Sabtu sore, seperti biasa, saat berjalan-jalan di kampus UIN Bandung sambil ngabuburit. Tiba-tiba, anak ketiga, Kakang, yang baru berusia empat tahun, merengek sambil menarik-narik bajuku. Tepat di depan Gedung Rachmat Djatnika, langkah kaki kecilnya berhenti sebentar dan tiba-tiba berlari menuju pintu masuk perpustakaan.
Anak kedua, Aa Akil (10 tahun), berseru, “Kakang mau ke mana? Ini hari libur, Perpustakaan tutup! Sebentar lagi Magrib!”
Kakang tetap berlari penuh semangat dan tidak menghiraukan panggilan Aa, hingga akhirnya terjatuh di tangga. Bocah kecil itu menangis, ingin sekali mendengarkan dongeng, membaca buku bergambar hewan, gajah, singa, dan kuda kesukaannya.
Sayangnya, pintu Perpustakaan sudah tertutup rapat.

Memang, tidak sering berkunjung ke Perpustakaan yang terakreditasi A, tapi beberapa kali pernah mampir. Masih segar dalam ingatanku saat itu, seorang kawan (petugas perempuan, pustakawan), sedang berjaga dan menyambut hangat kedatangan kami.
Perempuan berjilbab pink itu berkenalan dengan Kakang yang sangat senang dan riang gembira. Ya dipilihkan buku-buku dan dibacakan langsung di ruang BI Corner.
Sesekali terdengar suara kecilnya berkata, “Ini gambar gajah! Ini kuda! Ini singa!”
“Hebat!” jawab kawanku sambil mengusap lembut rambut Kakang yang duduk di sampingnya.
Untuk Aa Akil dipilihkan buku-buku dongeng berbahasa Inggris bertema hewan. Lantas membacanya dengan penuh antusias.
Sore itu, sesuai jadwal, perpustakaan memang tutup. Namun kerinduan seorang anak kecil pada buku, dongeng, kehangatan cerita terus menggebu-gebu dan masih tetap terbuka lebar di hati.

Rendahnya Minta Baca
Ironisnya, dalam liputan bertajuk Punya Perpustakaan Tertinggi di Dunia, Minat Baca di Indonesia Masih Rendah edisi Selasa (4/3/2025).
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) pernah menerima penghargaan bergengsi dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai Gedung Perpustakaan Tertinggi di Dunia. Penghargaan ini diberikan pada tanggal 8 Januari 2024 oleh CEO MURI, Jaya Suparna, kepada Kepala Perpusnas, E. Aminudin Aziz.
Prestasi luar biasa bagi Indonesia, mengingat gedung perpustakaan ini kini memiliki tinggi sekitar 126,3 meter dengan 27 lantai, menjadikannya yang tertinggi di dunia.
Meski dinobatkan menjadi negara dengan gedung perpustakaan tertinggi di dunia, apakah minat membaca masyarakat Indonesia sama tingginya dengan perolehan penghargaan itu?
Nyatanya tidak, kendati memiliki fasilitas dan koleksi yang luar biasa, minat baca masyarakat Indonesia tetap menjadi tantangan besar. Survei yang dilakukan oleh GoodStats pada Januari hingga Februari 2025 menunjukkan fakta mengejutkan.
Hanya satu dari lima orang yang rutin membaca buku setiap hari, sementara 17% responden hanya membaca sesekali, dan 15,4% lainnya, bahkan jarang membaca buku.
Minimnya minat baca ini dipengaruhi oleh berbagai faktor; kurangnya motivasi untuk membaca, minimnya akses ke bahan bacaan yang berkualitas, pengaruh budaya yang cenderung lebih mementingkan hiburan instan seperti media sosial, televisi.
Padahal, membaca adalah salah satu cara terbaik untuk memperkaya wawasan dan meningkatkan pengetahuan.
Uniknya, meskipun minat baca rendah, hasil survei merinci sebagian besar masyarakat Indonesia cenderung memilih buku dengan genre yang lebih aplikatif, seperti buku pengembangan diri (65%), nonfiksi (60,1%), dan pendidikan (57,4%).
Di sisi lain, buku fiksi masih diminati, dengan 50,6% responden mengaku menyukai buku-buku bergenre fiksi, seperti novel, cerita pendek, dan fiksi ilmiah. Buku fiksi menjadi pilihan utama bagi mereka yang ingin melepas penat dan menikmati hiburan.
Perpusnas telah menjadi simbol kebanggaan Indonesia dengan prestasi sebagai perpustakaan tertinggi di dunia. Namun, untuk benar-benar menciptakan budaya baca yang kuat di Indonesia, dibutuhkan lebih dari sekadar fasilitas fisik yang megah.
Perlu ada upaya bersama untuk meningkatkan minat baca melalui penyediaan bahan bacaan yang relevan, penguatan motivasi membaca sejak dini, dan pengembangan budaya literasi di berbagai kalangan masyarakat. (www.goodstats.id)

