Perjuangan Seorang Santri Menebarkan Ilmu Melalui Kitab Kuning

Nabillah Luthfiyana
Ditulis oleh Nabillah Luthfiyana diterbitkan Kamis 06 Nov 2025, 12:09 WIB
Defan, seorang pemuda asal Bandung yang menjadikan kitab kuning bukan sekadar bacaan, tetapi jalan untuk menempa karakter dan memperkuat keyakinan hidupnya. (Sumber: Dokumentasi Penulis)

Defan, seorang pemuda asal Bandung yang menjadikan kitab kuning bukan sekadar bacaan, tetapi jalan untuk menempa karakter dan memperkuat keyakinan hidupnya. (Sumber: Dokumentasi Penulis)

Di balik kesederhanaan seorang santri di Madrasah Aliyah Sukamiskin, tersimpan kisah yang begitu hangat dan menginspirasi tentang keteguhan hati, kesabaran, dan semangat belajar yang tidak pernah padam. Ia adalah Defani Haspati, atau yang akrab disapa Defan, seorang pemuda asal Bandung yang menjadikan kitab kuning bukan sekadar bacaan, tetapi jalan untuk menempa karakter dan memperkuat keyakinan hidupnya.

Dari kecil, Defani sudah terbiasa dengan kehidupan pesantren. Ia menempuh pendidikan dasar di kampung halamannya sebelum akhirnya menghabiskan hampir seluruh masa remajanya di lingkungan pesantren yang penuh dengan nilai-nilai keagamaan. Kini, selain menjadi pengurus bidang pendidikan di madrasahnya, ia juga tengah menempuh pendidikan tinggi. Kesibukan itu tidak membuatnya lelah, justru menjadi ruang baru untuk terus belajar dan menebar inspirasi bagi sekitarnya.

Perkenalan Defani dengan kitab kuning dimulai sejak kelas dua Aliyah, sekitar enam tahun lalu. Kitab pertama yang ia pelajari adalah Fathul Mu’in, salah satu kitab klasik penting dalam kajian fikih. Ketertarikan itu muncul dari keinginan sederhana: ingin berkembang.

“Awalnya karena di pesantren pelajaran utamanya tahrib, tapi setelah delapan tahun belajar, rasanya belum ada peningkatan. Makanya saya coba ke Fathul Mu’in biar ada tantangan baru,” kenangnya.

Keputusan itu membawa perubahan besar dalam hidupnya. Dari kitab kuning, Defani belajar bahwa memahami ilmu agama bukan hanya soal hafalan, tapi juga tentang kesabaran dalam proses. Ia pun menemukan bahwa membaca kitab tidak sesulit yang dibayangkan jika dilakukan dengan hati.

Sosok yang paling berpengaruh dalam perjalanan Defani adalah gurunya, Kang Mimit atau Raden Halbar, seorang pengajar di Madrasah Sanawiyah yang juga dikenal sebagai pendidik yang penuh keteladanan.

“Beliau itu bukan cuma ngajarin, tapi juga ngebentuk karakter. Dari beliau saya belajar sabar dan konsisten,” ujar Defani.

Lingkungan pesantren pun sangat mendukung perjuangannya. Saat mengikuti kegiatan atau perlombaan, pihak pesantren selalu membantu menanggung biaya dan kebutuhan santri.

“Jadi kami bisa fokus belajar tanpa mikirin ongkos. Itu sangat berarti,” tambahnya.

Keikutsertaannya dalam lomba membaca kitab Fathul Mu’in pun berawal dari rasa penasaran. Dengan waktu persiapan hanya dua minggu, ia tetap memutuskan ikut meski merasa belum siap sepenuhnya.

“Saya cuma pengen ngerasain pengalaman baru, nggak ada niat harus menang,” katanya sambil tersenyum. Namun tak disangka, dengan metode belajar yang tak biasa membaca secara acak dari satu halaman ke halaman lain ia justru berhasil menampilkan yang terbaik. Saat namanya diumumkan sebagai pemenang, Defani sempat tak percaya.

“Saya kaget banget. Niatnya cuma cari pengalaman, tapi malah juara,” ujarnya merendah.

