Historisitas Rel Mati, Jejak Besi Bandoeng—Soemedang dalam Lintasan Waktu

Atika Salsabila
Ditulis oleh Atika Salsabila diterbitkan Jumat 13 Jun 2025, 20:19 WIB
Jalur Trem Stasiun Rancaekek (Sumber: (Sumber: Digital Collection KITLV Universiteit Leiden) | Foto: Sumber Arsip)

Jalur Trem Stasiun Rancaekek (Sumber: (Sumber: Digital Collection KITLV Universiteit Leiden) | Foto: Sumber Arsip)

Dilaporkan dari kompas.com pada 15 April 2025, wacana reaktivasi jalur kereta Rantjaekek–Tandjongsari kembali diungkapkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, atau yang akrab disapa warga dengan nama KDM. Wacana ini muncul setelah rapat koordinasi antara Dedi Mulyadi dengan Kementerian Perhubungan dan PT Kereta Api Indonesia (KAI).

Namun, jauh sebelum ide ini digulirkan kembali, sejarah mencatat bahwa jalur tersebut pernah menjadi bagian dari proyek besar pembangunan jaringan trem negara pada masa Hindia Belanda. Jalur ini tidak semata-mata dirancang sebagai sarana transportasi, melainkan juga sebagai bagian dari strategi pertahanan kolonial serta upaya efisiensi distribusi hasil produksi, terutama teh, dari wilayah Djatinangor ke pusat-pusat ekonomi.

Namun demikian, wacana reaktivasi jalur yang digaungkan oleh Dedi Mulyadi tetap menyisakan tanda tanya besar, karena rekam jejak sejarah jalur ini menunjukkan bahwa sejak masa kolonial pun rencana pengembangannya telah memicu berbagai polemik, mulai dari masalah geografis, teknis, hingga prioritas anggaran pembangunan yang kerap berubah-ubah seiring dinamika politik dan perekonomian saat itu.

Strategi Pembangunan Jalur Trem

Dilansir dari surat kabar Deli Courant yang terbit pada 18 Agustus 1917 dalam artikel berjudul “De railverbinding-Bandoeng-Soemedang-Cheribon”, disebutkan bahwa De Samarang–Cheribon Stoomtram Maatschappij, N.V. (SCS) merupakan salah satu perusahaan yang membangun jalur kereta api. Di bawah kepemimpinan Tuan Casper, perusahaan ini mencetuskan pembangunan jalur kereta dari Rantjaekek menuju Tandjongsari dan melewati perusahaan teh di Djatinangor guna mempermudah akses pengiriman hasil perkebunan.

Diketahui bahwa SCS berkewajiban menyerahkan sebagian keuntungan dari pengoperasian jalur ini kepada negara setiap tahun. Rencana awal yang diberitakan menyebutkan bahwa jalur ini akan diperpanjang hingga wilayah Tjitali–Soemedang. Namun, hingga awal tahun 1917, jalur ini baru selesai dibangun sampai Tandjongsari setelah melewati berbagai polemik.

Pembangunan jalur ini merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk menciptakan kawasan operasi khusus trem negara di Pulau Jawa. Di wilayah Bandung, jalur trem negara mencakup rute Bandoeng–Banjaran–Soreang–Rantjaekek–Tandjongsari. Dilansir dari surat kabar De Locomotief yang terbit pada 15 Januari 1921, dalam artikel berjudul “Tramlijnen om Bandoeng”, trem Rantjaekek–Tandjongsari memiliki beberapa halte penting, yaitu Rantjaekek, Tjikeroeh (sekarang Jatinangor), dan Tandjongsari.

Halte trem biasanya berupa tempat sederhana di sepanjang jalur rel, tempat penumpang naik atau turun. Selain itu, saat itu juga diusulkan pembangunan halte baru bernama Bodjong Lor di perpotongan antara jalan raya dan jalan pos. Meskipun demikian, hingga kini belum dapat didefinisikan secara pasti di mana letak halte Bodjong Lor yang diwacanakan tersebut akan dibangun.

Foto 1 : Bentuk Stasiun Rancaekek tahun 1928. (Sumber: (Sumber: Digital Collection KITLV Universiteit Leiden) | Foto: Sumber Arsip)
Foto 1 : Bentuk Stasiun Rancaekek tahun 1928. (Sumber: (Sumber: Digital Collection KITLV Universiteit Leiden) | Foto: Sumber Arsip)

Sekitar tahun 1923, termuat dalam surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad yang terbit pada 21 Juli 1923, terdapat rencana besar untuk memperpanjang jalur dari Rantjaekek–Soemedang–Kadipaten ke Cirebon untuk tujuan pertahanan. Jalur tersebut direncanakan akan memiliki panjang lebih dari 44 kilometer dan menciptakan koneksi rel yang berkelanjutan. 

