AYOBANDUNG.ID - Orang Bandung hari ini sering mendengar nama Ujungberung bukan dari buku sejarah, melainkan dari scene musik underground. Kawasan ini memang dikenal sebagai “kota cadas”-nya Bandung. Tapi jauh sebelum para gegedug Ujungberung Rebels berteriak-teriak di panggung, Ujungberung sudah lebih dulu punya cerita panjang. Ceritanya kadang mistis, kadang romantis, kadang kolonial, bahkan kadang bikin peta birokrasi berubah-ubah.
Penamaan Ujungberung tak lahir begitu saja. Dalam buku Ujungberung Serambi Timur Bandung (2009), Anto S. Widjaya menulis ada beberapa versi soal asal-usul nama ini. Versi pertama yang agak drama percintaan, berkaitan dengan mitos Sangkuriang dan Dayang Sumbi.
Ceritanya, Sangkuriang sedang sibuk bikin perahu dan danau raksasa, syarat agar ia bisa menikahi Dayang Sumbi, ibunya sendiri. Dayang Sumbi jelas panik, siapa pula yang mau dipersunting anaknya sendiri. Maka ia melambaikan selendang mayang sambil memohon matahari segera terbit. Ada pula yang bilang, lambaian itu kode agar para perempuan kampung menumbukkan alu di lesung, tanda pagi tiba.
Baca Juga: Sejarah Stroberi Ciwidey, Pernah jadi Sentra Produksi Terbesar dari Bandung Selatan
Singkat cerita, Sangkuriang gagal, ngamuk, lalu menendang perahunya sampai jadi Gunung Tangkuban Perahu. Selendang ibunya berubah jadi Gunung Manglayang. Tempat di mana nafsu Sangkuriang “mentok” itu disebut Ujungberun atau ujung dari nafsu berung-berung yang tak kesampaian.
Versi kedua lebih saintifik. Nama Ujungberung dikaitkan dengan Danau Bandung Purba, yang terbentuk sekitar enam ribu tahun lalu akibat letusan Gunung Tangkuban Parahu. Letusan itu menyumbat aliran Citarum Purba, membuat sebagian Bandung tergenang. Luasnya diperkirakan 50 km dari timur ke barat, dan 30 km dari utara ke selatan. Ujungberung dianggap salah satu tepiannya.
“Ujung” dalam toponimi Nusantara sering berarti daratan menjorok seperti Ujung Kulon atau Ujung Pandang. Jadi bisa dibilang, Ujungberung memang “tanjung” di tepian danau purba.
Boleh saja mau pilih versi mitologi atau geologi, keduanya sama-sama seru. Yang jelas, nama Ujungberung sudah muncul jauh sebelum kolonial Belanda menggambar-gambar peta Priangan.
Dari Distrik Kolonial hingga jadi Bagian Kota Bandung
Secara historis, Ujungberung mulai disebut pada abad ke-17 ketika wilayah Priangan berada di bawah Mataram Islam, pada masa Sultan Agung. Tapi titik balik besarnya terjadi awal abad ke-19, saat Herman Willem Daendels membangun Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) pada 1810. Dalam Bunga Rampai Pelestarian Budaya dan Sejarah Lokal (2012) terbitan Kemendikbud, Euis Thresnawaty S menyebut jalan lurus nan panjang ini membelah Ujungberung jadi dua: Oedjoengbroeng Kaler di utara dan Oedjoengbroeng Kidoel di selatan.
Ujungberung Kidul sebagian masih rawa bernama Geger Hanjuang, sisa Danau Bandung Purba. Sedangkan bagian utara sudah diincar Belanda untuk perkebunan kopi. Tak heran, nama-nama tempat di selatan banyak mengandung “ci” atau “ranca”: Cicadas, Cikadut, Cipadung, Rancaoray. Sementara utara lebih suka “pasir”: Pasirjati, Pasirluhur, Pasirleutik. Toponimi lokal jadi arsip geologi yang hidup.
Baca Juga: Ujungberung dan Gedebage Langganan Banjir, Seberapa Berdampak Kolam Retensi?
Setelah jalan pos dibuka, orang mulai berdatangan. Ada buruh kopi dari Sukabumi, Bogor, Cianjur, juga dari Garut, dibawa paksa untuk menggarap lahan milik tuan tanah Belanda. Salah satunya Andries de Wilde, yang konon punya dua pertiga wilayah Ujungberung atau sekitar 28 ribu hektar. Para Preangersplanters juga menjadikan Ujungberung Kaler sebagai pusat perkebunan kopi dan sapi. Sementara pribumi, bangsawan lokal, dan pegawai kolonial mengatur distrik. Tahun 1815, pemerintahan distrik resmi diberlakukan.

