Sejarah Gempa Besar Cianjur 1879 yang Guncang Kota Kolonial

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Selasa 16 Sep 2025, 17:33 WIB
Dokumentasi kerusakan gempa Cianjur 1879. (Sumber: KITLV)

Dokumentasi kerusakan gempa Cianjur 1879. (Sumber: KITLV)

AYOBANDUNG.ID - Cianjur abad ke-19 bukan sekadar kota kecil di Priangan. Ia pernah jadi pusat kebanggaan Hindia Belanda, lengkap dengan rumah-rumah permanen, kantor-kantor megah, dan pemukiman bergaya Eropa. Sejak Baron Van der Capellen pada 1819 menerima mandat dari London untuk mengambil alih kembali Hindia Belanda dari Inggris, Cianjur ditunjuk sebagai salah satu titik penting administrasi.

Belanda kemudian gencar membangun. Rumah-rumah batu berdiri, sekolah-sekolah kolonial dibuka, dan kediaman gubernur jenderal dipindahkan ke wilayah ini. Orang-orang Eropa datang, termasuk pensiunan pegawai pemerintah yang memilih udara sejuk Priangan sebagai tempat beristirahat di masa tua. Penduduk Cianjur pada 1879 tercatat sekitar 26 ribu jiwa, dan jumlah orang Belanda di sana cukup besar dibanding kota lain di Jawa Barat.

Tapi kemewahan kota kolonial itu tidak abadi. Pada akhir Maret 1879, bumi memberi pelajaran. Tanah yang selama ini tampak ramah mendadak bergetar dengan amarah. Dalam tiga hari berturut-turut, Cianjur berubah dari kota kolonial yang rapi menjadi hamparan puing.

Catatan Pusat Studi Gempa Nasional (PusGen) Kementerian PUPR, sebanyak 1.621 rumah hancur akibat gempa, mayoritas adalah rumah permanen milik bangsa Eropa. Dari jumlah itu, 24 rumah benar-benar rata tanah dan tak bisa diperbaiki. Jumlah korban jiwa resmi tercatat 13 orang tewas dan 12 luka-luka. Angka korban memang tidak sebesar bencana modern, tapi bila dilihat dari populasi Cianjur yang hanya sekitar 26 ribu jiwa kala itu, dampaknya terasa begitu besar.

Baca Juga: Jejak Sejarah Gempa Besar di Sesar Lembang, dari Zaman Es hingga Kerajaan Pajajaran

Yang hancur bukan sekadar rumah bambu, melainkan bangunan kebanggaan kolonial. Gedung pemerintahan retak, kantor telegrap ambruk, penjara roboh, dan gudang garam musnah. P.A. Bergsma, pejabat kolonial yang kemudian menuliskan laporannya di Natuurkundig tijdschrift voor Nederlandsch Indië tahun 1882, memberikan gambaran gamblang. Ia menulis bagaimana pada malam 28 Maret, bangunan-bangunan penting rusak parah.

“Semua gedung pemerintahan mengalami kerusakan berat dan harus dikosongkan. Penjara tidak dapat dipulihkan lagi. Gudang garam dan bangunan pemadam kebakaran roboh seluruhnya. Kantor telegraf mengalami kerusakan parah, sedangkan seorang pegawai pos mengalami luka-luka.”

Bukan hanya itu. Masjid besar di Cianjur ikut roboh. Kepala penghulu (ustaz) beserta sejumlah orang meninggal dunia di bawah reruntuhan. Beberapa rumah milik orang Eropa dan Tionghoa ambruk. Bahkan jembatan Cisokan, yang baru dibangun setahun sebelumnya, ikut retak.

Masjid Agung Cianjur sekitar tahun 1880-an. (Sumber: KITLV)
Masjid Agung Cianjur sekitar tahun 1880-an. (Sumber: KITLV)

Yang membuat situasi makin mencekam, guncangan tidak berhenti dalam satu malam. Sepanjang 29 Maret, tanah masih bergetar, membuat orang-orang sulit tidur. Lalu pada 30 Maret, empat kali hentakan besar mengguncang pagi hari, pukul 05.00, 07.45, 10.25, dan 11.30. Bayangkan hidup tiga hari penuh dengan bumi yang terus menari tanpa henti.