Dilansir dari surat kabar yang sama, salah satu alasan utama pembangunan jalur trem menuju Djatinangor adalah keberadaan pabrik teh di wilayah tersebut yang direncanakan akan digunakan sebagai rumah sakit militer apabila terjadi pengerahan besar pasukan di Pulau Jawa. Kedua belah pihak memperoleh manfaat dari kebijakan ini.

Bagi militer, tersedianya rumah sakit yang siap digunakan pada masa perang merupakan keuntungan strategis, terutama mengingat kawasan parade di sekitar Soemedang diperkirakan akan dijaga secara ketat. Sementara itu, pihak perusahaan teh diuntungkan dengan adanya akses langsung ke jalur kereta api yang mendukung kelancaran distribusi hasil produksi.

Foto 2 : Pembangunan gorong-gorong trem Rancaekek tahun 1916. (Sumber: (Sumber: Digital Collection KITLV Universiteit Leiden) | Foto: Sumber Arsip)
Foto 2 : Pembangunan gorong-gorong trem Rancaekek tahun 1916. (Sumber: (Sumber: Digital Collection KITLV Universiteit Leiden) | Foto: Sumber Arsip)

Penyusunan rencana pembangunan dan pemanfaatan jalur kereta api jalur Rantjaekek–Tandjongsari–Soemedang mencerminkan bagaimana infrastruktur transportasi pada masa kolonial tidak hanya berfungsi sebagai penghubung wilayah.

Meski sebagian dari proyek tersebut belum terwujud sepenuhnya, jejak sejarahnya tetap menjadi bukti ambisi besar kolonial dalam menata ruang dan mengendalikan mobilitas di Hindia Belanda.

Lika-Liku Proyek Trem Negara di Priangan

Pembangunan jalur kereta api Rantjaekek–Tandjongsari tidak dapat dilepaskan dari ambisi besar pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam menciptakan jaringan trem negara yang menyeluruh di Pulau Jawa, khususnya di wilayah Priangan.

Tantangan utama bukan hanya terkait penyediaan rel, saklar, dan baja untuk jembatan, tapi juga soal ketersediaan lokomotif dan kereta untuk pekerjaan konstruksi.

Dilaporkan dari surat kabar De Locomotief dalam artikel berjudul “Tramwegen in Aanleg” (12 Juni 1920), meskipun pembangunan fisik jalur Tandjongsari–Soemedang menunjukkan kemajuan, tidak semua jalur kereta yang dirancang dirancang terselesaikan sesuai target.

Beberapa proyek seperti Garoet–Tjikadjang dan perpanjangan Bandoeng–Soreang–Tjiwidej dijadwalkan untuk dilanjutkan pada tahun 1921.

Foto 3 : Proses pembangunan viaduk di jalur simpangan Rancaekek-Tanjungsari tahun 1916 (Sumber: (Sumber: Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen) | Foto: Sumber Arsip)
Foto 3 : Proses pembangunan viaduk di jalur simpangan Rancaekek-Tanjungsari tahun 1916 (Sumber: (Sumber: Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen) | Foto: Sumber Arsip)

Dilansir dari artikel berita yang sama, salah satu proyek yang dianggap paling ambisius adalah pembangunan jalur Tandjongsari–Soemedang, yang dirancang menembus kawasan pegunungan sepanjang 18 kilometer. Namun, kondisi geografis dan tantangan teknis menjadikan proyek ini sebagai salah satu proyek paling mahal sepanjang sejarah perkeretaapian kolonial.

Biaya konstruksi diperkirakan mencapai ƒ4.500.000—jumlah yang sangat besar untuk masa itu. Anggaran ini dipengaruhi oleh kebutuhan infrastruktur tanah besar-besaran, pembangunan terowongan, serta struktur kompleks lainnya. Untuk tahap awal, pemerintah kolonial mengalokasikan dana sebesar ƒ500.000 pada tahun 1921.

Sebelumnya, pemerintah kolonial telah melakukan studi dan pemetaan untuk membuka akses transportasi ke wilayah Priangan Selatan. Kajian tersebut menyimpulkan bahwa jalur pantai selatan terlalu berisiko dan tidak layak, sehingga muncul alternatif untuk memperluas cabang dari jalur utama, seperti dari Bandoeng atau Tjijalengka, ke arah selatan. Namun, pada akhirnya perpanjangan proyek ke Soemedang dibatalkan, dengan alasan beban biaya yang terlalu tinggi, kompleksitas teknis, serta perubahan arah prioritas pembangunan.

