Turisme, dalam wujudnya yang paling gencar dan masif, telah menjelma menjadi sebuah dilema eksistensial bagi Kota Bandung. Dikenal sejak era kolonial sebagai Paris van Java karena keindahan alam dan arsitektur Art Deco-nya, dan kini diakui secara global sebagai Kota Kreatif UNESCO, Bandung menjadi magnet yang tak terhindarkan bagi jutaan wisatawan, khususnya dari wilayah Jabodetabek, yang membanjiri kota setiap akhir pekan dan hari libur.
Di balik label dan daya tarik yang berkilauan ini, turisme di Bandung beroperasi layaknya pisau bermata dua yang tumpul dan berkarat. Sembari menjanjikan devisa dan menggerakkan roda perekonomian lokal, model turisme yang saat ini dominan yang berorientasi pada kecepatan, volume, dan konsumsi instan, justru secara sistemik menggerogoti kualitas hidup warga, menghancurkan aset lingkungan yang menjadi daya tarik utama, dan secara halus mengikis kekayaan budaya yang seharusnya dilindungi.
Kritik paling fundamental harus diarahkan pada kegagalan Bandung dalam mengelola kapasitas fisik dan sosial kota. Turisme massal yang berfokus pada kluster-kluster tertentu, seperti area factory outlet di Riau dan Dago, kluster kuliner, dan destinasi alam di Lembang dan Ciwidey, menciptakan krisis overtourism lokal yang terwujud dalam bentuk kemacetan total. Kemacetan ini bukan sekadar ketidaknyamanan lalu lintas; ia adalah manifestasi nyata dari ketidakadilan spasial dan sosial.
Warga Bandung dipaksa menghabiskan waktu berjam-jam di jalanan yang seharusnya efisien, menghambat akses terhadap fasilitas vital, dan menimbulkan kerugian ekonomi kolektif akibat inefisiensi mobilitas. Penduduk lokal sering merasa diasingkan dan terperangkap di kota sendiri, menjadi figuran yang mobilitasnya terhambat oleh kendaraan bernomor polisi luar kota. Gejala overtourism ini diperparah oleh infrastruktur yang rentan, di mana pembangunan jalan tol justru mempermudah masuknya volume turis tanpa diimbangi dengan sistem transportasi publik yang memadai untuk distribusi internal.
Ancaman ekologis menjadi krisis kedua yang jauh lebih serius dan bersifat jangka panjang. Kawasan Bandung Utara (KBU), yang merupakan paru-paru dan area resapan air utama bagi Bandung Raya, berada di bawah tekanan pembangunan yang intens. Permintaan pasar turisme yang tak pernah puas akan cafƩ with a view, vila harian mewah, dan resor telah memicu praktik pembangunan serampangan yang seringkali melanggar ketentuan Koefisien Dasar Hijau (KDH) dan peraturan tata ruang.
Pembangunan ini menyebabkan penyusutan drastis ruang terbuka hijau, yang secara langsung mengurangi daya serap air, meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang dan tanah longsor, dan yang paling ironis, menurunkan debit air tanah yang menjadi sumber air bersih bagi seluruh penduduk kota. Turisme di sini tidak hanya merusak, tetapi memakan aset ekologis sendiri demi keuntungan cepat, sebuah bentuk ekstraksi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan.
Selain itu, lonjakan volume turis secara langsung berkorelasi dengan volume sampah yang harus dikelola. Kota Bandung, yang sudah bergulat dengan masalah pengelolaan limbah yang kompleks (termasuk krisis di TPA regional), semakin tertekan oleh tumpukan sampah turisme yang musiman namun masif, mencemari lingkungan dan menambah beban operasional yang harus ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Secara ekonomi dan sosial, turisme di Bandung juga menciptakan disparitas yang dalam. Meskipun sektor ini menghasilkan devisa, manfaatnya tidak terdistribusi secara merata. Mayoritas keuntungan cenderung mengalir ke segelintir konglomerat besar pemilik jaringan hotel, factory outlet raksasa, dan operator tur berskala nasional.
Penduduk lokal sering hanya mendapatkan pekerjaan level bawah, musiman, dan rentan tanpa jaminan sosial yang memadai, menciptakan ilusi kemakmuran tanpa daya tahan ekonomi. Fenomena gentrifikasi turisme semakin memperburuk keadaan. Di area heritage seperti Jalan Braga atau kawasan Dago lama, maraknya investasi properti untuk diubah menjadi penginapan atau kafe viral menaikkan harga sewa dan properti secara tidak proporsional.
Para pemilik usaha kecil, pedagang kaki lima, dan bahkan penduduk asli yang telah lama tinggal di sana dipaksa pindah karena tidak mampu bersaing dengan biaya hidup yang melonjak, sehingga terjadi erosi identitas sosial dan budaya di jantung kota. Ruang publik dan interaksi sosial yang otentik digantikan oleh lanskap komersial yang homogen, di mana produk yang dijual seringkali lebih melayani selera turis daripada kebutuhan warga.
