Okky Madasari merupakan salah satu perempuan yang aktif menulis karya buku di Indonesia. Wanita asal Magetan kelahiran 30 Oktober 1984 ini merupakan lulusan Universitas Gadjah Mada jurusan Hubungan Internasional.
Selain penulis okky juga merupakan seorang aktivitis yang konsen dalam bidang sosial, kemanusian dan perempuan. Tak ayal jika karya-karyanya sarat dengan kritik terhadap isu-isu sosial, politik, perlawanan dan perempuan, seperti Entrok.
Entrok yang berarti bra dalam novel ini bukan sekadar sehelai kain yang menutupi dada, entrok menjadi sebuah simbol perlawanan perempuan untuk menemukan kebebasan dari stigma yang selama ini mengungkung dan membungkan hak-hak perempuan.
Entrok juga menjadi awal mula Marni banyak mempertanyakan sesuatu, khususnya mengenai dia dan tatanan sosial yang terbentuk. Melalui rasa ingin tau Marni menjelma menjadi seorang perempuan pertama di kampungnya yang mengubah pandangan sosial terhadap perempuan.
Novel berlatar waktu 1950-an hingga 1999 meliputi proses pergantian dari Seokarno ke Seoharto. Periode ini juga mencakup beberapa peristiwa penting yang terjadi di Indonesia, seperti penumpasan PKI juga beberapa peristiwa politik lainnya pada periode Orde Baru.
Baca Juga: Historisitas Rel Mati, Jejak Besi Bandoeng—Soemedang dalam Lintasan Waktu
Bermula Marni yang mempertanyakan mengapa tidak semua perempuan menggunakan entrok. Baginya saudarinya yang berkesempatan bisa menggunakan entrok bisa bermain dengan nyaman tanpa terbebani sementara Marni kebalikannya.
Saat itu memang entrok merupakan barang mewah yang tidak bisa sembarangan dimiliki oleh semua kalangan. Terlebih perempuan saat itu hanya di upah dengan bahan-bahan masakan seperti Singkong/ Ubi. Berbeda dengan para lelaki yang bisa mendapat uang dari hasilnya menjadi kuli angkut barang.
Buruh perempuan kala itu umumnya melakukan pekerjaan mengupas kulit singkong. Kala itu Marni yang membantu pekerjaan ibunya seringkali diam-diam menemui Tejo sebagai kuli barang untuk meminta diajarkan bagaimana menjadi kuli.
Keputusannya ini banyak diremehkan tidak hanya oleh Tejo tapi juga oleh ibunya. Namun berkat tekadnya yang kuat, akhirnya marni berhasil mendobrak stigma itu dan mendapat pelanggan seorang perempuan yang memintanya untuk menjadi kuli dan mendapat bayaran uang. Saat itulah pertamakalinya Marni bisa membeli entrok yang sudah lama diidamkan.
Marni bertranformasi dari kuli menjadi bakul sayuran. Berkat usahanya yang keras dirinya berhasil mengelola uang modal juga mendapat pelanggan tetap. Marni menjadi perempuan yang berdikari melalui bisnisnya melawan sistem patriarki saat itu. Namun sebuah pinangan dari seorang laki-laki tidak bisa ditolaknya karena stigma yang mengakar di masyarakat.
Menjadi wirausaha perempuan sangat tidak mudah di zaman itu. Persaingan yang makin ketat dan kondisi ekonomi yang sulit membuat dirinya harus banting setir ke usaha yang lain. Pada awalnya Marni menjual alat-alat dapur dengan sistem kredit kepada masyarakat sekitar. Namun saat menyadari kebutuhan tetangganya akan pinjaman uang, Marni berpikir untuk menjadi rentenir saja dengan mengambil bunga 10%.

Awalnya bisnis Marni berjalan dengan baik namun sistem orde baru saat itu dimana TNI banyak terlibat pemungutan liar dengan dalih keamanan dan ketentraman di lingkungan. Marni sebagai perempuan dan juga rentenir masih tidak luput dari cercaan masyarakat. Dikatakan lintah darah karena profesinya tapi tetangganya menggunakan kebermanfaatan TV dirumahnya sebagai bahan hiburan setiap malam. Dituduh pesugihan hanya karena ekonomi Marni membaik dan ada beberapa pekerjanya yang meninggal dan dikatakan sebagai tumbal.
Marni harus memberi uang kepada aparat demi perbaharuan KTP anaknya yang di cap sebagai PKI karena pernah di penjara. Belum cukup sampai di situ, Marni dibuat gila dan dihabiskan hartanya saat pernikahan anaknya yang tidak kunjung terjadi karena perkara tanda yang ada di KTP.
