Bandung adalah surga kuliner yang tak pernah habis untuk dijamahi. Beragam kuliner tak hanya memanjakan lidah tapi mampu menajamkan kelima fungsi indera.
Salah satunya adalah Warung Ibu Kokom Cabang ke-3 di Cimenyan, Kabupaten Bandung. Warung ini pertama kali terkenal di jalur trek Tahura (Taman Hutan Raya) Dago. Untuk menikmati kuliner ini pengunjung perlu melakukan trekking sepanjang 4 km.
Namun kali ini untuk menikmati sajian perkedel pengunjung bisa datang menggunakan motor atau mobil. Bahkan bagi yang tidak memiliki kendaraan tempat ini bisa dijangkau menggunakan Go-Jek.
Menuju Warung Ibu Kokom, pengunjung disuguhi pemandangan yang indah dari kawasan Dago. Deretan rumah sederhana hingga megah, deretan warung kopi hingga cafe dengan ambience sejuk mulai dari Cafe D'Pakar, Nokturnal, Asaan kopi hingga Boekit Tjahaya.
Berangkat dari Selasar Sunaryo Art Space menggunakan ojek online dengan jarak 2.9 km. Melewati kawasan Ciburial terdapat jalan sempit yang menanjak, benar-benar butuh keahlian untuk mengendalikan keseimbangan.
Setelah itu jalan kembali datar dan mulai menanjak kembali di kawasan dekat Imago Hills. Driver mengendarai motornya dengan zig-zag saat melintasi kawasan tersebut.
Hanya berselang 3 menit akhirnya saya sampai di Warung Ibu Kokom 3. Puluhan kendaraan motor dan sejumlah mobil terparkir di halaman warung. Warung Ibu Kokom dipenuhi dengan berbagai macam pengunjung mulai dari anak kecil, remaja hingga dewasa.
Di sekitar area warung berwarna biru telor asin terdapat banyak varian makanan ringan mulai dari snack, kerupuk, gorengan, berbagai varian minuman dan beberapa gantung kopi sachet ikut menyemarakan keadaan warung.
Pengunjung bisa memesan dengan cara menuliskannya dalam sebuah kertas yang sudah disediakan. Makanan yang tersaji cukup beragam mulai dari camilan hingga makan berat seperti nasi goreng, nasi ikan asin, ayam goreng dan aneka sambal yang dibuat secara dadakan. Minuman yang tersaji cukup lengkap mulai dari Bandrek, Rosella, kopi, milkshake hingga es cingcau.

Menu pertama yang terhidang adalah es cingcau yang memiliki beberapa toping pilihan seperti gula aren, lemon, susu, rosella, susu vanilla. Saya pribadi memilih es cingcau toping rosella karena ingin merasakan rasa baru.
Ternyata pilihan saya tepat, rasa cingcau yang hambar berpadu dengan asam sedikit manis dari rosella. Meskipun es batunya tidak ada karena habis tapi suhu udara sekitar sedikit menambah sensasi dingin secara alami.

Selanjutnya perkedel, menu andalan dan primadona di Warung Ibu Kokom sudah sejak tadi saya tunggu-tunggu. Perkedel yang di buat secara dadakan ini menjadi pilihan cerdas yang dipilih oleh pemilik.
Teksturnya yang masih crunchy di luar dan lembut di dalam yang matang dengan sempurna dan tidak terdapat bau tajam dari adonan kentang basah. Menurut saya perkedel Ibu Kokom dibuat dengan tambahan tepung tapioka (aci) karena teksturnya yang kokoh. Tidak seperti buatan sendiri di rumah yang hasilnya sedikit rapuh dan mudah hancur ketika dipegang oleh tangan.
Perkedel hangat yang dicocol sambal tomat, beuh wuenak tenan. Sambil sedikit melamun memandang hijaunya alam sekitar di depan mata, mencium aroma khas setiap minuman yang disajikan, mengecap setiap makanan yang masuk melalui mulut, mendengar suara alam yaitu tongeret secara bersahutan juga angin yang menerpa wajah ketika mata di buat merem-melek karena autentiknya masakan yang tersaji.