Kegagalan proyek ini mendorong pemerintah kolonial untuk mengalihkan fokus ke jalur lain yang lebih realistis, yakni rute Garoet–Tjikadjang. Jalur sepanjang 32 kilometer ini diproyeksikan menelan biaya sebesar ƒ4.000.000 atau sekitar ƒ125.000 per kilometer. Meski tetap mahal, proyek ini dianggap lebih memungkinkan dibandingkan rute sebelumnya yang penuh tantangan

Kegagalan pembangunan jalur trem ini menjadi cerminan bahwa tidak semua rencana kolonial berjalan mulus. Ini sekaligus menjadi pelajaran bahwa proyek infrastruktur bukan hanya soal perencanaan dan pembangunan, tetapi juga melibatkan pertimbangan medan, biaya, dan kebutuhan strategi.

Baca Juga: Gambar Karya para Toala di Leang Sumpangbita 

Sejarah panjang jalur trem Rancaekek-Tanjungsari merupakan bagian dari masa lalu. Perencanaan ambisi oleh SCS, pembangunan infrastruktur besar, hingga rencana strategis militer kolonial yang menjadikan wilayah ini sebagai titik penting pertahanan—menunjukkan bahwa kawasan ini sejak awal telah memiliki nilai strategis yang tinggi.

Jalur kereta yang dahulu dibangun untuk memperlancar distribusi hasil perkebunan dan mendukung pertahanan militer, kini berpotensi menjadi tulang punggung transportasi publik yang ramah lingkungan dan mendukung pengembangan wilayah berbasis konektivitas.

Gagasan mengaktifkan kembali jalur kereta Rancaekek–Tanjungsari kini muncul bukan sekadar romantisme sejarah, melainkan respons atas kebutuhan mobilitas kawasan Bandung Timur, terutama Jatinangor yang menjadi pusat pendidikan nasional. Ribuan pelajar dan pekerja membutuhkan transportasi umum yang efisien dan ramah lingkungan, dan reaktivasi jalur ini berpotensi menjadi solusi. (*)

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Atika Salsabila
Suka menulis Sejarah
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 19 Des 2025, 18:09 WIB

Abah, Buku Bekas, dan Denyut Intelektual

Mahasiswa lintas angkatan mengenalnya cukup dengan satu panggilan Abah. Bukan dosen, staf, bukan pula pustakawan kampus.
Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 16:01 WIB

Maribaya Natural Hotspring Resort: Wisata Alam, Relaksasi, dan Petualangan di Lembang

Maribaya Natural Hotspring Resort menawarkan pengalaman wisata alam dan relaksasi di tengah kesejukan Lembang.
Maribaya Lembang. (Sumber: Dokumen Pribadi)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 15:13 WIB

Bukit Pasir sebagai Benteng Alami dari Hempasan Tsunami 

Sand dune yang terbentuk oleh proses angin dan gelombang dapat mengurangi efek tsunami.
Teluk dengan pantai di selatan Jawa Barat yang landai, berpotensi terdampak hempasan maut tsunami. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: T. Bachtiar)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 14:22 WIB

Jualan setelah Maghrib Pulang Dinihari, Mi Goreng ‘Mas Sam’ Cari Orang Lapar di Malam Hari

Mengapa mesti nasi goreng “Mas Iput”? Orangnya ramah.
SAM adalah nama sebenarnya, tapi para pelanggannya telanjur menyebutnya “Mas Iput”. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 14:12 WIB

5 Hidden Gem Makanan Manis di Pasar Cihapit, Wajib Dicoba Saat Main ke Bandung!

Semuanya bisa ditemukan dalam satu area sambil menikmati suasana Pasar Cihapit.
Salah satu tempat dessert di Pasar Cihapit, yang menjadi tujuan berburu makanan manis bagi pengunjung. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 12:57 WIB

Twig Café Maribaya: Tempat Singgah Tenang dengan Pemandangan Air Terjun yang Menyegarkan Mata

Suasana Cafe yang sangat memanjakan mata dan pikiran lewat pemandangan nyata air terjun yang langsung hadir di depan mata.
Air terjun yang langsung terlihat dari kafe. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 11:46 WIB

Program CSR sebagai Alat Penembusan dosa

CSR harus dikembalikan ke inti, yaitu komitmen moral untuk mencegah kerusakan ekosistem sejak awal
Ilustrasi kayu hasil penebangan. (Sumber: Pexels/Pixabay)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 10:21 WIB

Keberlangsungan Suatu Negara dalam Bayang-Bayang Deformasi Kekuasaan

Sering kali ada pengaruh buruk dalam jalannya suatu pemerintahan yang dikenal dengan istilah deformasi kekuasaan.
 (Sumber: Gemini AI)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 09:24 WIB

