Diantara mimpi terburuk yang pernah dibayangkannya, merencanakan perkosaan terhadap dirinya sendiri adalah yang paling mengerikan.
Salah satu kutipan yang ada dalam buku Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam, jujur membuat saya bergidik ngeri saat membacanya.
Bukan soal karakter fiksi bernama Magi Diela Talo yang menjadi simbol perlawanan adat Sumba. Tapi tokoh tersebut memang nyata adanya bukan bualan fiksi semata.
Jujur saya bingung harus mulai dari mana menceritakan buku ini. Sepanjang membaca buku ini beberapa hari yang lalu, rasa sesak, perasaan yang membuncah, kepedihan, rasa ngilu, rasa yang menjijikan dan kebencian akan ketidakadilan membuat saya terhanyut masuk kedalamnya.
Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana di dunia yang sudah modern ini, dibelahan dunia lain bahkan masih ada perempuan yang berjuang mempertaruhkan jiwa, raga hingga mencurangi kematiannya sendiri demi sebuah kemerdekaan untuk dirinya sendiri.
Bagaimana dunia masih kejam dan tidak ramah terhadap sosok perempuan. Padahal perempuan sendiri adalah perantara seorang manusia untuk lahir ke dunia ini. Sembilan bulan lamanya berada dalam rahim, tak pernah sedikitpun perempuan itu mengeluh bahkan ia rela mempertaruhkan nyawanya demi sebuah kelahiran.
Dian Purnomo melalui karyanya yang ke -9 ini bercerita melalui realitas perempuan dan adat yang ada di Sumba. Dian sebagai penulis yang memiliki perhatian pada isu-isu sosial khususnya perempuan dan perlindungan anak ini mendapat kesempatan untuk melakukan residensi dari Komite Buku Nasional dan Kemendiknas.
Dian diminta untuk tinggal di Sumba selama enam bulan dengan cara yang berbeda. Baginya mengikuti rangkaian Wulla Poddu (Ritual di adat Marapu), membuat dia sadar bahwa waktu di sana berdetak dengan cara yang berbeda hingga membuat dirinya belajar banyak hal.
Adat Yappa Maradda
Indonesia memang kaya dengan segala nilai sejarah , adat istiadat serta budaya yang mengakar sejak dulu kala.
Ada beberapa adat yang harus dipertahankan dan dijaga kelestariannya tapi ada juga beberapa adat yang seharusnya sudah dimusnahkan dan dihapuskan karena sudah tidak relevan lagi.
Yappa Maradda atau dalam buku ini disebut dengan Yappa Mawine secara harfiah bisa diartikan sebagai culik perempuan atau kawin tangkap.
Sebuah adat yang diawali dari ketertarikan seorang laki-laki terhadap perempuan. Kawin tangkap ini terdiri dari dua versi, pertama kawin tangkap atas persetujuan pihak keluarga perempuan. Kedua, kawin tangkap yang secara penuh diinginkan laki-laki tanpa peduli adanya persetujuan pihak keluarga perempuan atau tidak.
Dalam buku ini Magi menjadi korban dari persetujuan pihak keluarganya. Leba Ali sebagai lambang dari laki-laki durjana sudah memperhatikan Magi sejak ia duduk di bangku Sekolah Dasar. Leba Ali sudah meminta Magi kepada Ama (Bapak) dan Ina (Ibu) untuk kelak akan dijadikan istrinya.
Magi tumbuh menjadi sosok perempuan yang berpendidikan sarjana dan punya mimpi besar untuk memajukan pertanian di tanah Sumba dengan Ama. Tak hanya itu bahkan Magi memiliki niat untuk memperdalam pengetahuannya dengan melanjutkan S2 ke New Zealand.
Tapi semua harapannya pupus seketika, ketika didapati dirinya diculik paksa oleh lelaki paling durjana di buku ini.
Prosesi kawin paksa di Sumba diawali dengan menculik calon perempuan di mana pun dia terlihat. Perempuan akan dibawa oleh belasan laki-laki dengan menggunakan motor atau mobil pickup.
Perempuan yang melawan akan mendapat pelecehan seksual dari para lelaki yang membawanya. Masyarakat yang melihat pemandangan ini seolah menganggap sebagai hal lumrah. Beberapa pernyataan seperti 'oh perempuan itu diculik, biarkan saja adat yang mengurus selanjutnya'.
Para perempuan yang diculik akan disambut oleh keluarga laki-laki dan akan dijinakkan layaknya binatang jika terus melawan. Magi sendiri diberikan bius oleh salah satu keluarga, sehingga dirinya terkulai lemas dan tidak sadarkan diri.
Ditengah ketidakberdayaannya itu, kehormatan dan harga diri Magi sudah dirampas oleh Leba Ali tanpa adanya persetujuan.
Bayangkan bagaimana perasaan perempuan yang diperlakukan demikian. Sudah pasti dia merasa jijik terhadap dirinya sendiri. Meski ini bukan salahnya tapi anggota tubuh Magi menjadi saksi paling nyata akan kebrutalan aksi bejat Leba Ali.
