Dilaporkan dari kompas.com pada 15 April 2025, wacana reaktivasi jalur kereta Rantjaekek–Tandjongsari kembali diungkapkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, atau yang akrab disapa warga dengan nama KDM. Wacana ini muncul setelah rapat koordinasi antara Dedi Mulyadi dengan Kementerian Perhubungan dan PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Namun, jauh sebelum ide ini digulirkan kembali, sejarah mencatat bahwa jalur tersebut pernah menjadi bagian dari proyek besar pembangunan jaringan trem negara pada masa Hindia Belanda. Jalur ini tidak semata-mata dirancang sebagai sarana transportasi, melainkan juga sebagai bagian dari strategi pertahanan kolonial serta upaya efisiensi distribusi hasil produksi, terutama teh, dari wilayah Djatinangor ke pusat-pusat ekonomi.
Namun demikian, wacana reaktivasi jalur yang digaungkan oleh Dedi Mulyadi tetap menyisakan tanda tanya besar, karena rekam jejak sejarah jalur ini menunjukkan bahwa sejak masa kolonial pun rencana pengembangannya telah memicu berbagai polemik, mulai dari masalah geografis, teknis, hingga prioritas anggaran pembangunan yang kerap berubah-ubah seiring dinamika politik dan perekonomian saat itu.
Strategi Pembangunan Jalur Trem
Dilansir dari surat kabar Deli Courant yang terbit pada 18 Agustus 1917 dalam artikel berjudul “De railverbinding-Bandoeng-Soemedang-Cheribon”, disebutkan bahwa De Samarang–Cheribon Stoomtram Maatschappij, N.V. (SCS) merupakan salah satu perusahaan yang membangun jalur kereta api. Di bawah kepemimpinan Tuan Casper, perusahaan ini mencetuskan pembangunan jalur kereta dari Rantjaekek menuju Tandjongsari dan melewati perusahaan teh di Djatinangor guna mempermudah akses pengiriman hasil perkebunan.
Diketahui bahwa SCS berkewajiban menyerahkan sebagian keuntungan dari pengoperasian jalur ini kepada negara setiap tahun. Rencana awal yang diberitakan menyebutkan bahwa jalur ini akan diperpanjang hingga wilayah Tjitali–Soemedang. Namun, hingga awal tahun 1917, jalur ini baru selesai dibangun sampai Tandjongsari setelah melewati berbagai polemik.
Pembangunan jalur ini merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk menciptakan kawasan operasi khusus trem negara di Pulau Jawa. Di wilayah Bandung, jalur trem negara mencakup rute Bandoeng–Banjaran–Soreang–Rantjaekek–Tandjongsari. Dilansir dari surat kabar De Locomotief yang terbit pada 15 Januari 1921, dalam artikel berjudul “Tramlijnen om Bandoeng”, trem Rantjaekek–Tandjongsari memiliki beberapa halte penting, yaitu Rantjaekek, Tjikeroeh (sekarang Jatinangor), dan Tandjongsari.
Halte trem biasanya berupa tempat sederhana di sepanjang jalur rel, tempat penumpang naik atau turun. Selain itu, saat itu juga diusulkan pembangunan halte baru bernama Bodjong Lor di perpotongan antara jalan raya dan jalan pos. Meskipun demikian, hingga kini belum dapat didefinisikan secara pasti di mana letak halte Bodjong Lor yang diwacanakan tersebut akan dibangun.

Sekitar tahun 1923, termuat dalam surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad yang terbit pada 21 Juli 1923, terdapat rencana besar untuk memperpanjang jalur dari Rantjaekek–Soemedang–Kadipaten ke Cirebon untuk tujuan pertahanan. Jalur tersebut direncanakan akan memiliki panjang lebih dari 44 kilometer dan menciptakan koneksi rel yang berkelanjutan.
Dilansir dari surat kabar yang sama, salah satu alasan utama pembangunan jalur trem menuju Djatinangor adalah keberadaan pabrik teh di wilayah tersebut yang direncanakan akan digunakan sebagai rumah sakit militer apabila terjadi pengerahan besar pasukan di Pulau Jawa. Kedua belah pihak memperoleh manfaat dari kebijakan ini.
Bagi militer, tersedianya rumah sakit yang siap digunakan pada masa perang merupakan keuntungan strategis, terutama mengingat kawasan parade di sekitar Soemedang diperkirakan akan dijaga secara ketat. Sementara itu, pihak perusahaan teh diuntungkan dengan adanya akses langsung ke jalur kereta api yang mendukung kelancaran distribusi hasil produksi.

