Pagi itu, langit sedikit mendung. Suara ayam berkokok. Saat sedang asyik membaca koran Pikiran Rakyat, tiba-tiba anak kedua Aa Akil, yang berusia 10 tahun, menghampiri dan bertanya, "Bah, ayo main hompimpa, endog-endogan, paciwit-ciwit lutung, atau punten mangga? Kan sudah lama tidak main!"
Tanpa berpikir panjang, kututup koran dan menjawab, “Hayu!”
“Hompimpa dulu ya, Bah,” kata Bocil kelas 5 dengan semangat.
Tak lama berselang, anak ketigaku, Kakang, yang baru berumur empat tahun, ikut-ikutan mendekat dan tak mau ketinggalan berkata, “Aku mau main, Bah!”
Ya disambut dengan hangat. Kendati masih kecil, Kakang terlihat antusias dan ingin ikut dalam permainan, terutama endog-endogan. Sebelum permainan tradisional (kaulinan barudak) dimulai, sepakat membuat peraturan. Siapa yang kalah harus diberi tanda di wajah menggunakan bedak (sari pohaci) atau lipstik. Yang wajahnya paling bersih di akhir permainan, dialah pemenangnya.
1...2...3... Permainan dimulai...
"Hompimpa Alaium Gambreng, Mak Ijah Pake Baju Rombeng, Balikeun! Anteurkeun! Balikeun! Sakali Jadi!"
Cara mainnya tidak sulit, pertama hanya perlu menggerakkan tangan ke kanan dan ke kiri saat mengucapkan kalimat "Hompimpa Alaium". Baru setelah mengucapkan atau mendengar kata "Gambreng", perlu memilih ingin mengeluarkan telapak tangan atau punggung tangan. Jika dari semua pemain hanya ada satu yang memilih bagian tangan yang berbeda, berarti pemain itulah pemenang dari "Hompimpa Alaium Gambreng". Nah, biasanya pemain yang menang tidak perlu mengikuti babak selanjutnya. Sebab, permainan akan terus berlanjut hingga menyisakan dua orang pemain saja.
Hompimpa alaium gambreng diambil dari bahasa Sansekerta yang memiliki arti positif yakni "dari Tuhan kembali ke Tuhan, ayo bermain". Selain sebagai simbol ketuhanan, Hompimpa ini memiliki nilai tentang musyawarah dalam permainan anak-anak.

Makna filosofi kalimat Hompimpa Alaium Gambreng dipercaya sebagai cara jitu nenek moyang kita untuk mendekatkan anak-anak kepada Tuhan yang maha kuasa. Kini seiring perkembangan zaman, penggunaan hompimpa sudah sangat jarang ditemui dalam permainan anak-anak. Terlebih lagi sebagian generasi muda malah disibukkan dengan beragam permainan ponsel, game online (main bareng). (RRI, 28 Feb 2024 - 18:59 WIB).
Filosofi yang terkandung dalam kalimat hompimpa, mencerminkan sikap musyawarah yang tinggi, melatih sikap menerima kesepakatan, sehingga menumbuhkan sikap kebersamaan. Peneliti tradisional, Zaini Alif, kata Hom, Om, Hum, Hu, atau Huwa berarti Tuhan. Hom pim pah Alaihum memiliki arti "dari Tuhan kembali ke Tuhan."
Makna ini berarti mengajarkan kita bahwa segala apa yang kita dapatkan haruslah kita sadari sebagai nikmat yang berasal dari Tuhan. Apabila suatu hari nikmat itu harus dikembalikan lagi kepada Sang Pemilik kita harus menerima dengan memanfaatkannya di jalan kebaikan sebagai wujud rasa syukur. (CNN Indonesia Minggu, 21 Jul 2024 08:00 WIB)

Endog-endogan
Endog-endogan peupeus hiji, pre!
Endog-endogan peupeus hiji, pre!
Endog-endogan peupeus hiji, pre!
Endog-endogan peupeus hiji, pre!
Goleang-goleang mata sapi bolotot!
Masih teringat jelas dalam ingatan. Tahun 2013, saat pernikahan adik istri (Dede Nur), Kaka Fia, anak pertama yang baru berusia 4 tahun, baru saja hapal permainan endog-endogan. Saking polosnya, langsung mempraktikkan permainan itu dengan memecahkan hampir satu kilogram telur yang disimpan di peti (keranjang dari kayu) untuk acara perkawinan.
Di kamar Abah Ilal (alm), terdengar suara, “endog-endogan peupeus hiji, pre!, endog-endogan peupeus hiji, pre!”, sambil memecahkan telur asli satu per satu. Anehnya, pecahan telor itu tidak membuat Abah marah, karena yang menghancurkannya adalah cucu kesayangan Abah.
Paciwit-ciwit lutung si lutung pindah ka luhur,
Paciwit-ciwit lutung si lutung pindah ka luhur.
Kakang tertawa riang meski wajahnya paling banyak coretan. Tapi tetap bangga karena sudah ikut bermain bersama kakak dan Babah. Asyiknya permainan tradisional ini bukan soal menang atau kalah, melainkan kebersamaan yang hangat di tengah mendung yang bersahabat.
Punten mangga
Ari ga, Gatot Kaca
Ari ca, cau ambon
Ari bon, bonteng asak
Ari sak, sakit perut
Ari rut, rujak asem
Ari sem, sempal sempil
Ari pil, pilem rame
Ari me, meja makan
Ari kan, kantong kosong
Ari song, songsong lampu
Ari pu puak-paok
Ari wok wok berewok.