Getaran paling kuat dirasakan di wilayah sekitar Gunung Gede, mulai Cipanas, Sindanglaya, Gadog, hingga Sukabumi. Afdeling Bandung, Sumedang, dan Limbangan pun ikut merasakannya. Bahkan kapal-kapal yang berlabuh di Onrust, Kepulauan Seribu, melaporkan adanya guncangan dari dasar laut. Priangan serasa jadi panggung utama bagi murka bumi.

Baca Juga: Jejak Panjang Sejarah Cianjur, Kota Santri di Kaki Gunung Gede

Kota Kolonial Jadi Reruntuhan

Gempa ini bukan hanya bencana alam, tapi juga tamparan keras bagi gengsi kolonial. Keraton Bupati Cianjur—kantor sekaligus kediaman resmi pejabat pribumi—hancur sama sekali. Jan Breman dalam bukunya Keuntungan Kolonial Dari Kerja Paksa menyebut bangunan itu musnah tanpa sisa.

Koran-koran Belanda ramai memberitakan kehancuran ini. Algemeen Handelsblad edisi 11 Mei 1879 menurunkan laporan dari Algemeen Dagblad tentang besarnya kerusakan, termasuk robohnya masjid dan jatuhnya korban jiwa.

“Kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa bumi di Cianjur sangatlah besar. Masjid (missigit) roboh dan menewaskan Kepala Panghulu beserta empat orang lainnya, serta melukai beberapa orang. Selain korban tersebut, dua penjaga pribumi juga dilaporkan meninggal dunia.”

Javasche Courant edisi April 1879 menambahkan daftar panjang bangunan yang tidak bisa dipakai lagi. Penjara, gudang garam, markas pemadam kebakaran, hingga gudang pos semuanya roboh atau rusak berat. Kota yang dibangun dengan penuh kebanggaan kolonial, dalam sekejap menjadi kota berantakan.

Suasana pasca-gempa sungguh kacau. Orang Belanda yang biasa menikmati kopi di beranda rumah batu kini terpaksa tidur beratapkan langit. Orang pribumi pun kehilangan rumah, masjid, dan pekerjaan mereka. Kota administratif yang semula berdiri tegak mendadak berubah jadi hamparan puing-puing.

Padahal, tanda-tanda bencana sebenarnya sudah terasa beberapa minggu sebelumnya. Terdengar suara gemuruh dari dalam tanah, sementara Gunung Gede sempat menyemburkan abu, asap, dan belerang. Banyak orang mengira itu sudah jadi jalan keluar bagi gas bumi, sehingga ancaman gempa dianggap kecil. Anggapan itu salah besar.

Baca Juga: Sejarah Bandung dari Paradise in Exile Sampai jadi Kota Impian Daendels

Kabar simpang siur juga memperburuk suasana. Misalnya laporan awal yang menyebut jembatan Cisokan roboh. Setelah diperiksa, ternyata hanya retak di bagian tertentu. Untunglah, karena jembatan itu jalur vital yang menghubungkan Cianjur dengan daerah sekitarnya.

Warga Eropa di Cianjur yang sebelumnya betah menikmati udara sejuk Priangan tiba-tiba harus tidur di tenda atau di tanah lapang, karena takut masuk rumah yang sudah retak. Orang pribumi pun tidak jauh berbeda, banyak yang kehilangan rumah dan keluarga. Bagi orang kecil, tentu kerugian ini lebih besar, meski yang banyak tercatat dalam laporan kolonial adalah kerugian gedung-gedung megah milik pemerintah dan orang Eropa.

Gempa 1879 di Cianjur bukan hanya soal angka korban dan jumlah bangunan yang runtuh. Ia juga memberi alasan lebih kuat bagi pemerintah kolonial untuk melanjutkan rencana memindahkan pusat administrasi dari Cianjur ke Bandung. Sejak dekade 1860-an, Bandung memang sudah mulai dipromosikan sebagai kota baru, lebih strategis dan dianggap lebih aman.

Cianjur, yang sebelumnya jadi pusat elit kolonial di Priangan, perlahan kehilangan pamornya. Rumah-rumah megah yang roboh pada 1879 jadi simbol rapuhnya proyek kolonial di kota itu. Bandung kemudian naik daun, apalagi setelah jalur kereta api Batavia–Bandung dibuka pada 1884, memudahkan mobilitas pejabat dan komoditas.