Berdasarkan jurnal yang pernah dikumpulkan oleh Komnas Perempuan berjudul "Laporan Pemantauan Kawin Tangkap di Sumba", beberapa kasus serupa sudah terjadi berulang kali di Sumba. Bahkan pertama kali pelaporan ke pihak kepolisian dan Komnas perempuan sudah ada sejak tahun 2020.
Saat itu korban tiba-tiba dibawa oleh segerombolan laki-laki ke dalam mobil. Pihak laki-laki menemui keluarga perempuan dan menyerahkan satu buah parang dengan satu ekor kuda. Awalnya keluarga tidak menerima dan melaporkan kepada pihak kepolisian.
Namun sangat disayangkan ketika pihak laki-laki kembali lagi untuk meminta maaf dan berjanji akan menyelesaikan secara adat, keluarga perempuan menerima, dan mencabut laporan tersebut.
Mirisnya ada kasus lain yang menimpa seorang ibu muda yang belum lama melahirkan dan mempunyai anak usia 10 bulan. Korban tersebut tiba-tiba ditangkap saat sedang menyuapi anaknya di teras rumah. Ia dibawa paksa menggunakan truk lalu dilecehkan.
Korban ditahan oleh pelaku sepanjang malam hingga kesakitan karena tidak bisa menyusui anaknya. Akhirnya korban bisa menelepon ayahnya di keesokan harinya. Siang harinya dengan pendekatan kultural dan formal tim pendamping dari desa, keluarga serta pihak kepolisian menjemput pulang dirinya.
Kepolisian sempat dikritik karena tidak cepat tanggap dalam upaya penyelamatan dengan dalih tidak adanya pelaporan dari pihak keluarga perempuan.
Adat ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Sumba bahkan hingga hari ini. Mirisnya meskipun seorang perempuan sudah berupaya untuk melanjutkan pendidikan hingga tingkat sarjana tidak ada yang bisa menghalangi adat kawin tangkap ini.
Dalam buku ini perempuan disimbolkan sebagai makhluk yang tidak berharga sedikitpun. Terdapat banyak ketimpangan prosesi adat antara perempuan dan laki-laki.
Misalnya saja, dalam proses Yappa Maradda, laki-laki harus membelikan perempuan berbagai macam jenis hewan ternak sebagai mahar. Namun pihak laki-laki diperbolehkan menyicil jika tidak sanggup membayar saat proses adat tersebut dilakukan.
Sementara perempuan harus dan wajib memenuhi kebutuhan peralatan rumah tangga seperti membawa kasur, lemari baru, memberikan sarung dan selendang tenun kepada setiap keluarga laki-laki.
Perempuan Sumba harus meninggalkan keluarga jika sudah dipinang atau di kawin tangkap oleh laki-laki Sumba. Perempuan harus mengabdikan dirinya kepada dia yang disebut sebagai suami.
Di Sumba juga perempuan dianggap sangat rendah karena begitu banyak tempat yang dikatakan 'pamali' dan tidak boleh sedikitpun terinjak. Perempuan memiliki pintu khusus untuk masuk rumah bahkan kamarnya. Tidak seperti laki-laki yang sangat dimuliakan dalam adat ini.
Perempuan

Magi mungkin bisa menjadi gambaran nyata pada setiap adat di Indonesia yang masih mengusung jika kaum perempuan layak untuk direndahkan.
Adat menjadikan Magi diperlakukan layaknya binatang oleh laki-laki yang tidak mengerti esensi berharganya setiap wanita yang lahir ke dunia ini.
Adat juga sudah merenggut impiannya dirinya untuk membangun Sumba, tanah kelahiran yang amat sangat dicintainya.
Adat juga yang membawanya untuk melawan orang tua, seisi kampung halaman yang ingin merenggut kemerdekaannya sebagai seorang perempuan.
Bahkan ketika Magi mencoba keluar dari segala stigma dan adat yang memenjarakan hati, justru dia harus memilih nerakanya sendiri.
Meninggalkan orang tua dan tanah kelahirannya. Bahkan dia harus rela menyerahkan dirinya untuk ke dua kali dengan sadar kepada laki-laki mata keranjang. Hingga mencurangi kematiannya sendiri terlintas untuk dilakukan kembali.
Tradisi seringkali disokong oleh struktur sosial yang menganggap perempuan sebagai bagian dari komoditas budaya yang dapat 'diambil' dalam konteks relasi perkawinan. Bahkan bukan raganya saja yang diambil, hak hidup dan kemerdekaannya dirampas begitu saja.
Perempuan yang menangis kepada Bulan Hitam berangkat dari pengalaman perempuan korban kawin tangkap di Sumba. Tradisi kawin tangkap tersebutlah yang mengetuk hati Dian Purnomo sebagai penulis untuk menyuarakan jeritan perempuan yang seolah tak terdengar bahkan oleh Tuhan sekalipun.