Cerminan Kesopanan dan Keramahan Sunda
Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi mencerminkan budaya dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh suatu masyarakat. Dalam khazanah Sunda, ada dua kata yang sangat akrab di telinga, “punten” dan “mangga”. Meski sederhana, keduanya sarat makna dan mencerminkan keramahan, kesopanan, sikap saling menghormati yang menjadi ciri khas orang Sunda.
Kata punten digunakan sebagai bentuk permohonan izin, atau permintaan maaf secara halus. Ucapannya hadir dalam banyak situasi, misalnya saat ingin melewati orang lain di tempat sempit. Ketika hendak bertanya atau meminta bantuan. Sebagai ungkapan permintaan maaf atas ketidaksengajaan. Melalui kata ini, orang Sunda menunjukkan rasa hormat, menjaga perasaan orang lain, sekaligus menghindari kesan arogan.
Untuk mangga (bukan buah) bermakna “silakan” dalam bahasa Indonesia. Kata ini kerap dipakai untuk memberikan izin, atau menyambut orang lain dengan ramah, misalnya, mempersilakan tamu masuk ke rumah. Memberi kesempatan orang lain berbicara atau bertindak lebih dulu. Dalam layanan (bisnis), digunakan sebagai bentuk penghormatan kepada pelanggan.
Ucapan mangga mencerminkan keramahan dan keterbukaan, sejalan dengan falsafah Sunda soal tamu adalah raja yang harus disambut dengan penuh kehangatan.
Ingat, ungkapan sederhana ini sesungguhnya mengandung nilai luhur budaya Sunda, antara lain:
1. Kesopanan. Punten menegaskan sikap menghargai orang lain dan menjaga perasaan mereka.
2. Keramahan dan Keterbukaan. Mangga menggambarkan kehangatan dalam menyambut tamu serta nilai kebersamaan.
3. Menghindari Konflik. Ucapan halus menjadi cara meredam ketegangan atau menyampaikan ketidaksepakatan dengan santun.
4. Rasa Hormat. Sejak kecil, orang Sunda diajarkan menggunakan punten dan mangga sebagai bagian dari tata krama terhadap yang lebih tua maupun sesama.
Kini, penggunaan bahasa daerah, termasuk Sunda, mulai berkurang. Banyak anak muda lebih sering bercakap dengan bahasa Indonesia (asing). Namun, mempertahankan ungkapan seperti punten dan mangga bukan sekadar melestarikan bahasa, melainkan ikhtiar bersama dalam menjaga nilai luhur yang terkandung makna di dalamnya.
Dalam kehidupan sosial, sopan santun dan keramahan menjadi bagian dari sikap yang tak lekang oleh waktu. Dengan tetap menggunakan punten dan mangga, kita bukan hanya menghormati budaya Sunda, sambil berusaha memperkuat harmoni sosial di tengah keberagaman masyarakat. (www.bandung.go.id).