Bagi Defani, kemenangan itu bukan hasil pribadi semata. “Kalau saya menang, berarti pesantren dan sistem pendidikannya juga menang. Karena karakter seseorang kan dibentuk dari lingkungannya,” ucapnya bijak.

Belajar kitab, bagi Defani, bukan tentang siapa yang paling cepat bisa, tapi siapa yang paling sabar bertahan. Ia pernah menyelesaikan tahrib hingga 1.300 kali dalam empat tahun hanya untuk bisa membaca kitab tanpa harakat.

“Saya orangnya lemot dan cadel, tapi bisa istiqamah. Teman saya pernah bilang, ‘berjuang itu mudah, tapi bertahan itu yang susah,’ dan saya ngerasain banget,” tuturnya.

Ia sering diremehkan karena kekurangannya, tapi hal itu justru menjadi bahan bakar semangatnya.

“Dulu saya sering dibilang ‘ah kamu mah cadel, bisa apa?’ tapi justru itu yang bikin saya pengen buktiin kalau saya juga bisa,” katanya.

Di tengah derasnya arus digital yang membuat banyak orang mudah kehilangan fokus, Defani punya prinsip sederhana untuk tetap semangat belajar.

“Kita harus punya dua sifat: buta dan tuli. Buta terhadap pencapaian orang lain, dan tuli terhadap hinaan orang. Kalau ada komentar bagus, ambil. Kalau jelek, anggap aja suara lewat,” ujarnya tegas. I

a juga berpesan pada teman-teman santri agar tidak terburu-buru dalam belajar. “Saya aja empat tahun baru ngerti dasarnya. Jadi jangan patah di tengah jalan, karena kalau berhenti, semua usaha jadi sia-sia. Mending lanjut aja,” pesannya.

Namun di balik keteguhan dan sikap rendah hatinya, Defani menyimpan luka lama yang membentuk kepribadiannya hingga kini. Saat masih duduk di bangku SD, ia pernah difitnah mencuri uang masjid dan bahkan dipukuli warga, termasuk ayahnya sendiri yang sempat mempercayai tuduhan itu.

“Sejak itu, saya benci banget sama masyarakat. Rasanya mereka bukan manusia,” kenangnya lirih.

Butuh waktu lama bagi Defani untuk memaafkan dan berdamai dengan masa lalunya. Melalui kajian humaniora dan pengalaman hidup di pesantren, ia akhirnya menyadari bahwa kebencian hanya akan memperpanjang luka.

“Saya belajar, seburuk apa pun masyarakat, mereka tetap manusia. Sekarang cita-cita saya cuma satu: ingin menyadarkan masyarakat supaya nggak ada lagi orang yang diperlakukan seperti saya dulu,” tuturnya penuh harap.

Kini, semangat itu menjadi arah hidupnya. Defani ingin menjadi jembatan antara ilmu agama dan kemanusiaan, agar pesantren tidak hanya mencetak santri yang cerdas membaca kitab, tetapi juga yang peka terhadap realitas sosial. Ia percaya bahwa ilmu sejati bukan hanya untuk memahami teks, tetapi juga untuk menumbuhkan rasa empati terhadap sesama.

Defani Haspati adalah cermin ketulusan seorang santri yang bertahan di tengah ujian hidup. Dari seorang anak kampung yang dulu diremehkan karena cadel, ia menjelma menjadi sosok yang mengajarkan arti sejati dari istiqomah. Ia tidak mencari sorotan, tapi kisahnya bersinar dengan sendirinya mengajarkan bahwa keberhasilan sejati tidak diukur dari seberapa tinggi seseorang berdiri, melainkan dari seberapa kuat ia mampu bertahan di tengah badai. (*)

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Nabillah Luthfiyana
nothing impossible
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Netizen 06 Nov 2025, 12:09 WIB

Perjuangan Seorang Santri Menebarkan Ilmu Melalui Kitab Kuning

Di balik kesederhanaan seorang santri di Madrasah Aliyah Sukamiskin, tersimpan kisah yang begitu hangat dan menginspirasi.
Defan, seorang pemuda asal Bandung yang menjadikan kitab kuning bukan sekadar bacaan, tetapi jalan untuk menempa karakter dan memperkuat keyakinan hidupnya. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 06 Nov 2025, 09:12 WIB