Minuman penutup yaitu bandrek kelapa menjadi penutup yang sempurna di kala suhu udara makin rendah. Campuran air jahe dan gula aren membantu menghangatkan tubuh. Mengesap bandrek sedikit demi sedikit sambil meresapi aroma yang membawa nostalgia pada minuman khas Bandung yang saat kecil sering ditemui di abang gerobak yang menyediakan makanan kukusan Sunda lainnya.
Ketiga menu yang saya pesan hanya menghabiskan Rp.42.000 saja, cukup worth it untuk rasa yang enak dan bonus pemandangan yang cukup indah. Kekurangannya hanya banyak lalat yang berterbangan. Beberapa kali sering saya temui di tempat makan yang berada di dataran tinggi. Di tempat ini terdapat lilin hanya saja pengunjung harus meminta secara khusus karena tidak disiapkan secara langsung di meja.
Satu lagi kekurangannya tidak disedikan tempat khusus untuk pengunjung yang merokok. Asap rokok yang menghablur ke udara terbawa terbang oleh udara sekitar. Membuat dada sesak dan mengurangi kesejukan udara asri yang sudah diberikan oleh alam.
Menuju pulang saya agak kesulitan menemukan driver ojek online yang bisa terdeteksi oleh aplikasi. Saya memutuskan untuk turun jalan kaki sambil sedikit berolahraga menuju Kamakarsa Garden sekitar 32 menit dengan jarak 2.4 km.
Jika berangkat saya menemukan tanjakan tapi kali ini saya harus melalui turunan. Ancang-ancang kaki harus kuat agar tidak jatuh, beruntungnya saya mengenakan alas kaki yang nyaman dan sesuai. Sebelum kembali melewati Imago Hills ada jalanan yang tertutup pohon dengan vegetasi yang tinggi.
Membuat tempat ini terasa lebih dingin dan sepi. Rasanya seperti masuk ke dunia lain, tentram, menyejukkan sekaligus menakutkan. Tidak direkomendasikan dilewati pagi buta atau sore menjelang malam dengan berjalan kaki sendirian.
Menuju jalan turun saya bertemu dengan sepasang kekasih yang sedang melewati tanjakan sekitar Imago Hills. Sambil tertawa riang dan mengendarai motor secara zig zag tapi sempat terhenti di tengah jalan.
Saya jadi penasaran kenapa semua pengemudi melakukan hal yang sama yaitu mengendarai motor secara zig zag. Saya pikir driver yang membawa motor tadi melakukannya karena iseng. Ternyata setelah saya cari tau di internet ternyata metode ini ada manfaatnya.
Mengendarai secara zig-zag ditanjakan bermanfaat karena akan membuat jalur tanjakan terasa lebih landai. Membantu mempertahankan momentum kendaraan dan menjaga putaran mesin (RPM) tetap stabil. Sehingga memudahkan kendaraan untuk melaju tanpa kehabisan tenaga, terutama pada tanjakan yang curam
Sesederhana apapun perjalanan selalu membuat saya takjub karena begitu banyak ilmu dan pengalaman yang bisa saya pelajari, salah satunya metode kendaraan zig zag tadi.
Menurut saya kadang berjalan kaki membuat kita bisa melambat sebentar dan melihat apa yang terjadi pada sekitar. Kehangatan sebuah keluarga yang duduk di atas tikar sambil menikmati alam yang indah. Seorang anak kecil yang sedang bermain layangan dengan kakeknya.
Sekumpulan warga lokal yang berkumpul di warung sambil berbincang-bincang. Juga perjalanan saya yang terhenti di Kamakarsa Garden, 32 menit yang terasa ringan karena dihabiskan dengan melihat fenomena alam dari masyarakat sekitar. (*)