Ekspektasi Sosial
Hukum adat seringkali berfungsi sebagai bentuk kontrol sosial pada perempuan. Sehingga perempuan tidak bisa berdaya bahkan untuk dirinya sendiri.
Perempuan memang tidak pernah lepas dari ekspektasi sosial akan keberadaannya di dunia ini. Begitu juga yang diceritakan dalam buku ini. Perempuan Sumba dengan segala adat yang sudah melanggar hak asasi sebagai manusia harus tetap mengikuti aturan dan manut pada pandangan sosial yang ada.
Pertama, perempuan yang 'ditangkap' dianggap akan memiliki status sosial yang lebih tinggi karena sudah 'diperebutkan' dengan cara yang dianggap gagah dan terhormat. Padahal realitasnya ini tidak berbanding lurus dengan kekerasan serta pelecahan yang akan didapatkan seorang perempuan.
Perempuan yang menolak dan membatalkan perjodohan ini akan dianggap sebagai perempuan yang mencoreng nama baik keluarga. Bahkan tidak jarang dicap sebagai perempuan tidak tahu adat, 'malu-maluin keluarga' atau menentang tradisi.
Ekspektasi ini cenderung membuat perempuan menerima keadaan meskipun hal itu bukan keinginannya. Hal inilah yang menjadikan tradisi kawin tangkap bukan sekedar ritual budaya tapi mekanisme sosial untuk mengontrol perempuan atas dalih penghormatan terhadap adat.
Kedua, Perempuan yang menolak pinangan dari seorang laki-laki dianggap sebagai membuang jodoh. Beberapa kasus kawin tangkap sering kali pihak laki-laki merenggut keperawanan seorang wanita tanpa persetujuan.
Perempuan yang menolak pria yang melakukan kawin tangkap dipercaya tidak akan ada laki-laki lain yang menginginkannya sebagai istri. Perempuan tersebut akan dianggap laki-laki lain sebagai perempuan yang tidak suci.
Ketiga, Perempuan harus bisa menyenangkan suaminya dengan memenuhi segala kebutuhan suaminya. Perempuan harus dituntut bisa masak dan menyediakan makanan setiap hari. Bahkan salah satu karakter perempuan lain berkata kepada Magi ' Kita ini perempuan, kalau tidak bisa memuaskan suami, dia akan jajan disembarang tempat'.
Perempuan seolah harus terus berupaya melakukan yang terbaik agar tidak dipoligami suaminya. Tapi laki-laki dengan mudah tebar pesona tanpa berusaha menjaga pandangan dari wanita lain.
Keempat, Perempuan dalam buku ini bak sebagai tahanan dan budak pelayan. Bagi seseorang yang mengalami kawin tangkap dengan paksaan tentu bukan cinta yang akan tumbuh tapi justru kebencian yang datang menyeluruh.
Magi selalu menginginkan bisa memasak dengan penuh cinta dan menyiapkan makanan dengan sukacita untuk suaminya yang diimpikannya.
Namun karena kebengisan Leba Ali, dia merasa menjadi tawanan dirumahnya sendiri sekaligus menjadi budak yang melayani kebejatan hawa nafsunya saja.
Kelima, Perempuan yang memiliki pendidikan tinggi dianggap hanya menghabiskan uang keluarga saja. Dalam tradisi Sumba, perempuan cukup menjalani takdir hanya dengan menunggu pinangan dari laki-laki yang mau menjadikannya istri.
Mimpi menjadi bukan suatu keharusan yang dimiliki oleh perempuan. Karena pada ujungnya perempuan akan kembali berkutat dengan urusan domestik semata.
Padahal dengan ilmu, perempuan bisa sangat berdaya bukan hanya sebagai penyokong perekonomian keluarga tapi dia bisa jadi agen perubahan bagi suatu bangsa.
Misalnya saja Magi, selain berani melawan adat yang bertentangan dengan norma sosial dan Hak Asasi Manusia, Magi juga berusaha mengubah pandangan masyarakat yang ada. Magi berpikir melalui sebuah buku dia akan memulai pergerakan itu.
Dalam buku ini Magi diceritakan banyak membaca buku saat sedang berlindung di LSM Perempuan. Melalui Buku pikirannya semakin terbuka dan dia yakin bahwa perempuan harus terus merdeka.
Keenam, Istri berada dibawah kuasa penuh suami. Jadi meskipun seorang perempuan sudah mendapat kekerasan dari suami hingga babak belur. Sosial meminta agar perempuan tetap minta maaf dan melakukan segala perintah suaminya.
Sosial mengatakan bahwa karena perempuan sudah menjadi seorang istri, maka apapun yang dilakukan suami itu sudah menjadi haknya dan perempuan cukup manut saja.
Sekalipun tindakan suaminya hampir merenggut nyawa, sosial mengatakan bahwa itu adalah bentuk hukuman bagi setiap istri yang tidak patuh terhadap suaminya. (*)