Mimpi UMKM Lokal di Panggung Livin’ Fest 2025

Livin’ Fest 2025 jadi panggung bagi UMKM muda menunjukkan karya dan cerita mereka.
Antusias Pengunjung Livin' Market 2025 (Sumber: Dokumentasi Penulis| Foto: Firqotu Naajiyah)
Ayo Netizen 06 Nov 2025, 07:42 WIB

Perspektif Lain Sejarah Indonesia lewat Buku Dalih Pembunuhan Massal Karya Jhon Roosa

Buku Pembunuhan Massal Karya Jhon Roosa merupakan buku yang menyajikan perspektif lain dari sejarah yang selama ini kita yakini.
Buku Dalih Pembunuhan Massal Karya Jhon Roosa (Sumber: Instagram | Katalisbook)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 20:12 WIB

Keringat yang Bercerita, Potret Gaya Hidup Sehat di Perkotaan

Melalui feature ini pembaca diajak menyelami suasana pagi yang penuh semangat di tengah denyut kehidupan masyarakat perkotaan.
Ilustrasi olahraga lari. (Sumber: Pexels/Ketut Subiyanto)
Mayantara 05 Nov 2025, 19:29 WIB

Budaya Scrolling: Cermin dari Logika Zaman

Di banyak ruang sunyi hari ini, kita melihat pemandangan yang sama, seseorang menunduk menatap layar, menggulir tanpa henti.
Kita menyebutnya scrolling, para peneliti menyebutnya sebagai ritual baru zaman digital. (Sumber: Pexels/cottonbro studio)
Ayo Biz 05 Nov 2025, 18:38 WIB

Deteksi Dini Anak Berkebutuhan Khusus, antara Keresahan Orang Tua dan Tantangan Penerimaan

Selain faktor akses, stigma sosial menjadi penghalang besar. Tidak sedikit orang tua yang enggan memeriksakan anak karena takut dicap atau dikucilkan.
Ilustrasi. Deteksi dini anak berkebutuhan khusus masih menjadi isu mendesak di Indonesia. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 17:21 WIB

10 Penulis Terpilih Oktober 2025: Kritik Tajam untuk Bandung yang 'Tidak Hijau'

Inilah 10 penulis terbaik yang berhasil menorehkan karya-karya berkualitas di kanal AYO NETIZEN sepanjang Oktober 2025.
Banjir di Kampung Bojong Asih, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, pada Minggu, 9 Maret 2025. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Biz 05 Nov 2025, 14:48 WIB

Cibunut Berwarna Ceminan Semangat Ekonomi Kreatif dan Pemberdayaan Pemuda di Gang-gang Kota Bandung

Kampung Cibunut menjelma menjadi simbol pemberdayaan ekonomi wilayah dan pemuda melalui semangat ekonomi kreatif yang tumbuh dari akar komunitas.
Kampung Cibunut menjelma menjadi simbol pemberdayaan ekonomi wilayah dan pemuda melalui semangat ekonomi kreatif yang tumbuh dari akar komunitas. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Jelajah 05 Nov 2025, 12:49 WIB

Hikayat Pelarian Eddy Tansil, Koruptor Legendaris Paling Diburu di Indonesia

Kisah dramatis pelarian Eddy Tansil, koruptor legendaris yang lolos dari LP Cipinang tahun 1996 dan tak tertangkap hingga kini, jadi simbol abadi rapuhnya hukum di Indonesia.
Eddy Tansil saat sidang korupsi Bapindo. (Sumber: Panji Masyarakat Agustus 1994)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 11:49 WIB

Garis Merah di Atas Kepala Kita

Refleksi Moral atas Fenomena S-Line dan Krisis Rasa Malu di Era Digital
poster film S-Line (Sumber: Video.com)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 10:55 WIB

Bergadang dan Tugas, Dilema Wajar di Kalangan Mahasiswa?

