AYOBANDUNG.ID - Ciguriang, yang dulu dikenal sebagai kampung para dobi alias kuli cuci, kini tak lebih dari sepetak area kumuh di belakang GOR Padjadjaran, Kota Bandung. Hanya ada etalase sampah dan alat pancing yang mengapung di genangan air mata air. Tak ada sabun, tak ada tepung kanji, apalagi suara ketukan kain di atas batu nisan. Tempat ini kini jadi kolam pancingan warga, bukan lagi arena kerja para binatu pria yang bekerja semalaman.
Tak banyak warga Bandung modern yang tahu, kawasan Kebon Kawung dulunya punya reputasi sekelas “dhobi ghat” di Mumbai. “Dulu para binatu seantero Kota Bandung kalau mencuci di Kampung Dobi di Ciguriang,” ujar Irfan Teguh dari Komunitas Aleut.
Seperti pasar malam yang hanya buka semalam suntuk, aktivitas dobi di Ciguriang ramai justru ketika kota lain tertidur. Para lelaki menyambut malam dengan membawa timba dan sabun batang, membawa cucian dari warga Belanda dan pejabat bumiputra.
Tak biasa binatu diisi laki-laki. Tapi masuk akal kalau melihat metode mencuci kala itu: pakaian dibanting ke batu nisan bekas kuburan Eropa, yang kala itu banyak berserakan karena kompleks pemakaman Kristen Kebon Jahe mulai dipindah ke Jalan Pandu. Tapi, kuli cuci perempuan juga ada banyak.
Batu nisan itu keras, rata, dan cukup besar untuk dijadikan alas cucian. Salah satunya bertuliskan nama Elisabeth Adriana Hinse Rieman, lahir di Amsterdam tahun 1859 dan wafat di Bandoeng tahun 1903. Diduga, ia istri arsitek Lawang Sewu. Nasib nisannya tak lebih baik dari Ciguriang itu sendiri. Pindah ke Kantor Kelurahan Pasirkaliki dan ditemukan terbelah tahun 2015.
Dulu, para dobi biasa menyanyikan lagu dalam bahasa Sunda sambil membanting cucian. Ketukan dan nyanyian mereka bersahutan seperti paduan suara kampung. “Puluhan binatu membanting cucian sehingga membentuk irama musik,” kata Irfan. Musik itu bukan dari alat, tapi dari bebatuan dan cucian yang ditumbuk, mirip petani menumbuk padi. Dari tengah malam hingga subuh, musik dobi mengalun di jantung Bandung.
Untuk mencuci, cukup bayar satu sen. Sabun yang digunakan bukan deterjen, tapi sabun mandi berbentuk batang. Setelah itu, pakaian dikeringkan, ditabur tepung kanji agar mengilat, lalu disetrika dengan arang dan daun pisang untuk memberi harum khas. Seperti ritual membersihkan, para dobi tak sekadar mencuci, tapi juga menyiapkan wibawa pelanggan mereka lewat lipatan rapi dan aroma daun.
Pesanan datang bukan hanya dari Kebon Kawung. Bahkan Soreang pun mengirim cucian ke Ciguriang. “Pesanan banyak datang dari berbagai daerah,” kata Sarlan, warga asli Ciguriang kelahiran 1956.
Baca Juga: Hikayat Pasar Baru Bandung, Bermula dari Kerusuhan Ciguriang 1842
Kini, ia duduk menatap kolam pancingan di bekas mata air. Tak ada lagi tepung kanji atau nyanyian dini hari. “Kegiatan mencuci berhenti sekitar tahun 1970 ketika saluran terbagi dengan sumur warga dan kebutuhan di GOR Padjadjaran.”
Sekarang, air Ciguriang tidak sejernih dulu. Alirannya menyusut, direbut sumur artesis dan pipa-pipa GOR. Dari pusat kegiatan ekonomi mikro berbasis air, Ciguriang jadi genangan kecil tempat kail digantung, bukan sabun dibasuh.
Ciguriang hanyalah satu dari banyak kampung dobi di Nusantara. Di Padang, ada kawasan dengan nama sama. Bahkan di Johor, Malaysia, kampung binatu masih dikenal dengan nama Kampung Dobi. Kata dobi sendiri berasal dari India, merujuk pada pekerjaan mencuci di tepi sungai yang biasa dilakukan kasta rendah di Mumbai.
Bollywood pernah mengangkatnya jadi film, dan dari sanalah J.K. Rowling mungkin mendapat inspirasi menamai Dobby—peri rumah tangga kurus kering yang setia dan pekerja keras.

Sisa-sisa sejarah itu pernah coba digali Komunitas Aleut. Mereka menemukan batu nisan Elisabeth dan membawanya ke kelurahan. Tapi alih-alih dijaga, nisan itu retak dan nyaris dilupakan. “Jadi serba salah ketika kita menemukan sesuatu yang memiliki nilai sejarah lalu dipublikasikan, namun ketika diamankan pemerintah justru tidak terawat,” kata Irfan. Ia separuh kesal, separuh menyesal.
Dulu, mungkin lebih baik saat batu nisan itu digunakan warga buat mencuci. Ia berguna, dikenang, dan diraba setiap malam. Sekarang, hanya jadi reruntuhan di kantor kelurahan, menunggu waktu untuk benar-benar hilang.
Begitu juga dengan Ciguriang. Di atas kertas, ia adalah kampung dobi tertua di Bandung. Tapi tanpa upaya pelestarian atau sekadar papan informasi, ia hanya tinggal kenangan yang tenggelam di antara kail, limbah, dan kenangan yang tak selesai dibasuh.