Sejarah Kopo Bandung, Berawal dari Hikayat Sesepuh hingga Jadi Distrik Ikon Kemacetan

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Selasa 04 Nov 2025, 18:27 WIB
Jalan di antara Cisondari dan Kopo zaman baheula. (Sumber: KITLV)

Jalan di antara Cisondari dan Kopo zaman baheula. (Sumber: KITLV)

AYOBANDUNG.ID - Setiap hari, Jalan Raya Kopo seperti panggung besar bagi kesabaran manusia. Klakson bersahut-sahutan, motor merayap di antara mobil, dan udara dipenuhi aroma knalpot yang lebih pekat dari kopi hitam. Di balik kekacauan lalu lintas yang tak pernah sepi itu, tersembunyi kisah panjang tentang sebuah jalan yang dulunya dibangun dengan keringat dan pengorbanan, jauh sebelum Bandung mengenal kata “macet”.

Sebelum 1923, wilayah Kopo masih berupa desa tenang di pinggiran Bandung. Kepala desanya seorang “jawara tenar” bernama Eyang Jawi, atau lebih akrab disapa Eyang Kuwu, menurut sejulh sumber. Ia bukan pejabat yang menikmati gaji bulanan, tapi tipe pemimpin yang bekerja dengan tangan dan parang. Eyang Jawi memimpin langsung pembangunan jalan dari batas Blok Tempe (Panjunan) hingga Kampung Pangauban yang sekarang sudah masuk wilayah Desa Katapang. Proyek itu bukan proyek pemerintah kolonial, melainkan proyek “gotong royong plus pengorbanan nyawa”.

Bayangkan, membangun jalan di masa itu tanpa alat berat, tanpa aspal, dan tanpa tender. Hanya semangat, bambu, dan sedikit darah rakyat yang tumpah di tanah lempung Priangan. Begitu jalan itu selesai, masyarakat menamainya Jalan Kopo, konon untuk menghormati sang kuwu yang tinggal di bawah pohon rindang bernama Jambu Kopo. Versi lain mengatakan, nama itu berasal dari kebiasaan orang menyebut “jalan ka Kopo” untuk menuju kediaman Eyang Jawi atau Lembur Kopo. Intinya, dari awal, Kopo ini sudah punya banyak versi, bahkan sebelum macetnya punya banyak alasan.

Baca Juga: Jejak Sejarah Ujungberung, Kota Lama dan Kiblat Skena Underground di Timur Bandung

Tapi sejarah tentang Kopo tak berhenti di situ. Pada masa kolonial Belanda, kawasan Kopo menjelma jadi jalur penting. Jalan ini menghubungkan perkebunan teh dan kopi di selatan Bandung, seperti Soreang dan Ciwidey, dengan pusat kota. Jadi bisa dibilang, sejak awal abad ke-20, Kopo sudah sibuk. Bedanya, dulu sibuk oleh pedati berisi karung kopi, sekarang sibuk oleh Calya dan ojek online yang saling klakson.

Sekitar tahun 1921, jalur kereta api Bandung–Ciwidey dibuka. Termasuk di dalamnya, segmen Bandung–Kopo. Jalur ini dibangun oleh Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta api milik pemerintah kolonial Belanda. Pembangunan segmen Bandung–Kopo dimulai tahun 1917 dan selesai empat tahun kemudian. Biayanya mencapai 1,385 juta gulden—uang yang setara dengan ribuan motor bebek zaman sekarang.

Segmen ini sepanjang 26,5 kilometer, melewati stasiun-stasiun kecil seperti Cikudapateuh, Buahbatu, Dayeuhkolot, dan Banjaran, hingga berhenti di Kopo (Soreang). Keberadaan jalur ini menurunkan ongkos angkut hasil bumi drastis: dari 15–18 sen per ton (kalau pakai pedati) menjadi hanya 4 sen per ton. Kalau sekarang tarifnya bisa bikin dompet megap-megap, zaman itu malah jadi simbol efisiensi.

Segmen kedua, dari Kopo ke Ciwidey, baru rampung tahun 1924. Jalur ini terkenal sulit karena harus melintasi sungai dan lembah, jadi dibangun jembatan-jembatan megah seperti Jembatan Sadu dan Rancagoong. Sekelompok pegawai SS yang pertama kali mencobanya pada 17 Juni 1924. Dari sanalah jalur kereta ini resmi beroperasi penuh pada 1925. Bayangkan, kalau sekarang rute Kopo–Ciwidey bisa bikin jantung pengendara berdebar karena macet, dulu bikin jantung berdebar karena melewati jembatan tinggi di atas lembah.

