Apoteker merupakan salah satu profesi yang ada di dunia kesehatan. Sejauh ini eksistensinya memang belum setenar dokter atau suster (perawat) dan bidan.
Hampir semua profesi di atas memiliki nama panggilan sendiri, misalnya dokter dipanggil (dok), perawat dipanggil (sus), dan bidan dengan bu bidan. Sementara profesi apoteker sendiri seringkali bias, kadang dipanggil dok, kadang juga sus.
Sekilas jas yang digunakan oleh apoteker dan dokter memang tampak sama, yang membedakan hanya name tag yang terpasang pada bagian jas. Hal ini bisa menjadi alasan kenapa apoteker seringkali dikira dokter.
Baru-baru ini ada apoteker yang sering memberikan edukasi tentang obat melalui platform tiktok bernama apoteker Rian pernah menyuarakan hal serupa. Akhirnya apoteker Rian memiliki inisiatif untuk membuat nama panggilan bagi para apoteker yaitu 'pot'.
Bukan panggilan yang mewah bahkan seringkali diplesetkan menjadi 'pot bunga'. Namun sepertinya rekan sejawat apoteker yang tergabung di tiktok menyetujuinya. Awalnya saya berpikir apalah arti sebuah nama yang penting bagaimana tindak nyata berkontribusi bagi sesama.
Namun ternyata nama itu penting, bukan sekedar identitas tapi bagian dari diri profesi yang bisa dianggap keberadaannya secara nyata.
Sejauh ini masyarakat yang membeli obat ke apotek tidak begitu mengenal tentang sosok apoteker. Pasien selalu melabeli kalau yang bekerja di apotek adalah mereka yang bersekolah secara umum pada tingkat SMA tanpa embel-embel profesi di belakangnya.
Sering kali apoteker yang bertugas menggunakan jas putih dianggap sebagai dokter yang sedang praktek.
Bahkan papan nama berisi jadwal konseling yang sudah jelas tertulis 'apoteker' masih dikira sebagai dokter yang praktek yang bisa memeriksa dan mendiagnosa penyakit pasien.
Padahal tulisan jam praktek dalam papan tersebut menandakan jam kerja apoteker di apotek.
Sementara apoteker yang bertugas dengan baju bebas tanpa menggunakan jas, dianggap karyawan biasa yang tugasnya hanya mengantarkan produk yang mereka butuhkan. Panggilan ibu, teteh, akang, om, bapa itulah yang seringkali terngiang dalam telinga.
Sebetulnya peran apoteker di dunia kesehatan tidak hanya berkutat pada ranah profesional dan pelayanan saja. Adapun beberapa peran apoteker yang belum banyak diketahui khalayak, diantaranya:
Manajemen Terapi Obat, apoteker memiliki peranan penting dalam memberikan informasi yang tepat kepada pasien. Tidak hanya menjelaskan seputar dosis, cara penggunaan obat, interaksi obat serta potensi efek samping obat yang dikonsumsi.
Apoteker juga wajib menganalisis dan mengantisipasi bagaimana obat yang diminum oleh pasien bisa sampai dengan aman hingga terasa khasiatnya.
Konsultasi dan Edukasi, sebetulnya apoteker adalah tenaga yang paling dekat dibutuhkan oleh masyarakat ketika mencari tahu hal-hal perihal kesehatan.
Sebagian masyarakat yang mengalami gejala penyakit seringkali enggan langsung memeriksakan dirinya ke dokter. Mereka seringkali memilih swamedikasi (tindakan pengobatan mandiri) dengan membeli obat ke apotek.
Di sinilah peran apoteker dibutuhkan, meski secara panduan diperbolehkan tindakan swamedikasi tapi dalam pelaksanaan pemilihan terapi obat tentu harus melalui tahap konsultasi dengan apoteker.
Selain itu apoteker juga berperan dalam mengedukasi pasien perihal obat-obatan, penyakit dan gaya hidup sehat. Apoteker juga harus bisa meningkatkan kesadaran masyarakat perihal pentingnya penggunaan obat yang rasional dan aman.
Peran dalam pencegahan penyakit, apoteker dituntut untuk membuat program pencegahan penyakit seperti imunisasi dan skrining kesehatan di masyarakat.
Data yang terkumpul selanjutnya bisa dijadikan bahan bagi puskemas untuk bahan evaluasi perbaikan dan peningkatan mutu kesehatan bagi masyarakat.
Pengembangan Obat, siapa sangka keberadaan obat di dunia kesehatan tidak lepas dari peran apoteker yang turut serta mengabdikan dirinya mencari formulasi obat-obatan baru bagi penyakit yang diderita oleh masyarakat.