Bagi orang Cianjur sendiri, gempa 1879 adalah peristiwa yang meninggalkan luka mendalam. Kepala Panghulu yang wafat bersama jamaahnya dalam runtuhan masjid menandai bahwa bencana tidak pandang bulu. Gedung kolonial maupun rumah ibadah sama-sama bisa roboh bila bumi sudah bergetar.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 02 Nov 2025, 05:42 WIB

Menggenggam Asa Hafalan, Sang Penghidup Tradisi Tahfiz MTs Kifayatul Achyar

Kisah inspiratif Sholihin, pembina tahfiz yang berhasil menghidupkan kembali program hafalan para siswa di MTs Kifayatul Achyar.
Sosok Sholihin yang giat membina tahfiz siswa/i MTs Kifayatul Achyar (Foto: Nabella Putri Sanrissa)
Ayo Biz 01 Nov 2025, 15:18 WIB

Transformasi Pusat Perbelanjaan Bandung, Menjawab Tantangan Ritel dengan Inovasi dan Koneksi Sosial

Perubahan perilaku konsumen, menuntut mal yang dulunya menjadi destinasi utama kini harus bersaing dengan kenyamanan belanja daring dan tuntutan pengalaman lebih personal.
Perubahan perilaku konsumen, menuntut mal yang dulunya menjadi destinasi utama kini harus bersaing dengan kenyamanan belanja daring dan tuntutan pengalaman lebih personal. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 01 Nov 2025, 14:22 WIB

Membentuk Karakter Gen Z di Era Digital: Antara Teknologi, Kreativitas, dan Tantangan Edukasi

Lahir dalam era konektivitas tinggi, Gen Z tumbuh bersama internet, media sosial, dan perangkat pintar yang menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian.
Lahir dalam era konektivitas tinggi, Gen Z tumbuh bersama internet, media sosial, dan perangkat pintar yang menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 01 Nov 2025, 12:51 WIB

Menanam Masa Depan, Mustika Arsri dan Revolusi Teknologi di Ladang Petani Muda

Habibi Garden lahir dari visi besar untuk membangkitkan semangat petani muda dan mendorong regenerasi tenaga kerja di sektor agrikultur.
Habibi Garden lahir dari visi besar untuk membangkitkan semangat petani muda dan mendorong regenerasi tenaga kerja di sektor agrikultur. (Sumber: dok Habibi Garden)
Ayo Jelajah 31 Okt 2025, 21:42 WIB

Hikayat Skandal Kavling Gate, Korupsi Uang Kadeudeuh yang Guncang DPRD Jawa Barat

Saat uang kadeudeuh jadi bencana politik. Skandal Kavling Gate membuka borok korupsi berjamaah di DPRD Jawa Barat awal 2000-an.
Gedung DPRD Jawa Barat.
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 20:26 WIB

Berkunjung ke Perpustakaan Jusuf Kalla di Kota Depok

Perpustakaan Jusuf Kalla bisa menjadi alternatif bagi wargi Bandung yang sedang berkunjung ke luar kota.
Perpustakaan Jusuf Kalla di Kawasan Universitas Islam Internasional Indonesia Kota Depok (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Beranda 31 Okt 2025, 19:03 WIB

Energi Selamatkan Nyawa: Gas Alam Pertamina Terangi Rumah Sakit di Hiruk Pikuk Kota

PGN sebagai subholding gas Pertamina terus memperluas pemanfaatan gas bumi melalui berbagai inovasi, salah satunya skema beyond pipeline menggunakan CNG.
Instalasi Gizi RSUP Hasan Sadikin. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Gilang Fathu Romadhan)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 18:22 WIB

Gunung Puntang, Surga Sejuk di Bandung Selatan yang Sarat Cerita

Gunung Puntang menjadi salah satu destinasi wisata alam yang paling populer di Bandung Selatan.
Suasana senja di kawasan Gunung Puntang, Bandung Selatan. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Naila Salsa Bila)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 17:00 WIB

Kehangatan dalam Secangkir Cerita di Kedai Kopi Athar

Kedai Yang suka dikunjungi mahasiswa UIN SGD 2, tempat refresing otak sehabis belajar.
Kedai Kopi Athar, tempat refresing otak Mahasiswa UIN SGD kampus 2. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Fikri Syahrul Mubarok)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 16:17 WIB

Berhenti Jadi People Pleaser, Yuk Belajar Sayang sama Diri Sendiri!