Sayangnya, kejayaan itu tak bertahan lama. Seiring munculnya truk dan mobil pribadi di era 1970-an, jalur kereta Kopo mulai ditinggalkan. Tahun 1982, Staatsspoorwegen versi lokal (yang kini jadi PT KAI) resmi menonaktifkan rute Bandung–Ciwidey. Sebagian relnya dibongkar, sebagian lagi dikubur aspal. Dan nasib Kopo berubah lagi—dari jalur logistik kolonial menjadi jalur urban macet nasional.

Baca Juga: Sejarah Bandung dari Paradise in Exile Sampai jadi Kota Impian Daendels

Pada tahun 1923, dua desa yaitu Muara dan Kopo disatukan. Kawasan ini diapit Desa Cibodas di barat, Katapang di timur, Padasuka di selatan, dan Gajah Mekar di utara. Kepala desa pertama setelah penyatuan itu bernama Mohammad Isak, alias Apa Pabrik. Julukannya bukan sembarang nama—ia benar-benar punya pabrik penggilingan padi di Kopo. Zaman itu, di seluruh Jawa Barat, baru ada dua penggilingan padi modern: satu di Karawang, satu lagi di Kopo. Maka kalau kamu lewat Kopo dan mencium bau gabah di udara, mungkin itu aroma nostalgia zaman Apa Pabrik.

Tahun 1986, Desa Kopo dipecah dua: Desa Kopo dan Desa Kutawaringin. Mungkin ini cikal bakal dari banyaknya “macet administratif” di kemudian hari—karena ketika wilayah dipecah, tapi jalan tetap satu, kendaraan tetap menumpuk di situ-situ juga.

Kemacetan di kawasan Kopo. (Sumber: Twitter @yudyud70)
Kemacetan di kawasan Kopo. (Sumber: Twitter @yudyud70)

Kopo Kiwari jadi Sarang Kemacetan

Kalau di era kolonial Kopo jadi jalur emas untuk teh dan kopi, maka di era modern Kopo berubah jadi jalur besi untuk mobil dan motor. Pada tahun 1975, menurut buku Sejarah Kota Bandung 1945–1979, Kopo mulai masuk daftar kawasan pemukiman baru Bandung, bersama Gegerkalong, Arcamanik, Sarijadi, dan Kiaracondong. Artinya, sejak saat itu, Bandung mulai melebar ke selatan. Rumah tumbuh, toko berdiri, dan tentu saja, jalan yang dulu dibangun Eyang Jawi pelan-pelan kehilangan keteduhan pohon Jambu Kopo—berganti plang “ruko dijual” dan papan promosi perumahan.

Sekitar periode yang sama, Jalan Kopo sudah jadi pusat keramaian. Di depan Rumah Sakit Immanuel—yang sekarang jadi titik paling dihindari oleh pengemudi yang waras—pedagang kaki lima mulai berdagang. Semua pedagang berebut tempat strategis. Jalan yang dulu dibangun dengan pengorbanan jiwa, saat itu jadi arena tawar-menawar harga.

Lalu lintas pun mulai padat. Awalnya hanya di jam sibuk, lalu menjalar ke jam makan siang, dan kini menjadi padat permanen, suatu kondisi di mana jam sibuk adalah sepanjang hari. Siapa pun yang pernah mencoba menyeberang di Kopo pasti tahu sensasi itu: seperti latihan mental menghadapi akhirat.

Baca Juga: Sejarah Dago, Hutan Bandung yang Berubah jadi Kawasan Elit Belanda Era Kolonial

Problemnya bukan hanya volume kendaraan, tapi juga posisi strategis Kopo sebagai poros penghubung Bandung–Soreang. Setiap pagi, ribuan kendaraan dari Kabupaten Bandung masuk ke kota lewat jalur ini. Dan setiap sore, mereka semua pulang lewat jalur yang sama. Hasilnya? Jalan Kopo berubah jadi salah satu sirkuit kesabaran terbesar di seantero Bandung. Kadang motor merayap di trotoar, mobil menyalip lewat bahu jalan, dan pejalan kaki hanya bisa menatap langit, berharap malaikat sabar datang lebih dulu daripada angkot ngetem.

Beberapa ikon modern di kawasan ini termasuk perumahan Taman Kopo Indah (TKI) yang sudah dibangun sejak 1987 dan Miko Mall yang dibangun pada 2006 dekat perbatasan Kabupaten Bandung. Gedung 6 lantai ini semula bernama ITC Kopo namun berubah jadi Miko Mall pada 2008 silam.

Kepadatan di Jalan Raya Kopo ini juga takbisa dilepaskan dari aktivitas di kawasan satelitnya, seperti Cigondewah. Wilayah ini berkembang sebagai sentra industri dan perdagangan tekstil terbesar di Bandung, bahkan dikenal sebagai “surga kain” Indonesia. Beragam jenis kain dari katun, wol, sifon hingga linen yang dijual dengan harga terjangkau dan menarik pembeli lokal hingga mancanegara.