Profesi Apoteker di Mata Pemerintah dan IAI

Untuk menjadi seorang apoteker dibutuhkan usaha, biaya juga kesiapan mental yang tidak mudah.
Serangkaian praktikum yang dilakukan di laboratorium hampir menyita pikiran, konsentrasi yang penuh dibutuhkan bukan sekedar untuk hadir dalam bentuk fisik tapi juga pemahaman yang kelak harus dipersiapkan untuk dibagikan kepada masyarakat.
Untuk sampai pada tahap apoteker, seseorang harus mengeyam pendidikan dari tingkat 3 tahun SMK Farmasi (opsional tidak wajib), 3 tahun D3 (orientasi menjadi TTK), 4 tahun S1 (Sarjana Farmasi) dan 1 tahun Profesi Apoteker.
Selain biaya pendidikan, fakultas farmasi juga seringkali menambahkan biaya praktikum, OSCE, Biaya Sumpah hingga wisuda. Biaya yang dihabiskan cukup fantastis kisaran 155 juta hingga 250 juta tergantung dengan instasi pendidikan yang dipilih.
Berbeda dengan Indonesia yang mengkotak-kotakan pendidikan farmasi dalam berbagai tingkat, di negara Jerman, pendidikan farmasi dengan profesi apoteker terintegrasi dalam satu program studi yang disebut staatsexamen (ujian negara).
Regulasi ini sebetulnya menguntungkan banyak mahasiswa, selain biaya pendidikan lebih murah, para calon apoteker tidak akan terhambat atau menunda melanjutkan keinginannya menjalani pendidikan profesi apoteker. Langkah ini menjadi pilihan yang tepat untuk mengurangi pengangguran di kalangan sarjana farmasi.
Apoteker merupakan profesi yang berada dibawah naungan organisasi profesi Ikatan Profesi Apoteker (IAI). IAI sendiri didirikan sebagai wadah yang bertugas memperjuangkan kepentingan profesi apoteker serta memajukan ilmu kefarmasian.
Namun sayangnya masih belum terkelola secara maksimal. Masih banyak hak-hak anak SMK Farmasi yang butuh mendapat keadilan karena sistem bisnis pendidikan yang masih melegalkan SMK untuk berdiri. Padahal setelah di lapangan anak SMK sulit mendapatkan pekerjaan karena regulasi meniadakan perannya di dunia farmasi.
Masih banyak Sarjana Farmasi yang dipaksa untuk melanjutkan profesi apoteker dengan biaya yang tidak murah. Rencana menabung biaya profesi dengan bekerja pun, sirna karena lulusan Sarjana Farmasi tidak mendapat STRTTK, yang dalam dunia kerja sangat dibutuhkan sebagai syarat Tenaga Teknis Kefarmasian sudah teruji kompetensinya.
Sekarang IAI juga ikut mendukung program pemerintah apotek desa tanpa mencari jalan tengah bagi profesi yang bernaung dibawahnya. Nasib para apoteker di masa depan dengan terbatasnya lapangan kerja.
Sementara di mata pemerintah profesi apoteker tidak terlalu dilirik dan diperhatikan. Sebetulnya hampir sebagian besar profesi kesehatan seperti dokter, perawat juga apoteker kesejahteraannya belum sepenuhnya terpenuhi. Bahkan sebagian tenaga nakes banyak mendapat gaji yang tidak layak.
Bahkan beberapa nakes anggota KSPTMK (Kesatuan Serikat Pekerja Tenaga Medis) yang bekerja di Rumah Sakit termasuk apoteker seringkali terkendala mendapat tunjungan, pesangon yang tidak diberikan oleh Rumah Sakit dengan berbagai alibi setelah mengajukan resign dan sudah bekerja di tempat lain.
Rasanya pertarungan profesi dengan taruhan nyawa pasien tidak sebanding dengan kesejahteraan tenaga kesehatan itu sendiri. Sejauh ini pemerintah kurang memperhatikan upah mininum yang apoteker dapat dari setiap instansi.
Padahal kesehatan merupakan salah satu penunjang kokohnya suatu negara dan apoteker merupakan garda terdepan yang bersinggungan secara langsung dengan masyarakat. Dengan kesehatan juga semua manusia bisa beraktifitas secara produktif.
Di tengah segala upaya tenaga kesehatan di Indonesia untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat berbanding terbalik dengan fakta kesejahteraan SDM Kesehatan itu sendiri. (*)