Bukan Sekadar Tempat Membaca
Kemajuan teknologi telah mengubah cara masyarakat mengakses sumber bacaan. Kini, pemustaka tidak harus datang langsung ke gudang ilmu pengetahuan.
Tentunya perpustakaan didorong untuk memperluas peran dan fungsinya agar tidak hanya menjadi tempat membaca, tetapi jadi pusat pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Perpusnas, Deni Kurniadi, menegaskan transformasi perpustakaan menjadi kebutuhan mendesak untuk memperkuat perannya sebagai sarana belajar.
Pemanfaatan teknologi informasi diharapkan dapat membantu masyarakat menjawab berbagai kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari. "Peran perpustakaan tidak hanya mencerdaskan, juga bisa dimanfaatkan untuk menyejahterakan masyarakat," ujarnya.
Berdasarkan Sensus Perpustakaan 2018, tercatat ada 164.610 unit perpustakaan di Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak 6.552 unit merupakan perpustakaan khusus yang tersebar di kementerian, lembaga, perusahaan, organisasi sosial, rumah ibadah, dan institusi lainnya.
Perkembangan teknologi digital dan integrasi data telah memengaruhi perilaku pemustaka dalam mencari informasi. Kini kunjungan fisik ke perpustakaan bukan lagi menjadi tolok ukur utama dalam menilai kinerja layanan.
Konvergensi layanan menjadi keniscayaan. Perpustakaan perlu dilengkapi dengan fasilitas lain, seperti multimedia, ruang pelatihan, galeri pameran, hingga kafe. Perpustakaan perlu membangun jejaring dengan komunitas warga guna mengoptimalkan potensi literasi dan sumber bacaan.
Transformasi layanan dan inovasi digital menjadi langkah strategis yang harus dilakukan. Caranya dengan pengembangan konten digital yang dapat memperluas akses masyarakat terhadap bahan bacaan dan informasi.
Peran penting perpustakaan dalam peningkatan literasi bangsa perlu didefinisikan ulang. Literasi saat ini tidak lagi terbatas pada kemampuan membaca dan menulis, meliputi kedalaman pengetahuan terhadap suatu bidang yang dapat diimplementasikan menjadi inovasi nyata.

Membangun Ekosistem
Kepala Perpustakaan Nasional, Muhammad Syarif Bando, menegaskan kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat merupakan amanat konstitusi. Dalam konteks ini, perpustakaan menjadi motor penggerak pembangunan nasional.
"Kalau tidak membaca, itu akan menjadi masalah. Sebab, belum ada cara instan di seluruh dunia yang mampu menginjeksi ilmu pengetahuan ke dalam kepala," katanya.
Literasi masa kini soal kedalaman ilmu yang dapat diolah menjadi produk dan jasa berkualitas tinggi, mampu bersaing di tingkat global.
"Jadi, bukan sebatas pada baca dan tulis. Jangan lagi bayangkan perpustakaan sebagai satu buku untuk satu orang. Tapi bagaimana mengubah paradigma masyarakat agar menjadi produsen ilmu pengetahuan," tandasnya.
Ketua Umum Forum Perpustakaan Khusus Indonesia (FPKI), Eka Meifrina, menyatakan perpustakaan khusus kini mengalami perubahan besar seiring pesatnya perkembangan internet.
Karena itu, perpustakaan harus mampu beradaptasi agar tetap relevan sebagai penggerak transfer pengetahuan dan peningkatan literasi masyarakat. (Kompas, 27 September 2022)