Kawasan Tekstil Cigondewah (KTC) yang berdiri sejak 2001 atas inisiatif Haji Kurnaen Wiriadisastra kini menjadi ikon wisata belanja dan sejak 2022 ditetapkan sebagai Kampung Kreatif Wisata. Lokasinya strategis di antara Jalan Holis dan Jalan Kopo, dekat Tol Kopo serta Taman Kopo Indah, menjadikannya bagian penting dari pusat sekunder Bandung Selatan. Namun, arus kendaraan pengangkut kain dan pengunjung kerap memicu kemacetan karena jalan sempit dan minimnya area parkir.

Pemerintah tentu tidak tinggal diam—setidaknya begitu katanya. Pada 2020, dibangunlah Flyover Kopo, proyek ambisius dengan dana Rp288,76 miliar yang dibiayai dari Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Proyek ini dimulai pada November 2020 dan diharapkan bisa mengurai kemacetan di persimpangan Kopo–Soekarno Hatta. Harapannya besar: kalau tak bisa menghapus macet, setidaknya bisa mengangkat mobil-mobil yang macet ke ketinggian baru.

Baca Juga: Sejarah Flyover Pasupati Bandung, Gagasan Kolonial yang Dieksekusi Setelah Reformasi

Flyover itu kini berdiri megah, dengan pilar beton yang gagah seperti monumen perlawanan terhadap kepadatan lalu lintas. Tapi apa daya, macet di Kopo masih saja enggan berpindah. Bukan apa-apa, Flyover Kopo itu dibangun di atas Jalan Soekarno-Hatta menuju Kopo, bukan di Jalan Raya Kopo yang jadi titik sumbat. Aliran kendaraan lebih terpecah setelah keluar Kopo. Namun sebelum itu, Kopo tetap jadi surganya para penikmat asap knalpot dan nyaring klakson.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 19 Des 2025, 21:14 WIB

Sate Murah di Tikungan Jalan Manisi, Favorit Mahasiswa Cibiru

Sate dengan harga yang murah meriah dan rasa yang enak serta memiliki tempat yang strategis di sekitar wilayah Cibiru.
Dengan harga Rp20.000, pembeli sudah mendapatkan satu porsi berisi 10 tusuk sate lengkap dengan nasi. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 20:24 WIB

Hidup Selaras dengan Alam, Solusi Mencegah Terjadinya Banjir di Musim Penghujan

Banjir menjadi salah satu masalah ketika musim hujan telah tiba, termasuk di Kota Bandung.
Salah satu dampak dari penurunan permukaan tanah adalah banjir seperti banjir cileuncang di Jalan Citarip Barat, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung, Rabu 28 Februari 2024. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al- Faritsi)
Ayo Jelajah 19 Des 2025, 19:15 WIB

Sejarah Jatinangor, Perkebunan Kolonial yang jadi Pabrik Sarjana di Timur Bandung

Jatinangor pernah hidup dari teh dan karet sebelum menjelma kawasan pendidikan terbesar di timur Bandung.
Jatinangor. (Sumber: sumedangkab.go.id)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 18:09 WIB

Abah, Buku Bekas, dan Denyut Intelektual

Mahasiswa lintas angkatan mengenalnya cukup dengan satu panggilan Abah. Bukan dosen, staf, bukan pula pustakawan kampus.
Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 16:01 WIB

Maribaya Natural Hotspring Resort: Wisata Alam, Relaksasi, dan Petualangan di Lembang

Maribaya Natural Hotspring Resort menawarkan pengalaman wisata alam dan relaksasi di tengah kesejukan Lembang.
Maribaya Lembang. (Sumber: Dokumen Pribadi)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 15:13 WIB

Bukit Pasir sebagai Benteng Alami dari Hempasan Tsunami 

Sand dune yang terbentuk oleh proses angin dan gelombang dapat mengurangi efek tsunami.
Teluk dengan pantai di selatan Jawa Barat yang landai, berpotensi terdampak hempasan maut tsunami. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: T. Bachtiar)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 14:22 WIB

Jualan setelah Maghrib Pulang Dinihari, Mi Goreng ‘Mas Sam’ Cari Orang Lapar di Malam Hari

Mengapa mesti nasi goreng “Mas Iput”? Orangnya ramah.
SAM adalah nama sebenarnya, tapi para pelanggannya telanjur menyebutnya “Mas Iput”. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 14:12 WIB

5 Hidden Gem Makanan Manis di Pasar Cihapit, Wajib Dicoba Saat Main ke Bandung!

Semuanya bisa ditemukan dalam satu area sambil menikmati suasana Pasar Cihapit.
Salah satu tempat dessert di Pasar Cihapit, yang menjadi tujuan berburu makanan manis bagi pengunjung. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 12:57 WIB

