AYOBANDUNG.ID - Warga, industri, dan pengembang di Bandung Raya terus menyedot air tanah tanpa pertimbangan serius. Akibatnya, tanah kehilangan penyangganya dan perlahan ambles. Dalam setahun, penurunan muka tanah dilaporkan terjadi di beberapa wilayah.
Berdasarkan hasil penelitian dari ITB dan BRIN, permukaan tanah Kota Bandung terus turun setiap tahunnya. Hasil pengukuran geodesi menunjukkan rata-rata penurunan permukaan tanah adalah 8 cm per tahun, bahkan di beberapa titik bisa mencapai 23 cm.
Di tengah krisis air bersih dan laju urbanisasi yang kian pesat, penurunan tanah ini mengancam keberlanjutan kota. Jika tidak dikendalikan, sebagian kawasan Bandung Raya berisiko kembali menjadi cekungan air seperti di masa lalu.
Penyedotan Air Tanah Berlebihan jadi Penyebab Utama
Anggota Masyarakat Geografi Nasional Indonesia, T. Bachtiar, menjelaskan bahwa penyebab utama amblesnya tanah di kawasan Bandung tidak lain adalah eksploitasi air tanah yang berlebihan. Air tanah yang semestinya mengisi pori-pori tanah dan batuan telah disedot secara besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan industri, perumahan, dan apartemen.

Penurunan ini terjadi karena hilangnya satu dari dua elemen penyangga tanah: air. Tanpa air, struktur tanah kehilangan daya dukungnya. Maka tanah yang tadinya stabil mulai turun perlahan, dan dalam cakupan luas bisa menyebabkan amblesan yang masif.
"Awalnya itu gitu. Yang asalnya muka air tanahnya di sini, turun jadi ke sini, terus makin dalam. Karena muka airnya makin lama makin dalam, maka tanah di sini tidak ada penyangga lagi. Jadi yang menyangga lapisan tanah itu, satu adalah tanahnya itu sendiri, yang kedua adalah air. Nah, sekarang airnya tidak ada. Jadi turun," kata Bachtiar kepada AyoBandung beberapa waktu lalu.
Di wilayah seperti Rancaekek, Gedebage, dan Dayeuhkolot, penurunan tanah sudah tercatat rata-rata mencapai 0,67 meter per tahun pada periode 2021–2022. Angka itu bukan sekadar statistik, tapi cerminan dari krisis ekologis yang semakin mendekati titik kritis.
Dari Krisis Air Hingga Bangunan Retak
Efek dari penurunan muka tanah tidak hanya dirasakan secara geologis, tetapi juga menyentuh langsung kehidupan sehari-hari masyarakat. Sumur-sumur warga mulai mengering. Air bersih menjadi barang mahal. Satu jeriken air bersih kini bisa mencapai harga Rp5.000, dan dalam sehari, satu rumah bisa menghabiskan lebih dari lima jeriken.
"Sekarang aja ada rumah beli air," ujar Bachtiar. Sementara air sungai yang dulunya bisa diandalkan, kini sudah tercemar dan memerlukan proses pengolahan yang rumit dan mahal.
Tak hanya itu, bangunan-bangunan besar mulai menunjukkan tanda-tanda bahaya. Dinding yang retak, lantai yang miring, dan fondasi yang bergeser bisa menjadi indikator serius dari tanah yang terus bergerak turun.
"Kalau volume air tanah yang disedot besar, maka bukan tidak mungkin bangunan-bangunan bisa miring, turun, bahkan ambruk," tambahnya.
Jangan Biarkan Bandung Tenggelam
Lalu, apakah Bandung bisa mengalami nasib serupa dengan Jakarta yang disebut-sebut akan tenggelam? Menurut Bachtiar, jawabannya: bisa. Meskipun Bandung tidak berada di pesisir dan tidak terancam air laut masuk seperti di Jakarta, ancaman genangan tetap nyata.
“Kawasan seperti Rancaekek dulunya rawa, tempat air. Sekarang dibangun dan air tanahnya disedot, permukaan tanahnya turun. Maka, kalau hujan, air akan menggenang lebih lama,” jelasnya.
Bandung pernah menjadi bagian dari danau purba. Jika eksploitasi terus berlangsung tanpa kontrol, sejarah bisa berulang. Kota ini bukan tak mungkin kembali menjadi cekungan yang menampung air, kali ini bukan karena hujan deras semata, tapi karena tanah yang terus merosot.
Solusi jangka pendek dan jangka panjang harus dimulai sekarang juga. Menurut Bachtiar, upaya paling sederhana bisa dimulai dari rumah: menanam pohon dan membuat sumur resapan.

"Satu rumah harusnya punya satu sumur untuk memasukkan air hujan kembali ke dalam tanah," katanya.
Pemerintah pun harus ikut ambil bagian. Setiap kantor desa, sekolah, kampus, bahkan gedung pemerintah perlu membangun sumur resapan untuk memastikan air hujan yang jatuh di atap mereka tidak langsung mengalir ke selokan, tapi kembali ke perut bumi.
"Kalau pemerintahan. Di kantor-kantor pemerintahan. Harusnya juga banyak membuat sumur-sumur serapan. Jangan sampai air yang tercurah di kantor Desa, di kantor Kelurahan. Air yang tercurah dari hujan di kantor kecamatan, di kantor wali kota, di kantor gubernur, di kampus, di SD, SMP, SMA, perguruan tinggi. Itu harusnya (air) tidak ada yang keluar. Harusnya diresapkan semuanya ke dalam tanah. Diresap kembali. Itu akan membantu ya. Paling tidak di lingkungan setempat," tegasnya.
Sumur resapan tidak harus besar. Untuk rumah sederhana, ukuran sebesar drum pun cukup. Yang penting, setiap tetes air hujan yang jatuh bisa dikembalikan ke tanah sebagai cadangan air.
Krisis ini tidak bisa diatasi dalam satu atau dua tahun. Solusinya membutuhkan kebijakan lintas periode dan komitmen jangka panjang. Ini bukan sekadar isu lingkungan, tetapi soal keberlangsungan hidup kota dan warganya. (*)