Jika Anda hidup untuk menyenangkan orang lain, semua orang akan mencintai Anda, kecuali diri Anda sendiri. (Paulo Coelho)
Buku "Sayangi Dirimu, Berhentilah Menyenangkan Semua Orang" (Foto: Penulis)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 16:01 WIB

Santri Jangan Cuma Dirayakan, tapi Dihidupkan

Hari Santri bukan sekadar seremoni. Ia seharusnya menjadi momentum bagi para santri untuk kembali menyalakan ruh perjuangan.
Santri di Indonesia. (Sumber: Unsplash/ Muhammad Azzam)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 14:50 WIB

Sarapan, 'Ritual' yang Sering Terlupakan oleh Mahasiswa Kos

Sarapan yang sering terlupakan bagi anak kos, padahal penting banget buat energi dan fokus kuliah.
Bubur ayam sering jadi menu sarapan umum di Indonesia. (Sumber: Unsplash/ Zaky Hadi)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 14:01 WIB

Balqis Rumaisha, Hafidzah Cilik yang Berprestasi

Sebuah feature yang menceritakan seorang siswi SMP QLP Rabbani yang berjuang untuk menghafal dan menjaga Al-Qur'an.
Balqis Rumaisha saat wawancara di SMP QLP Rabbani (Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis | Foto: Salsabiil Firdaus)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 13:01 WIB

Antara Kebebasan Berpendapat dan Pengawasan Digital: Refleksi atas Kasus TikTok di Indonesia

Artikel ini membahas polemik antara pemerintah Indonesia dan platform TikTok terkait kebijakan pengawasan digital.
Artikel ini membahas polemik antara pemerintah Indonesia dan platform TikTok terkait kebijakan pengawasan digital. (Sumber: Pexels/cottonbro studio)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 11:12 WIB

Self-Care ala Korea: dari Rutinitas Skincare ke Gaya Hidup Positif

Glowing bukan cuma dari skincare, tapi juga dari hati yang tenang.
Penggunaan skincare rutin sebagai bentuk mencintai diri sendiri. (Sumber: Pexels/Rheza Aulia)
Ayo Jelajah 31 Okt 2025, 09:46 WIB

Hikayat Pembubaran Diskusi Ultimus, Jejak Paranoia Kiri di Bandung

Kilas balik pembubaran diskusi buku di Toko Buku Ultimus Bandung tahun 2006, simbol ketegangan antara kebebasan berpikir dan paranoia anti-komunis.
Ilustrasi pembubaran diskusi di Ultimus Bandung.
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 09:39 WIB

Kala Cinta Tak Secepat Jadwal Keluarga, Realita Film 'Jodoh 3 Bujang'

Kisah tiga bersaudara yang harus menikah bersamaan demi tradisi.
Salah satu adegan di film 'Jodoh 3 Bujang'. (Sumber: Instagram/Jodoh 3 Bujang)
Ayo Jelajah 31 Okt 2025, 08:38 WIB

Hikayat Janggal Pembunuhan Brutal Wanita Jepang Istri Pengacara di Bandung

Polisi menemukan jasadnya dengan pisau masih menancap. Tapi siapa pembunuhnya? Dua dekade berlalu, jawabannya hilang.
Ilustrasi (Sumber: Shutterstock)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 07:50 WIB

Menepi Sejenak Menikmati Sore di Bandung Utara

Kamakarsa Garden adalah salah satu tempat yang bisa dikunjungi di daerah Bandung Utara untuk sejenak menepi dari hingar-bingar perkotaan.
Kamakarsa Garden (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Netizen 30 Okt 2025, 19:42 WIB

Perempuan Pemuka Agama, Kenapa Tidak?

Namun sejarah dan bahkan tradisi suci sendiri, tidak sepenuhnya kering dari figur perempuan suci.
Dalam Islam, Fatimah az-Zahra, putri Nabi, berdiri sebagai teladan kesetiaan, keberanian, dan pengetahuan. (Sumber: Pexels/Mohamed Zarandah)