Nostalgia dan Pentingnya Menjaga Tradisi
Setiap kali mendengar kata punten atau mangga, justru pikiranku sering melayang ke masa awal kuliah di IAIN (sekarang UIN Bandung), Agustus 2002. Waktu itu, setelah acara Ta’aruf (Ospek), ada kawan seangkatan dari Garut yang berkabar lewat telepon Ibu Kos di PSM (Padepokan Sumber Mulya).
Tapi anak-anak kos lebih suka menyebutnya Pondok Sisieun Makam. Maklum, kosan itu memang berdampingan langsung dengan kuburan. Dari lantai dua, pandangan mata langsung bertemu dengan pohon pisang, rumpun bambu, pohon nangka, dan deretan nisan yang berjejer rapi. Posisi kamarku berada di lantai dua, samping tangga, dekat kamar mandi.
Kami sudah janjian, Malam Minggu kawanku itu akan main ke kos. Patokannya gampang, turun dari Bus Mios jurusan Garut–Bandung di depan Masjid Kifayatul Achyar, lalu menyeberang masuk gang Kujang sekitar 100 meter, belok kiri, nah di situlah PSM berada. Kalau bingung, tinggal tanya pemuda yang suka nongkrong di mulut gang, atau tepat di depan rumah makan Kifa.
Justru malam itu berubah jadi cerita lain, kelam. Selesai salat Isya, Ibu Kos tiba-tiba berkata, “A, coba lihat, ada yang ribut… terus larinya ke sini, ke lantai dua.”
Ternyata benar, itu kawanku. Mukanya masih tegang. Napasnya terengah-engah. Setelah diberi minum dan disuruh tarik napas, barulah mulai bercerita.
Rupanya keributan itu hanya karena persoalan yang dianggap sepele. Padahal itu sangat penting dan sarat makna. Ya tidak bilang punten. Lalu tersinggung dipanggil hayam (siga hayam wae). Dari situlah berlanjut adu tojos, baku hantam. Pukpek, saat dikeroyok beberapa pemuda, akhirnya berhasil kabur dan menyelamatkan diri ke kos.
Sungguh lucu bila diingat sekarang. Gara-gara lupa bilang punten, suasana Malam Minggu jadi heboh. Ingat, kata sederhana itu, bagi orang Sunda, bisa jadi kunci untuk menghindarkan banyak masalah, termasuk malapetaka, angkara murka atas ego sendiri.
Bandung, pada era tahun 90-an, jalan-jalan (gang-gang kecil) di daerah Cicadas terkenal dengan sebutan gang "sarebu punten". Sebuah ungkapan kiasan untuk menggambarkan daerah kumuh, sempit, dan padat penduduknya, sehingga dalam tiap langkah orang harus berkata "punten" bila kebetulan lewat kawasan ini. Maklum nagara beuling, kampung ninja kawan! (Ayo Bandung Rabu, 3 Maret 2021 | 13:40 WIB)

Untuk sekedar bertanya saja, urang Sunda akan mengucapkan 'punten bade tumaros' (maaf mau bertanya). Begitulah hampir di setiap interaksi dengan yang lain, pengucapan 'punten' senantiasa mendahului kalimat yang diucapkan orang Tatar Sunda. Jadi jangan heran, bila sering mendengar kata 'punten' di ucapan di wilayah Bumi Parahyangan.
Pengucapan kata 'mangga' menunjukkan masyarakat Bumi Pasundan sangat ramah 'someah' menjunjung tinggi sopan santun. Sebutan 'mangga' sering digunakan untuk menawarkan (mempersilakan), walau terkadang hanya sekadar tawar gatra' (penawaran basa-basi) seperti 'ajak Jawa' (mengajak, menawari sesuatu yang tidak dengan sepenuh hati, ya hanya sekadar basa basi). Misalnya, mangga sindang heula' (silahkan, ayo mampir dulu), 'mangga kalebeut heula' (silahkan masuk dulu), 'mangga calik heula' (silahkan duduk dulu), 'mangga dileuet' (silahkan dimakan) dan lainnya. (Nasir Tamara, 2021: 470)
Uniknya, kata punten dan mangga sudah akrab bahkan di luar tanah Sunda. Di Jakarta misalnya, kendati mayoritas orang menggunakan bahasa Indonesia, kata punten tetap sering terdengar dan mudah dipahami. Hanya saja, ungkapan mangga bisa menimbulkan salah paham karena dalam bahasa Sunda berarti “silakan”, sedangkan dalam bahasa Indonesia bermakna buah. Karena itu, pemakaian bahasa mesti memperhatikan konteks agar tidak menimbulkan salah pengertian.
Dalam kajian bahasa, suasana ini disebut analisis kontrastif, yaitu upaya mencari persamaan dan perbedaan antarbahasa. Bahasa Sunda dan bahasa Indonesia memang sama-sama hidup berdampingan, terutama karena faktor geografis Jawa Barat yang dekat dengan Jakarta. Situasi ini melahirkan fenomena diglosia, yaitu penggunaan dua bahasa dalam tingkat dan fungsi yang berbeda. (Rifan Bilaldi, 2022: 166-168).
Walhasil, pengalaman aktivitas bermain di rumah bersama buah hati, petaka di kos dulu saat awal kuliah mengajarkan satu ihwal kata yang dianggap sederhana (punten dan mangga) bukan hanya soal basa-basi, justru cermin dari kearifan Sunda yang menjunjung tinggi sopan santun.
Semua itu menjadi tanda penting untuk mencegah salah paham, mempererat kekerabatan dan persaudaraan, serta iktiar merawat tradisi dan menjaga harmoni dalam kehidupan sehari-hari. (*)