Twig Café Maribaya: Tempat Singgah Tenang dengan Pemandangan Air Terjun yang Menyegarkan Mata

Suasana Cafe yang sangat memanjakan mata dan pikiran lewat pemandangan nyata air terjun yang langsung hadir di depan mata.
Air terjun yang langsung terlihat dari kafe. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 11:46 WIB

Program CSR sebagai Alat Penembusan dosa

CSR harus dikembalikan ke inti, yaitu komitmen moral untuk mencegah kerusakan ekosistem sejak awal
Ilustrasi kayu hasil penebangan. (Sumber: Pexels/Pixabay)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 10:21 WIB

Keberlangsungan Suatu Negara dalam Bayang-Bayang Deformasi Kekuasaan

Sering kali ada pengaruh buruk dalam jalannya suatu pemerintahan yang dikenal dengan istilah deformasi kekuasaan.
 (Sumber: Gemini AI)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 09:24 WIB

Kota Bandung: Hak Trotoar, Pejalan Kaki, dan PKL

Antara hak pejalan kaki dan pedagang kaki lima yang harus diseimbangkan pemerintah Kota Bandung
Pejalan kaki harus melintas di jalan yang diisi oleh para pedagang di trotoar Lengkong Street Food, Kamis, 4 Desember 2025. (Sumber: Dokumentasi pribadi | Foto: Taqiyya Tamrin Tamam)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 09:13 WIB

Cibaduyut: Sentra Sepatu yang Berubah Menjadi Sentra Kemacetan

Cibaduyut tidak hanya menjadi pusat penjualan sepatu di Kota Bandung, tapi juga sebagai salah satu pusat kemacetan di kota ini.
Tampak jalanan yang dipenuhi kendaraan di Jln. Cibaduyut, Kota Bandung (04/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Yudhistira Rangga Eka Putra)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 21:16 WIB

Sambel Pecel Braga: Rumah bagi Lidah Nusantara

Sejak berdiri pada 2019, Sambel Pecel Braga telah menjadi destinasi kuliner yang berbeda dari hiruk- pikuk kota.
Sambel Pecel Braga di tengah hiruk pikuk perkotaan Bandung. (Foto: Fathiya Salsabila)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 20:42 WIB

Strategi Bersaing Membangun Bisnis Dessert di Tengah Tren yang Beragam

Di Tengah banyaknya tren yang cepat sekali berganti, hal ini merupakan kesempatan sekaligus tantangan bagi pengusaha dessert untuk terus mengikuti tren dan terus mengembangkan kreatifitas.
Dubai Truffle Mochi dan Pistabite Cookies. Menu favorite yang merupakan kreasi dari owner Bonsy Bites. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 20:08 WIB

Harapan Baru untuk Taman Tegallega sebagai Ruang Publik di Kota Bandung

Taman Tegallega makin ramai usai revitalisasi, namun kerusakan fasilitas,keamanan,dan pungli masih terjadi.
Area tribun Taman Tegalega terlihat sunyi pada Jumat, 5 Desember 2025, berlokasi di Jalan Otto Iskandardinata, Kelurahan Ciateul, Kecamatan Regol, Kota Bandung, Jawa Barat. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Ruth Sestovia Purba)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 19:38 WIB

Mengenal Gedung Sate, Ikon Arsitektur dan Sejarah Kota Bandung

Gedung Sate merupakan bangunan bersejarah di Kota Bandung yang menjadi ikon Jawa Barat.
Gedung Sate merupakan bangunan bersejarah di Kota Bandung yang menjadi ikon Jawa Barat. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 18:30 WIB

Kondisi Kebersihan Pasar Induk Caringin makin Parah, Pencemaran Lingkungan di Depan Mata

Pasar Induk Caringin sangat kotor, banyak sampah menumpuk, bau menyengat, dan saluran air yang tidak terawat, penyebab pencemaran lingkungan.
Pasar Induk Caringin mengalami penumpukan sampah pada area saluran air yang berlokasi di Jln. Soekarno-Hatta, Kec. Babakan Ciparay, Kota Bandung, pada awal Desember 2025 (Foto : Ratu Ghurofiljp)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 17:53 WIB

100 Tahun Pram, Apakah Sastra Masih Relevan?

Karya sastra Pramoedya yang akan selalu relevan dengan kondisi Indonesia yang kian memburuk.
Pramoedya Ananta Toer. (Sumber: Wikimedia Commons | Foto: Lontar Foundation)
Ayo Jelajah 18 Des 2025, 17:42 WIB

Hikayat Jejak Kopi Jawa di Balik Bahasa Pemrograman Java

Bahasa pemrograman Java lahir dari budaya kopi dan kerja insinyur Sun Microsystems dengan jejak tak langsung Pulau Jawa.
Proses pemilahan bijih kopi dengan mulut di Priangan tahun 1910-an. (Sumber: KITLV)