AYOBANDUNG.ID -- Langit Bandung siang itu cerah, tapi udara di Jalan Asia Afrika terasa lebih dari sekadar hangat. Ada sesuatu yang lain, semacam gema sejarah yang tak pernah benar-benar padam.
Di antara deretan bangunan kolonial dan lalu lintas yang tak pernah tidur, berdiri sebuah bangunan yang menyimpan denyut masa lalu, yakni Museum Konferensi Asia-Afrika (KAA). Bukan sekadar museum, tapi ruang hidup yang terus berusaha menjawab satu pertanyaan penting: bagaimana sejarah bisa tetap bernapas di tengah zaman yang terus berubah?
Museum ini bukan tempat yang asing bagi Mia, warga Bandung yang siang itu kembali melangkah ke dalamnya. “Sebenarnya saya sudah beberapa kali berkunjung ke Museum KAA sih, dan enggak tahu kenapa saya enggak bosan-bosan,” katanya saat berbincang dengan Ayobandung.
“Yang menarik mungkin buat saya karena aura semangat KAA-nya dulu itu bisa dikemas dengan baik di museum ini jadi pengunjung enggak bosen," lanjut Mia.
Aura itu memang terasa. Di balik kaca-kaca pameran, terpampang dokumen, foto, dan artefak dari 29 negara yang pernah berkumpul di Bandung pada 1955. Mereka datang bukan untuk berperang, tapi untuk menyatakan bahwa dunia bisa dibangun di atas solidaritas, bukan dominasi. Museum ini, yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 24 April 1980, adalah penanda dari semangat itu, yakni Bandung Spirit, yang masih menggema hingga hari ini.
Renovasi besar pada 2005 menyambut peringatan 50 tahun Konferensi Asia-Afrika. Sejak itu, museum ini terus berbenah. Dari kehadiran ruang audiovisual, perpustakaan modern, dan pameran interaktif menjadi jembatan antara generasi digital dan sejarah diplomasi. Tapi lebih dari sekadar fasilitas, yang membuat museum ini tetap hidup adalah keterbukaannya.
“Ya, jadi bangga aja bisa berkunjung dan melihat langsung bukti sejarah. Juga berkunjung ke sini gratis, enggak mesti bayar jadi enggak ngebatasi masyarakat untuk mengenal sejarah. Kita juga dibolehkan selfie kok. Soalnya kan enggak afdol juga kalau wisatawan enggak foto-foto,” ujar Mia.
Museum KAA memang tidak pernah dimaksudkan sebagai ruang yang kaku. Lili, salah satu staf pengelola, menyebut bahwa tujuan utama mereka adalah menjaga agar semangat KAA tetap menyala. “Kami ingin menghidupkan semangat KAA pada pengunjung semua yang datang,” katanya.
Baginya, museum ini bukan hanya tempat menyimpan artefak, tapi juga tempat menyemai kesadaran. Namun, menjaga bara semangat itu bukan perkara mudah. Di tengah gempuran wisata komersial dan hiburan digital, Museum KAA menghadapi tantangan eksistensial untuk tetap relevan, hingga mampu menarik generasi muda yang lebih akrab dengan layar sentuh daripada lembar arsip.
Menurut data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, wisata edukatif seperti museum memiliki potensi besar dalam mendukung ekonomi kreatif berkelanjutan. Museum KAA bisa menjadi episentrum kolaborasi antara sejarah dan industri kreatif Bandung. Program tur tematik, pameran temporer, hingga produk-produk kreatif bertema sejarah bisa menjadi sumber pemasukan sekaligus memperluas jangkauan narasi.
Kolaborasi dengan UMKM lokal juga membuka peluang baru. Bayangkan pengunjung bisa membawa pulang suvenir yang bukan hanya cantik, tapi juga sarat makna. Upaya ini bukan sekadar bisnis, tapi cara lain menjaga sejarah tetap hidup di ruang-ruang keseharian.
Transformasi digital pun tak bisa dihindari. Museum KAA telah mulai merambah tur virtual dan konten daring, tapi masih butuh dukungan lebih besar agar bisa menjangkau audiens global. Di era di mana sejarah bisa diklik dan dibagikan, museum ini punya peluang menjadi ruang dialog lintas generasi dan lintas negara.
Pemerintah daerah dan pusat punya peran penting dalam menjaga keberlanjutan ini. Dukungan anggaran, promosi lintas platform, dan integrasi kurikulum sejarah yang kontekstual bisa memperkuat posisi Museum KAA sebagai destinasi strategis. Bukan hanya untuk wisata, tapi juga untuk diplomasi budaya.
Bandung hari ini adalah kota yang terus tumbuh dengan kreativitas, dengan tantangan, dengan harapan. Di tengah semua itu, Museum KAA berdiri sebagai pengingat bahwa kota ini pernah menjadi pusat dunia. “Kami juga ingin, supaya semangat KAA bisa membebas dan menggeloranya tidak hanya di ruang pamer. Tapi juga di kehidupan yang lebih luas," pungkas Lili.
Alternatif produk untuk wisata kota atau kebutuhan serupa:
