AYOBANDUNG.ID - Di balik riuhnya Jalan Braga dan Jalan Asia Afrika Bandung, berdiri sunyi sebuah monumen yang terlindung dari keramaian: bekas Penjara Banceuy. Lokasinya tak mencolok—tersembunyi di belakang ruko-ruko Kompleks Banceuy Permai, Jalan Banceuy—namun menyimpan jejak sejarah penting perjalanan bangsa. Di sinilah, pada akhir 1929, Soekarno bersama dua rekannya, Gatot Mangkupradja dan Maskun Sumadireja, menjalani hari-hari berat sebagai tahanan politik Hindia Belanda.
Tak banyak yang menyangka, di tempat sempit tak lebih dari 2x1,5 meter itulah Soekarno menggubah naskah pidato pembelaan legendarisnya: Indonesia Menggugat. Sebuah dokumen perlawanan yang kelak menjadi titik balik bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Penangkapan Bung Karno dan kawan-kawannya dimulai pada suatu subuh bulan Desember 1929. Kala itu mereka tengah berada di Yogyakarta dalam rangka kampanye politik Partai Nasional Indonesia (PNI). Tanpa banyak kata, aparat kolonial menculik mereka. Tak ada pengadilan. Tak ada peringatan. Hanya telegram rahasia dari pemerintah Hindia Belanda yang menyulut aksi itu.
Mereka dibawa dengan kereta gerbong tertutup menuju Bandung. Setelah turun di Stasiun Cicalengka, tubuh lunglai mereka diangkut dengan mobil menuju Penjara Banceuy—penjara paling tua dan paling sangar di kota itu, dibangun pada 1887 di wilayah yang dahulu dikenal sebagai Kampung Banceuy. Penjara itu biasanya ditempati para begal, rampok, dan penjahat berat. Kini, tiga tokoh pergerakan bangsa ikut menyicip dinding dingin dan pintu-pintu besi tempat para kriminal biasa menghuni.
Soekarno ditempatkan di sel nomor 5. Gatot menempati nomor 7, sementara Maskun di nomor 9. “Tidak ada perlengkapan lainnya kecuali tempat minum dari kaleng. Selain itu, ada pula kaleng segi empat untuk buang air besar dan kecil yang harus dibersihkan setiap pagi,” tulis Her Suganda dalam Jejak Soekarno di Bandung (2015).
Baca Juga: Wajit Cililin, Simbol Perlawanan Kaum Perempuan terhadap Kolonialisme
Sel sempit itu ia gambarkan pada Cindy Adams, penulis biografinya, seperti peti mati. “Aku adalah seorang yang biasa rapi dan pemilih,” ungkap Soekarno dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. “Aku adalah seorang yang suka memuaskan perasaan, menyukai pakaian bagus, makanan enak, mencintai sesuatu dan tidak dapat menahankan pengasingan kekotoran, kekakuan dan penghinaan-penghinaan keji yang tidak terhitung banyaknya dari kehidupan tawanan.”
Cicak, Kaleng, dan Surat Kabar Rahasia
Hari-hari Soekarno di penjara nyaris tanpa hiburan. Membaca surat kabar dilarang keras. Begitu pula aktivitas lain yang bisa membuatnya "terhibur". Di tengah kekosongan, Soekarno akhirnya menjalin "pertemanan" dengan cicak-cicak di dinding sel.
Kepada Cindy Adams, dia bercerita. “Makanan kami diantarkan ke sel. Jadi apabila cicak-cicakku berkumpul, aku pun memberinya makan. Kuulurkan sebutir nasi dan menantikan seekor cicak kecil merangkak dari atas loteng,” katanya. “Tentu ia akan merangkak turun di dinding, mengintip kepadaku dengan mata seperti butiran mutiara, kemudian melompat dan memungut nasi itu, lalu lari lagi.”