Di era itu masyarakat banyak mendapat ancaman sehingga sedikit sulit untuk tenang menjalani kehidupan. Misalnya saja satu cerita dalam buku entrok mengenai tukang becak yang sedang bermain kartu tanpa uang lantaran bosan tidak ada penumpang.
Namun aparat itu dengan membabi buta, tanpa memberikan kesempatan menjelaskan, dihajarnya tukang becak hingga tewas dan menuduh tukang becak bermain judi dan itu berarti melawan negara. Bahkan ketika seorang jurnalis berusaha untuk membantu dengan memberitakan hal tersebut , banyak saksi mata yang dibungkam. Bahkan pada saat itu jurnalis yang mestinya dilindungi atas kebebasan pers juga dibuat tidak berdaya oleh kekuasaan.
Di era ini juga diceritakan korupsi besar-besaran yang terjadi di pabrik gula. Banyak staff dan pejabat yang terlibat mendapatkan keuntungan yang besar ditandai dengan rumah yang mewah dan hektaran sawah yang dimiliki. Sementara itu hal ini berkebalikan dengan kondisi para petani yang menjual hasil panennya kepada pengepul yang hanya dibeli dengan harga semurah mungkin.
Baca Juga: Ketentuan Kirim Artikel ke Ayobandung.id, Total Hadiah Rp1,5 Juta per Bulan
Pada masa itu pula banyak tanah yang ditempati oleh masyarakat sebagai lahan untuk bertahan hidup dan ladang mata pencaharian dirampas dengan mudah atas nama perintah dari yang berkuasa. Masyarakat di usir tanpa adanya biaya pengalokasian.
Beberapa yang tetap bertahan diberikan teror kepala buntung manusia, juga di tembak secara membabi buta. Para aktivitis yang bersuara dibungkam dan di cap sebagai PKI dan mereka yang masih hidup dipenjarakan.
Dalam buku ini juga syarat dengan makna pendidikan yang bisa dilihat dari dua sudut pandang. Marni bukan hanya menjadi perempuan yang tangguh, istri yang mengabdi pada suami, dia juga ibu yang sangat hebat bagi anaknya. Meskipun dirinya tidak sempat mengenyam pendidikan dan buta huruf tapi mindsetnya sudah terbentuk secara visioner.
Ia ingin Rahayu sebagai anaknya bisa hidup lebih baik di masa depan. Marni ingin Rahayu bisa mendapatkan pendidikan yang tinggi agar bisa menjadi PNS dengan gaji besar dan tidak di olok-olok seperti ibuntya yang berprofesi sebagai rentenir. Marni sangat paham dengan konsep pendidikan yang bisa merubah hidup seseorang. Marni sudah memiliki kesadaran bahwa pendidikan menjadi kunci dari segalanya.
Hal ini terbukti dari Rahayu yang menjadi mahasiswa aktif serta menyuarakan mengenai fakta-fakta yang ditutupi oleh penguasa, membantu masyarakat yang mendapat ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Marni tumbuh dengan pemikiran kritis dan keberaniannya menjadi seorang aktivis saat itu. Namun satu hal yang sangat disayangkan ketika Rahayu mendapat akses pendidikan dan ilmu agama.
Hal ini memang menjadi ujian bagi mereka yang menuntut ilmu bisa terjerumus ke dalam sebuah pemahaman yang merasa segala yang diketahuinya adalah paling benar. Tanpa melakukan riset atau menelusuri latar belakang dengan mudahnya menjugde orang yang berbeda darinya.
Rahayu selalu menganggap ibunya kafir karena masih menyembah Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa yang dipercaya sebagai yang memberikan keberkahan dalam hidupnya. Rahayu yang berpendidikan melupakan latar belakang ibunya yang lahir di saat zaman belum melek terhadap dunia pendidikan. Lupa saat ibunya kecil belum banyak yang mengajarkan nilai-nilai keagamaan.
Baca Juga: 6 Tulisan Orisinal Terbaik Mei 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta untuk Netizen Aktif Berkontribusi
Ini menjadi pengingat bagi kalangan muda yang sedang menempuh ilmu dan pendidikan untuk tetap rendah hati dan selalu mengosongkan isi gelas saat berinteraksi dengan orang lain. Bisa saja ilmu-ilmu yang lebih terang datang dari mereka yang kita anggap tidak berpendidikan.
Buku Okky Madasari yang berjudul entrok ini sebetulnya sudah sangat sulit ditemukan di pasaran toko buku dan platform online. Namun berdasarkan info yang penulis dapatkan dari akun x Madasari bahwa bukunya akan kembali cetak ulang dalam waktu dekat. Selamat membaca. Selamat menyelami fakta-fakta yang mungkin kita tidak tahu atau lupakan begitu saja. (*)