan kinerja bisnis migas dan secara paralel mengembangkan energi baru terbarukan,” ujarnya.
Pertamina, kata Fadjar, mendukung transisi menuju energi bersih. Misalnya dengan memperkuat pengembangan biofuel dan energi terbarukan, seperti produksi Sustainable Aviation Fuel (SAF) berbasis minyak jelantah dan implementasi Biodiesel 40 persen (B40) untuk sektor transportasi darat.
Pada sektor panas bumi, anak usaha Pertamina yakni PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) kini mengelola geothermal dengan kapasitas terpasang sebesar 727 megawatt (MW) dari enam wilayah operasi. “PGE menargetkan peningkatan kapasitas hingga 1 gigawatt dalam 2 hingga 3 tahun ke depan dan target 1,7 gigawatt pada 2034,” jelas Fadjar.
Tak hanya menghasilkan listrik hijau, Pertamina juga memasuki era hidrogen hijau. Melalui pilot project di Ulubelu, Pertamina mengembangkan green hydrogen secara end-to-end, mulai dari produksi, distribusi, hingga pemanfaatannya. Langkah ini sebagai tonggak penting dalam membangun ekosistem energi masa depan yang rendah karbon.
Di sisi lain, Pertamina juga terus meningkatkan lifting minyak dan gas (migas), melakukan eksplorasi sumur baru, hingga survei seismik untuk membuka peluang cadangan energi baru. Menurut Fadjar, langkah-langkah eksploratif ini terbukti memberikan hasil nyata dalam menambah sumber daya energi nasional.
Saat ini, total produksi migas Pertamina telah mencapai 1,04 juta barel setara minyak per hari (MBOEPD). Produksi tersebut terdiri dari 557 ribu barel minyak per hari dan 2.798 MMSCFD produksi gas.
“Kinerja hulu Pertamina terus meningkat dan memberikan dampak langsung terhadap ketahanan pasokan energi di Indonesia,” tambah Fadjar.
Tak hanya meningkatkan produksi, Pertamina juga berhasil memperkuat cadangan energi nasional. Sepanjang tahun ini, Pertamina memperoleh tambahan sumber daya 2C (contingent resources) sebesar 804 juta barel setara minyak (MMBOE) dan peningkatan cadangan migas terbukti (P1) sebesar 63 juta MMBOE. Tambahan cadangan ini menjadi pondasi penting bagi kemandirian energi jangka panjang Indonesia.
Fadjar menjelaskan, sejumlah proyek strategis Pertamina juga telah rampung dan siap mendukung peningkatan produksi nasional. Proyek tersebut antara lain pengembangan Stasiun Pengumpul Akasia Bagus (SP ABG) EP, Proyek Sisi Nubi, Proyek CEOR Lapangan Minas Area A Stage-1, serta pengembangan Lapangan OO-OX.
Pertamina saat ini terus memperluas inovasi teknologi berbasis dekarbonisasi di sektor migas. Salah satunya adalah penerapan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS). Teknologi ini tidak hanya berfungsi mengurangi emisi karbon, tetapi juga meningkatkan produksi minyak melalui metode Enhanced Oil Recovery (EOR).
“Dengan CCS/CCUS, CO2 dari proses produksi migas ditangkap dan disimpan kembali ke dalam lapisan bumi sehingga tidak dilepaskan ke atmosfer. Teknologi ini telah kami implementasikan di beberapa lapangan migas sebagai bentuk inovasi menuju operasi yang lebih hijau,” imbuh Fadjar. (*)

 
  
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
  