Penyusunan rencana pembangunan dan pemanfaatan jalur kereta api jalur Rantjaekek–Tandjongsari–Soemedang mencerminkan bagaimana infrastruktur transportasi pada masa kolonial tidak hanya berfungsi sebagai penghubung wilayah.
Meski sebagian dari proyek tersebut belum terwujud sepenuhnya, jejak sejarahnya tetap menjadi bukti ambisi besar kolonial dalam menata ruang dan mengendalikan mobilitas di Hindia Belanda.
Lika-Liku Proyek Trem Negara di Priangan
Pembangunan jalur kereta api Rantjaekek–Tandjongsari tidak dapat dilepaskan dari ambisi besar pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam menciptakan jaringan trem negara yang menyeluruh di Pulau Jawa, khususnya di wilayah Priangan.
Tantangan utama bukan hanya terkait penyediaan rel, saklar, dan baja untuk jembatan, tapi juga soal ketersediaan lokomotif dan kereta untuk pekerjaan konstruksi.
Dilaporkan dari surat kabar De Locomotief dalam artikel berjudul “Tramwegen in Aanleg” (12 Juni 1920), meskipun pembangunan fisik jalur Tandjongsari–Soemedang menunjukkan kemajuan, tidak semua jalur kereta yang dirancang dirancang terselesaikan sesuai target.
Beberapa proyek seperti Garoet–Tjikadjang dan perpanjangan Bandoeng–Soreang–Tjiwidej dijadwalkan untuk dilanjutkan pada tahun 1921.

Dilansir dari artikel berita yang sama, salah satu proyek yang dianggap paling ambisius adalah pembangunan jalur Tandjongsari–Soemedang, yang dirancang menembus kawasan pegunungan sepanjang 18 kilometer. Namun, kondisi geografis dan tantangan teknis menjadikan proyek ini sebagai salah satu proyek paling mahal sepanjang sejarah perkeretaapian kolonial.
Biaya konstruksi diperkirakan mencapai ƒ4.500.000—jumlah yang sangat besar untuk masa itu. Anggaran ini dipengaruhi oleh kebutuhan infrastruktur tanah besar-besaran, pembangunan terowongan, serta struktur kompleks lainnya. Untuk tahap awal, pemerintah kolonial mengalokasikan dana sebesar ƒ500.000 pada tahun 1921.
Sebelumnya, pemerintah kolonial telah melakukan studi dan pemetaan untuk membuka akses transportasi ke wilayah Priangan Selatan. Kajian tersebut menyimpulkan bahwa jalur pantai selatan terlalu berisiko dan tidak layak, sehingga muncul alternatif untuk memperluas cabang dari jalur utama, seperti dari Bandoeng atau Tjijalengka, ke arah selatan. Namun, pada akhirnya perpanjangan proyek ke Soemedang dibatalkan, dengan alasan beban biaya yang terlalu tinggi, kompleksitas teknis, serta perubahan arah prioritas pembangunan.
Kegagalan proyek ini mendorong pemerintah kolonial untuk mengalihkan fokus ke jalur lain yang lebih realistis, yakni rute Garoet–Tjikadjang. Jalur sepanjang 32 kilometer ini diproyeksikan menelan biaya sebesar ƒ4.000.000 atau sekitar ƒ125.000 per kilometer. Meski tetap mahal, proyek ini dianggap lebih memungkinkan dibandingkan rute sebelumnya yang penuh tantangan
Kegagalan pembangunan jalur trem ini menjadi cerminan bahwa tidak semua rencana kolonial berjalan mulus. Ini sekaligus menjadi pelajaran bahwa proyek infrastruktur bukan hanya soal perencanaan dan pembangunan, tetapi juga melibatkan pertimbangan medan, biaya, dan kebutuhan strategi.
Baca Juga: Gambar Karya para Toala di Leang Sumpangbita
Sejarah panjang jalur trem Rancaekek-Tanjungsari merupakan bagian dari masa lalu. Perencanaan ambisi oleh SCS, pembangunan infrastruktur besar, hingga rencana strategis militer kolonial yang menjadikan wilayah ini sebagai titik penting pertahanan—menunjukkan bahwa kawasan ini sejak awal telah memiliki nilai strategis yang tinggi.
Jalur kereta yang dahulu dibangun untuk memperlancar distribusi hasil perkebunan dan mendukung pertahanan militer, kini berpotensi menjadi tulang punggung transportasi publik yang ramah lingkungan dan mendukung pengembangan wilayah berbasis konektivitas.
Gagasan mengaktifkan kembali jalur kereta Rancaekek–Tanjungsari kini muncul bukan sekadar romantisme sejarah, melainkan respons atas kebutuhan mobilitas kawasan Bandung Timur, terutama Jatinangor yang menjadi pusat pendidikan nasional. Ribuan pelajar dan pekerja membutuhkan transportasi umum yang efisien dan ramah lingkungan, dan reaktivasi jalur ini berpotensi menjadi solusi. (*)