AYOBANDUNG.ID - Di tengah rimbun pepohonan dan suara bising kendaraan di Jalan Tamansari, kabar duka kembali merayap keluar dari balik pagar Kebun Binatang Bandung. Tujuh satwa dilaporkan mati dalam tiga bulan terakhir. Bukan satu jenis, tapi tujuh makhluk berbeda yang bernasib sama: nyawanya tak tertolong.
Bandung Zoo, yang dulunya dikenal sebagai Kebun Binatang Bandung, lagi-lagi terseret dalam sorotan publik. Dulu karena Kardit, seekor beruang madu yang viral karena kurus kering dan makan kotorannya sendiri. Kini, giliran kematian satwa massal yang menyita perhatian.
Kisahnya bermula sejak Maret 2025. Yayasan Margasatwa Tamansari, pengelola lama kebun binatang, digantikan oleh manajemen baru bernama Taman Sari Indonesia. Pergantian itu bukan cuma soal administrasi. Menurut Sulhan Syafi’i, atau yang akrab disapa Aan, situasi di lapangan langsung berubah drastis.
“Tanggal 20 Maret (masuk). Terus tanggal 21 Maret, kurator kita, kurator itu seperti komandan lapangan yang mengatur, dinonaktifkan,” ujar Aan saat ditemui pada Kamis, 3 Juli 2025.
Sebagai mantan Humas, Aan memang sudah tidak punya jabatan resmi, tapi dia tak tinggal diam. Dalam penuturannya, penonaktifan kurator itu seperti mencabut otak dari tubuh. Tanpa komando, para petugas kebingungan. Koordinasi lumpuh. Hasilnya bisa ditebak: miskoordinasi merajalela, kebijakan tak terarah, dan hewan jadi korban.
Beberapa satwa, seperti pelikan dan siamang, dipindahkan dari kandang lama ke kandang baru secara tergesa. Bukan dengan proses bertahap sebagaimana mestinya, melainkan dalam tempo satu hari. Pelikan, yang terbiasa dengan kolam dan tempat bertengger, kini berenang di kandang baru tanpa kolam, tanpa tempat istirahat.
“Berenang (tanpa kolam) selama hampir 24 jam, akhirnya kolaps,” tutur Aan.
Siamang pun tak lebih beruntung. Dari kandang tertutup, dia dipindahkan ke ruang terbuka. Dalam keadaan stres, siamang itu tersengat listrik dan terjatuh. “Biasanya kita mengeluarkan satwa itu, kadang-kadang dua minggu baru keluar. Ini mah sehari dipaksa,” katanya. Satwa itu sempat mogok makan dua hari dan diam membisu, beruntung nyawanya masih bisa diselamatkan.
Dampak dari pergeseran manajemen ini dirasakan luas. Aan menuturkan bahwa perubahan kebijakan menyebabkan stres massal pada satwa. Satwa yang seharusnya diperlakukan dengan pendekatan ilmiah dan penuh empati, justru dipaksa beradaptasi tanpa persiapan.
Dua Versi Kematian, Cuaca atau Salah Urus?
Tentu, tak semua pihak sepakat. Di sisi lain pagar, Ully Rangkuti yang kini menjabat sebagai Humas resmi Bandung Zoo, mengemukakan penjelasan berbeda. Ia mengakui memang ada kematian tujuh satwa, namun ia membantah keras jika penyebabnya adalah salah urus.
“Itu penyebabnya sebagian besar karena usia dan cuaca,” kata Ully. Ia menyebut, kematian satwa merupakan hal yang lumrah terjadi, terlebih dalam kondisi cuaca yang tak menentu dan usia satwa yang telah renta.
Terkait penyebab lainnya, Ully menuturkan pihaknya sudah bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). “Sudah diperiksa juga oleh BKSDA. Sudah di nekropsi bersama dengan mereka, sudah ada BAP-nya,” ungkapnya.
Tapi untuk hasil lengkap dari pemeriksaan itu, Ully menyerahkan kepada BKSDA. Menurutnya, hanya lembaga tersebut yang berwenang memberi penjelasan lebih lanjut. “Kalau ingin tahu detailnya nanti soal penyelamatan satwa, bisa kita ngobrol dengan orang yang memang di bidang itu,” tukasnya.
Pernyataan dari dua kubu ini menimbulkan satu pertanyaan besar: apakah benar cuaca dan usia jadi penyebab utama, atau ada hal yang lebih dalam seperti salah urus dan konflik inteinterna
Kasus Kardit, Bayang-bayang Lama yang Tak Juga Hilang
Terlepas dari apa pun jawabannya, satu hal pasti: ini bukan pertama kalinya Bandung Zoo jadi sorotan karena persoalan satwa. Publik masih ingat betul kasus Kardit, seekor beruang madu yang viral pada 2016. Tubuhnya kurus kering, kulitnya seperti menempel langsung ke tulang. Usianya sudah 25 tahun kala itu. Kardit tertangkap kamera sedang makan kotorannya sendiri.
Video itu pertama kali diunggah oleh Yayasan Scorpion Indonesia. Judulnya pun tak tanggung-tanggung: “Very sad. Sun Bears at Bandung Zoo look very thin and starving.” Publik geger. Kecaman datang dari berbagai penjuru dunia.

Hasil pemeriksaan laboratorium menyebut Kardit mengidap infeksi parasit. Fesesnya mengandung larva cacing. Namun meski begitu, ia tetap dibiarkan membaur bersama beruang lain. Tak ada isolasi, tak ada karantina. Padahal ia sudah terlihat begitu lemah.
Ironisnya, ada pula kisah soal donasi yang terkumpul untuk Kardit. Seorang warga negara Amerika Serikat, Rebecca, menggalang dana di situs crowdfunding. Katanya, untuk bantu pengelolaan Kardit.
Kardit tetap tinggal di kebun binatang yang sama, dengan tubuh yang makin menua. Dan meski laboratorium menyatakan dia positif cacingan, pengelola tak juga memberinya tempat istimewa. Kardit tetap membaur dengan beruang lainnya, dan para pengunjung yang terkadang lebih suka selfie ketimbang peduli.
Dari Kardit hingga pelikan yang kolaps dan siamang yang tersetrum, kisah Bandung Zoo seolah hanya berganti bab. Isinya tetap sama: satwa-satwa yang jadi korban dari buruknya pengelolaan, konflik kepentingan, dan minimnya akuntabilitas.
Tak semua binatang bisa bicara seperti manusia. Tapi dari tubuh yang lemas, tingkah yang berubah, dan nyawa yang melayang, sesungguhnya mereka sudah berteriak.