Feature ini menyoroti kebiasaan bergadang mahasiswa yang dianggap wajar demi tugas dan fokus malam hari.
Ilustrasi mengerjakan tugas di waktu malam hari (Sumber: Pribadi | Foto: Muhamad Alan Azizal)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 09:26 WIB

Bicara tentang Ramuan Khusus Seorang Pemimpin Muda

4 ramuan khusus atau four action yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin muda.
Muhammad Fatahillah, Ketua OSIS (Organisasi Intra Siswa Sekolah) MAN 2 Kota Bandung (Sumber: Highcall Ziqrul | Foto: Highcall Ziqrul)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 08:48 WIB

Menyemai Minat Baca Mahasiswa di Tengah Dunia Digital

Fenomena pergeseran bentuk literasi di kalangan civitas akademika, terutama dunia kampus
Kegiatan literasi mahasiswa di perpustakaan UIN Sunan Gunung Djati Bandung (Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis | Foto: Salsabiil Firdaus)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 07:57 WIB

Bystander Effect yang Dialami Perempuan dalam Film Shutter (2025)

Film horor di Indonesia tidak lepas mengangkat tokoh perempuan sebagai korban kekerasan atau pelecehan seksual hingga mengalami Bystander Effect.
Isu Byestander Effect dalam Film Shutter (Sumber: Instagram | Falconpicture)
Ayo Netizen 04 Nov 2025, 20:02 WIB

Teja Paku Alam Bermain Gemilang, ’Sudahlah Persib Tak Butuh Kiper Asing’

Siapa pun tahu penjaga gawang nomor satu Persib bukanlah Teja Paku Alam, tapi Adam Przybek, pemain asing berkebangsaan Polandia.
Penjaga gawang Persib Teja Paku Alam (kanan), dan Adam Przybek (tengah) pemain asing berkebangsaan Polandia. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Biz 04 Nov 2025, 19:33 WIB

Menanam Harapan di Tengah Krisis Hijau, Membangun Semangat Pelestarian Hutan Lewat Edutourism

Edutourism menawarkan pengalaman wisata yang tidak hanya menyenangkan, tetapi juga membangun kesadaran ekologis.
Contoh nyata praktik edutourism adalah Orchid Forest Cikole. Tidak hanya menawarkan keindahan lanskap, tetapi juga jadi ruang belajar tentang pentingnya pelestarian hutan dan tanaman anggrek. (Sumber: dok Orchid Forest Cikole)
Ayo Jelajah 04 Nov 2025, 18:27 WIB

Sejarah Kopo Bandung, Berawal dari Hikayat Sesepuh hingga Jadi Distrik Ikon Kemacetan

Dulu dibangun dengan darah dan keringat Eyang Jawi, kini Jalan Kopo jadi ikon kemacetan Bandung. Inilah sejarah panjangnya dari masa kolonial hingga modern.
Jalan di antara Cisondari dan Kopo zaman baheula. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 04 Nov 2025, 17:49 WIB

Suatu Malam yang Syahdu Menikmati ‘Sate Sadu’ Soreang yang Legendaris

Dalam sekejap, makanan habis. Keempukan daging, kegurihan rasa, menyatu. Sate Sadu memang legendaris.
Sate Sadu di Soreang, Kabupaten Bandung. (Sumber: Ulasan Pengguna Google)
Ayo Biz 04 Nov 2025, 17:29 WIB

Mengubah Cokelat Jadi Gerakan, Sinergi UMKM dan Petani dalam Rantai Pangan

Di tengah tren urbanisasi, muncul kesadaran baru bahwa produk pangan berbasis bahan baku lokal memiliki nilai lebih. Bukan hanya dari sisi rasa, tetapi juga dari dampak sosial yang ditimbulkan.
Battenberg3, sebuah UMKM yang menjadikan kolaborasi dengan petani sebagai inti bisnisnya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 04 Nov 2025, 17:00 WIB

Sosok yang Menyemai Harapan Hijau di Padatnya Kota Bandung

Di bawah kepemimpinannya, program Buruan SAE meraih berbagai penghargaan nasional dan internasional.
Gin Gin Ginanjar. Di bawah kepemimpinannya, program Buruan SAE meraih berbagai penghargaan nasional dan internasional. (Sumber: Humas DKPP Bandung | Foto: Humas DKPP Bandung)