Rahasia Anak Gemar ke Perpustakaan
Dalam buku Kiat Jitu Anak Gemar Baca Tulis, dijelaskan tujuh kiat agar anak tertarik dan bersemangat mengunjungi perpustakaan. Berikut rahasia dan langkah yang bisa diterapkan.
1. Beri Kebebasan Memilih Buku Sendiri
Biarkan anak memilih buku sesuai minat dan kesukaannya. Ini penting agar mereka merasa memiliki kendali atas apa yang dibaca dan lebih termotivasi untuk membaca.
2. Lakukan Rihlah Ilmiah ke Perpustakaan
Ajak anak melakukan kunjungan ke perpustakaan, meskipun mereka belum bisa membaca. Biarkan mereka berkeliling, melihat-lihat koleksi buku di rak, dan memilih buku untuk dibaca atau dilihat gambarnya.
Aktivitas ini membentuk kebiasaan positif dan membuat perpustakaan terasa seperti tempat yang menyenangkan. Anak akan menikmati aktivitas sederhana seperti mengembalikan buku ke rak pengembalian atau memilih buku baru untuk dipinjam.
3. Pilih Perpustakaan yang Ramah Anak
Sekarang ini banyak perpustakaan yang dirancang khusus untuk anak-anak, dengan desain interior yang ceria dan koleksi buku yang sesuai dengan usia mereka, seperti buku cerita, dongeng, komik, hingga buku pengetahuan anak.
Tujuannya untuk menciptakan pengalaman menyenangkan yang merangsang minat baca sejak dini.
4. Daftarkan Anak sebagai Anggota Perpustakaan
Segera daftarkan diri dan anak sebagai anggota perpustakaan terdekat. Aktivitas ini memberikan rasa memiliki terhadap perpustakaan dan mempermudah akses buku bacaan secara rutin.
5. Bacakan Buku Cerita Bergambar
Anak-anak sangat menyukai buku bergambar, apalagi yang menampilkan tokoh binatang, karakter favorit mereka. Ajak anak memilih buku di rak, lalu cari tempat nyaman untuk membacakannya.
Setelah membaca, libatkan anak dengan mengajukan pertanyaan berdasarkan cerita, gambar dalam buku itu agar pengetahuannya makin terus berkembang.
6. Ajarkan Tata Cara Meminjam dan Mengembalikan Buku
Jelaskan buku-buku di perpustakaan boleh dipinjam. Setelah anak memilih buku yang disukai, bimbing untuk meminjam melalui petugas. Ini sekaligus melatih anak berinteraksi dan memahami prosedur perpustakaan.
7. Tanamkan Tanggung Jawab terhadap Buku
Anak perlu diajari tentang tanggung jawab menjaga buku yang dipinjam, disiplin dalam mengembalikannya tepat waktu. Ini melatih kedisiplinan dan rasa hormat terhadap fasilitas umum. (Ana Widyastuti, 2017: 32–33)

Setiap tanggal 7 Juli, Indonesia memperingati Hari Pustakawan Nasional. Sejatinya harus menjadi momen penting untuk merefleksikan kembali peran pustakawan dalam meningkatkan ekosistem pengetahuan dan budaya baca.
Pasalnya, selamat ini masih dianggap (sekadar) penjaga buku. Padahal pustakawan adalah penjaga gerbang literasi, penuntun imajinasi, sekaligus sahabat belajar bagi setiap generasi.
Di tengah arus digital, media sosial dan gempuran konten instan, minat baca, literasi, edukasi masyarakat Indonesia masih menjadi tantangan terbesar. Hasil survei menunjukkan aktivitas membaca belum menjadi budaya dominan yang membanggakan.
Namun di balik angka-angka kecil dan minim itu, ternyata selalu ada harapan yang (terselip) tumbuh subur di perpustakaan, di toko buku, di pameran literasi, hatta di lapak-lapak buku bekas yang setia hadir di pinggir jalan.
Rupanya dari ruang-ruang sunyi perpustakaan, justru benih-benih literasi terus tumbuh, dirawat, dijaga terus oleh para pustakawan dengan tangan dingin, sabar dan tekun.
Kita bisa melihatnya dari kebiasaan anak-anak yang dengan antusias menjelajahi rak-rak buku di perpustakaan sekolah, daerah, kampus, komunitas, jalanan.
Para remaja yang rela antre demi novel favorit di pameran buku tahunan, festival buku. Keluarga bersahaja yang menjadikan akhir pekan sebagai waktu berburu bacaan di toko buku, lapak jadoel. Di sanalah literasi dirawat, imajinasi dirayakan secara bersama-sama dan terang benderang.

Pustakawan hadir bukan hanya sebagai pengarsip, melainkan kurator ide, gagasan. Mereka menghadirkan ruang inklusif yang tak hanya menyimpan buku sekaligus menyalakan kehangatan mulai dari diskusi, workshop, klub baca, hingga literasi digital.
Pada mereka tertumpu semangat membara untuk membantu anak-anak menemukan buku pertama yang bisa mengubah hidup. Misalnya novel petualangan, ensiklopedia bergambar, sampai dongeng sebelum tidur terlelap.
Peringatan Hari Pustakawan seharusnya bukan hanya seremonial belaka. Melainkan panggilan untuk terus menghidupkan literasi sebagai budaya dan gaya hidup.
Terus menumbuhkan cinta baca sejak dini, menciptakan ruang baca yang nyaman, menarik, asyik dan menjembatani keterbatasan akses dengan kreativitas tanpa batas.
Ingat dalam setiap halaman yang dibaca, selalu ada dunia baru yang terbuka lebar. Dalam setiap buku yang dijelajahi, ada jendela imajinasi yang meluaskan cakrawala berpikir dan bertindak nyata.
Mari terus merawat literasi dan merayakan imajinasi untuk ikut mewujudkan Indonesia yang lebih cerdas, kritis, berdaya, hebat dan tercerahkan. Selamat Hari Pustakawan. Terima kasih telah menjaga cahaya pengetahuan agar tetap menyala. (*)