Ujungberung terus diutak-atik administratif: dibagi jadi Ujungberung Wetan dan Ujungberung Kulon pada 1840, lalu dipecah lagi jadi onderdistrik pada awal abad ke-20. Tahun 1870-an, Undang-Undang Agraria dan reorganisasi wilayah Priangan membuat pembangunan infrastruktur meningkat. Pusat pemerintahan Ujungberung Wetan dipindahkan dari Nyublek ke sekitar alun-alun Ujungberung, dekat posisi sekarang.
Jumlah penduduk pun berkembang. Pada 1869, Distrik Ujungberung Kulon berisi hampir 19 ribu jiwa, sementara Ujungberung Wetan lebih dari 12 ribu jiwa. Mereka tersebar di puluhan kampung, sebagian besar dekat jalur Jalan Raya Pos dan perkebunan.
Pada abad ke-20, peta Ujungberung makin sering digunting-tempel. Staatsblaad 1901 membagi distrik jadi onderdistrik Cibiru, Cibeunying, Buah Batu, Lembang, Balubur, hingga Andir. Kota Bandung yang terus membesar membuat wilayah Ujungberung berkurang. Tahun 1911, sebagian Distrik Ujungberung Kulon dipangkas masuk wilayah Kota Bandung. Tahun 1913, Distrik Ujungberung Wetan disederhanakan jadi empat onderdistrik: Cibeunying, Buah Batu, Cibiru, dan Ujungberung. Tapi 1929 dipangkas lagi jadi tiga onderdistrik: Ujungberung, Cicadas, Buah Batu.
Di masa Jepang, Ujungberung jadi salah satu titik logistik. Setelah kemerdekaan, wilayah ini ikut masuk dalam pertarungan politik dan pembangunan. Perubahan besar berikutnya terjadi pada 1987, ketika hampir sepertiga wilayah Ujungberung resmi masuk Kota Bandung. Pemerintahan kawedanaan dihapus. Sejak itu, Ujungberung hanya menjadi kecamatan biasa. Dari distrik kolonial yang pernah menguasai puluhan ribu hektar, kini tinggal bagian timur Bandung dengan alun-alun, pasar, dan citra “metal”.
Walau pangkatnya turun, jejak masa lalu masih terasa. Nama kampung-kampung yang berhubungan dengan rawa, bukit, dan air jadi penanda. Sisa jalan pos yang kini jadi jalur utama Bandung–Cirebon juga masih setia menghubungkan Ujungberung dengan dunia luar. Bahkan legenda Dayang Sumbi dan Sangkuriang masih diceritakan anak-anak sekolah.
Di akhir abad ke-20 ia berubah jadi ladang musik cadas. Pada awal 1990-an, muncul Ujungberung Rebels, komunitas musik underground yang menjadi salah satu kiblat musik cadas di Indonesia. Ujungberung Rebels muncul dari keresahan anak muda Bandung Timur di masa itu. Di kawasan Ujungberung, sekumpulan remaja yang gandrung musik keras mulai berkumpul. Awalnya mereka hanya nongkrong, bertukar kaset Metallica, Slayer, dan Sepultura. Dari situ tumbuh semangat membuat musik sendiri. Komunitas ini lahir dari kultur persaudaraan: siapa pun yang suka musik cadas bisa bergabung.
Baca Juga: Tragedi AACC Bandung 2008, Sabtu Kelabu Konser Beside
Pada pertengahan 1990-an, band seperti Burgerkill, Jasad, hingga Forgotten mulai mengibarkan bendera metal dari Ujungberung. Mereka tidak sekadar meniru Barat, tapi memberi napas lokal. Lirik dan gaya hidup para musisi kerap membawa aroma perlawanan. Ujungberung Rebels akhirnya menjadi identitas, bukan sekadar nama. Di Bandung, bahkan Indonesia, istilah itu jadi sinonim dengan “komunitas metal yang militan”.
Dari gigs kecil di lapangan hingga festival besar, mereka menjaga semangat kolektif. Bagi anak muda yang haus kebebasan, Ujungberung Rebels jadi rumah. Dari sinilah Bandung dijuluki “kota metal” Indonesia, dengan Ujungberung sebagai episentrumnya.
Sejarah Ujungberung ibarat wayang dengan banyak lakon. Ada lakon Sangkuriang, lakon tuan tanah Belanda, sampai lakon anak muda dengan gitar listrik full distorsi. Bedanya, kalau wayang biasanya punya dalang, Ujungberung seolah jalan sendiri tanpa naskah. Itulah sebabnya, meski kini cuma kecamatan, namanya tetap terdengar lebih gahar ketimbang wilayah sekitarnya.