Di sisi budaya, turisme massal telah mendorong praktik komodifikasi yang dangkal. Warisan budaya Sunda dan sejarah kolonial seringkali direduksi menjadi sekadar latar belakang estetika untuk keperluan foto atau ornamen dekoratif. Ritual, kesenian tradisional, atau bahkan kuliner otentik disederhanakan dan dipersingkat agar sesuai dengan jadwal tur yang padat, mengorbankan kedalaman makna demi daya tarik komersial.

Kritik ini juga harus diarahkan pada praktik turistifikasi yang cenderung cepat puas dengan spot foto viral dan pengalaman Instagenic, mengabaikan kekayaan narasi sejarah arsitektur Art Deco atau filosofi kearifan lokal Sunda. Wisatawan menjadi konsumen pasif yang hanya menyentuh permukaan budaya, dan komunitas lokal didorong untuk memproduksi pertunjukan yang bersifat artifisial, yang dikenal sebagai staged authenticity, demi memenuhi ekspektasi pasar.
Untuk membalikkan keadaan dan mengarahkan Bandung menuju model yang benar-benar regeneratif, diperlukan intervensi kebijakan yang radikal dan holistik. Solusi tidak lagi hanya berfokus pada "mempertahankan" status quo yang sudah rusak, tetapi pada upaya memperbaiki, memulihkan, dan meningkatkan kualitas lingkungan dan sosial kota.
Pertama, Manajemen Mobilitas dan Spasial harus diutamakan. Pemerintah harus menerapkan kuota kunjungan yang ketat pada area-area ekologis yang sensitif, seperti KBU dan Ciwidey, terutama selama musim puncak. Ini harus didukung oleh sistem Park and Ride skala besar yang terletak strategis di pintu masuk kota, memaksa wisatawan menggunakan transportasi publik atau shuttle service internal untuk berkeliling.
Retribusi yang dikumpulkan dari kuota dan Park and Ride ini harus dialokasikan 100% untuk rehabilitasi lahan di KBU dan pemeliharaan infrastruktur lingkungan kota. Solusi jangka panjang adalah akselerasi pengembangan moda transportasi massal yang dapat diandalkan, seperti light rail transit (LRT) atau sistem bus rapid transit (BRT) yang terintegrasi, untuk mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi dan mengurai beban jalan.
Kedua, Transisi Ekonomi menuju Inklusivitas dan Keberlanjutan Lokal harus dilakukan. Pemerintah harus secara tegas menertibkan properti sewa jangka pendek ilegal yang beroperasi tanpa izin dan tanpa kontribusi pajak yang jelas, yang merupakan penyebab utama gentrifikasi. Pajak turisme yang dikumpulkan harus transparan dan diprioritaskan untuk dana pengembangan komunitas lokal, bukan sekadar masuk ke kas umum.
Perlu ada regulasi yang mewajibkan hotel dan restoran berskala besar untuk membangun rantai pasok lokal yang ketat, di mana persentase minimum bahan baku (makanan, minuman, suvenir) harus bersumber dari petani, produsen, dan pengusaha mikro di Bandung Raya. Ini akan memastikan bahwa uang turis berputar di ekonomi lokal, bukan hanya mengalir ke korporasi asing.
Ketiga, Reorientasi Kultural dan Edukasi Wisatawan adalah kunci. Bandung harus bergeser dari Turisme Factory Outlet ke Turisme Budaya Mendalam. Kurasi itinerary wisata harus fokus pada narasi sejarah arsitektur, filosofi Sunda, dan praktik kreatif yang otentik. Pengelolaan destinasi wisata alam dan budaya harus diserahkan atau melibatkan secara signifikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) atau koperasi komunitas lokal, memastikan bahwa mereka memiliki hak kedaulatan dan veto atas jenis pengembangan yang akan dilakukan di wilayah mereka.
Selain itu, edukasi pra-perjalanan harus diwajibkan oleh agen tur dan platform booking untuk mengubah turis menjadi wisatawan yang sadar (conscious travelers). Wisatawan harus mengerti bahwa mereka memiliki tanggung jawab etis dan lingkungan, dan bahwa setiap kunjungan mereka dapat menjadi peluang untuk regenerasi, bukan sekadar rekreasi.
Turisme memiliki potensi unik untuk menjadi kekuatan konservasi dan pemberdayaan. Namun, bagi Bandung, potensi itu tidak akan terwujud jika kota ini terus menerus diukur hanya dari volume uang yang masuk. Bandung harus mengganti lensa ekonomi sempit dengan visi keberlanjutan holistik, menempatkan kesejahteraan warga lokal dan kesehatan ekosistem sebagai metrik keberhasilan utama.
Perjalanan berikutnya ke Bandung harus menjadi sebuah janji moral, di mana setiap kedatangan meninggalkan jejak modal sosial dan ekologi yang positif. Ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan Paris van Java dari dirinya sendiri dan memastikan bahwa Kota Kreatif ini tidak hanya bertahan, tetapi benar-benar berkembang untuk generasi mendatang. (*)