Tapi tak selamanya sunyi. Salah satu sipir penjara, yang merasa iba, mulai memperbolehkan Bung Karno membaca surat kabar. Diam-diam, ia diberikan koran De Preangerbode dan Sipatahoenan—surat kabar yang dipimpin Otto Iskandardinata dan memuat perkembangan terbaru PNI.
Dari situlah lahir jaringan "estafet koran" di antara para tahanan. Lewat seutas benang yang diselipkan di celah pintu besi dan dinding sel, Soekarno mengoper surat kabar itu ke sel Maskun. Maskun menarik ujung benangnya pelan-pelan, lalu mengirimkannya lagi ke sel berikutnya.
Koran itu akhirnya sampai ke sel nomor 11, tempat Suriadinata—seorang pemuda propagandis PNI dari Cianjur—ikut ditahan. Ketukan-ketukan kecil di dinding menjadi sandi. Kaleng-kaleng tempat buang hajat menjadi tempat sembunyi-sembunyi menyimpan naskah. Dari dalam sel yang katanya peti mati itu, mereka justru menyusun strategi hidup.
Dalam pengasingan itu pula, Soekarno mulai menyusun pidato pembelaannya. Sebuah dokumen panjang yang kelak dibacakan di depan hakim kolonial di Gedung Landraad, Bandung. Judulnya singkat, namun penuh makna: Indonesia Menggugat.
Pledoi ini bukan sekadar pembelaan. Bukan juga upaya merayu hukum kolonial agar membebaskannya. Sebaliknya, naskah itu adalah dakwaan balik: terhadap kolonialisme, terhadap ketidakadilan, dan terhadap kekuasaan asing yang mencengkeram negeri ini.
Tak mudah menyusun naskah seperti itu di balik jeruji besi. Bung Karno melakukannya dengan kertas yang diperoleh diam-diam, dan menyembunyikannya dengan hati-hati. Ia hafalkan bagian-bagian pentingnya karena sewaktu-waktu penjagaan bisa berubah menjadi represif lagi.
“Indonesia bukan sekadar nama. Indonesia adalah tanah air, Indonesia adalah rakyat, dan Indonesia adalah cita-cita merdeka yang tak bisa dibungkam,” begitulah semangat yang ia tanamkan dalam naskah itu.
Baca Juga: Batulayang Dua Kali Hilang, Direbus Raja Jawa dan Dihapus Kompeni Belanda
Ketika akhirnya hari persidangan tiba, Soekarno berdiri di ruang Landraad yang sesak oleh penjagaan dan para pengunjung. Ia membacakan Indonesia Menggugat dengan lantang dan penuh keyakinan. Naskah itu menggema, tak hanya di Bandung, tapi juga di seantero Hindia Belanda. Pers dan rakyat memperbincangkannya. Para aktivis menjadikannya sebagai pegangan.
Dan dunia tahu: Indonesia belum merdeka, tapi ia tak lagi bungkam.
Kini, Penjara Banceuy sudah tidak lagi berfungsi. Yang tersisa hanya satu bangunan kecil dan satu sel yang dulu ditempati Bung Karno: sel nomor 5. Di dalamnya kini berdiri patung Bung Karno berlapis cat emas, tengah memegang buku. Di sampingnya, terpajang kisah perjuangan dalam bentuk kronik visual dan tulisan.
Walaupun monumen kecil ini kalah pamor dibanding gedung-gedung tua di sekitar Braga dan Asia Afrika. Tapi ia menyimpan kisah yang lebih megah dari sekadar bata dan semen. Di dalam ruang sempit itu, lahir ide-ide besar. Di tempat yang disebut "peti mati", tumbuh semangat yang tak pernah mati.
Bung Karno memang pernah ditawan di Banceuy. Tapi pikirannya, seperti cicak-cicak kecil yang setia menemaninya, terus merayap ke luar. Menyeberangi jeruji, melompati dinding, lalu mengukir sejarah.