Kota Bandung: Hak Trotoar, Pejalan Kaki, dan PKL

Antara hak pejalan kaki dan pedagang kaki lima yang harus diseimbangkan pemerintah Kota Bandung
Pejalan kaki harus melintas di jalan yang diisi oleh para pedagang di trotoar Lengkong Street Food, Kamis, 4 Desember 2025. (Sumber: Dokumentasi pribadi | Foto: Taqiyya Tamrin Tamam)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 09:13 WIB

Cibaduyut: Sentra Sepatu yang Berubah Menjadi Sentra Kemacetan

Cibaduyut tidak hanya menjadi pusat penjualan sepatu di Kota Bandung, tapi juga sebagai salah satu pusat kemacetan di kota ini.
Tampak jalanan yang dipenuhi kendaraan di Jln. Cibaduyut, Kota Bandung (04/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Yudhistira Rangga Eka Putra)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 21:16 WIB

Sambel Pecel Braga: Rumah bagi Lidah Nusantara

Sejak berdiri pada 2019, Sambel Pecel Braga telah menjadi destinasi kuliner yang berbeda dari hiruk- pikuk kota.
Sambel Pecel Braga di tengah hiruk pikuk perkotaan Bandung. (Foto: Fathiya Salsabila)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 20:42 WIB

Strategi Bersaing Membangun Bisnis Dessert di Tengah Tren yang Beragam

Di Tengah banyaknya tren yang cepat sekali berganti, hal ini merupakan kesempatan sekaligus tantangan bagi pengusaha dessert untuk terus mengikuti tren dan terus mengembangkan kreatifitas.
Dubai Truffle Mochi dan Pistabite Cookies. Menu favorite yang merupakan kreasi dari owner Bonsy Bites. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 20:08 WIB

Harapan Baru untuk Taman Tegallega sebagai Ruang Publik di Kota Bandung

Taman Tegallega makin ramai usai revitalisasi, namun kerusakan fasilitas,keamanan,dan pungli masih terjadi.
Area tribun Taman Tegalega terlihat sunyi pada Jumat, 5 Desember 2025, berlokasi di Jalan Otto Iskandardinata, Kelurahan Ciateul, Kecamatan Regol, Kota Bandung, Jawa Barat. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Ruth Sestovia Purba)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 19:38 WIB

Mengenal Gedung Sate, Ikon Arsitektur dan Sejarah Kota Bandung

Gedung Sate merupakan bangunan bersejarah di Kota Bandung yang menjadi ikon Jawa Barat.
Gedung Sate merupakan bangunan bersejarah di Kota Bandung yang menjadi ikon Jawa Barat. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 18:30 WIB

Kondisi Kebersihan Pasar Induk Caringin makin Parah, Pencemaran Lingkungan di Depan Mata

Pasar Induk Caringin sangat kotor, banyak sampah menumpuk, bau menyengat, dan saluran air yang tidak terawat, penyebab pencemaran lingkungan.
Pasar Induk Caringin mengalami penumpukan sampah pada area saluran air yang berlokasi di Jln. Soekarno-Hatta, Kec. Babakan Ciparay, Kota Bandung, pada awal Desember 2025 (Foto : Ratu Ghurofiljp)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 17:53 WIB

100 Tahun Pram, Apakah Sastra Masih Relevan?

Karya sastra Pramoedya yang akan selalu relevan dengan kondisi Indonesia yang kian memburuk.
Pramoedya Ananta Toer. (Sumber: Wikimedia Commons | Foto: Lontar Foundation)
Ayo Jelajah 18 Des 2025, 17:42 WIB

Hikayat Jejak Kopi Jawa di Balik Bahasa Pemrograman Java

Bahasa pemrograman Java lahir dari budaya kopi dan kerja insinyur Sun Microsystems dengan jejak tak langsung Pulau Jawa.
Proses pemilahan bijih kopi dengan mulut di Priangan tahun 1910-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 17:21 WIB

Komunikasi Lintas Agama di Arcamanik: Merawat Harmoni di Tengah Tantangan

Komunikasi lintas agama menjadi kunci utama dalam menjaga stabilitas dan keharmonisan sosial di kawasan ini.
Monitoring para stakeholder di Kecamatan Arcamanik (Foto: Deni)
Ayo Jelajah 18 Des 2025, 16:40 WIB

Eksotisme Gunung Papandayan dalam Imajinasi Wisata Kolonial

Bagi pelancong Eropa Papandayan bukan gunung keramat melainkan pengalaman visual tanjakan berat dan kawah beracun yang memesona
Gunung Papandayan tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 15:16 WIB

Warisan Gerak Sunda yang Tetap Hidup di Era Modern

Jaipong merupakan jati diri perempuan Sunda yang kuat namun tetap lembut.
Gambar 1.2 Lima penari Jaipong, termasuk Yosi Anisa Basnurullah, menampilkan formasi tari dengan busana tradisional Sunda berwarna cerah dalam pertunjukan budaya di Bandung, (08/11/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Satria)